“Kamu yakin mau boarding school juga kaya Embak?”, tanyaku. Faiz cuma mengangguk sambil matanya menatap ponsel.
“Tapi di pesantren itu makanan dibagi lho, nggak kaya di rumah bebas ambil. Nanti lapar.” Ekor mataku melirik Faiz yang mulai bereaksi.
“Kan bisa minta kirimin Bunda.”
Aku baru ingat pesantren moderen jaman now kan anak anaknya hidup mevvah, dapat paketan dari rumah.
“Kamu nggak kasihan Mbah Kung dan Mbah Ti?”
“Kan bisa telpon seminggu sekali.”
Tampaknya tekad ponakan ku paling kecil sudah bulat mengikuti jejak kakaknya masuk pesantren. Awalnya kami sekeluarga tidak percaya tekadnya sebesar itu. Bukan membandingkan dengan si Kakak yang lebih dewasa dan tangguh. Tapi si Adek lebih sensitif , bayangkan menonton sinetron beradegan sedih akan ikut menangis. Jika dibully temannya di sekolah cenderung mengalah dan menghindari masalah, anaknya cinta damai dan super slow.

Sangking slownya kadang kita khawatir dengan kemampuan akademisnya. Berbeda dengan si Embak sejak usia tiga tahun sudah pandai membaca dan bernyanyi tapi si Adek, setelah masuk sekolah dasar lancar bicara dan tak seorang pun tahu kapan dia belajar membaca
Anaknya tidak tertutup tapi tidak suka ditanggap dan punya cara belajar sendiri. Saat ujian masuk pesantren sang Bunda sempat tak berharap banyak. Wong kalau lapar saja masih suka menangis tersedu sedu.

Berbeda dengan si Embak yang ekpresif dan jago negosiasi. Bayangkan hari pertama masuk pesantren sudah pedekate sama ustadah dan senior biar dapat rekomendasi jadi pengurus siswa. Si Adek lebih suka di depan laptop berimajinasi mendesain kendaraan roda empat atau mengoprek tugas eskul robotik.
Tapi siapa menyangka saat ujian akhir nilainya rata-ratanya 9 tapi jika ditanya orang mengaku nilainya hanya 7. Berbeda sekali dengan Om-nya yang riyak suka pamer kehidupan hedon di dunia maya.

Dua Belas Tahun Ingat
Saya ingat betul bagaimana Faiz lahir , waktu itu saya sedang diopname di rumah sakit di Jambi karena sakit cacar.Berkali kali saya pesan kepada Kakak perempuan untuk tidak cerita ke bapak dan ibu takutnya jadi pikiran . Baru seminggu merantau ke Jambi diopname karena cacar, sungguh nggak keren.
Keesokan pagi bapak menelpon dan mengabarkan kakak perempuan saya melahirkan lebih awal. Lah?

Kehadiran Faiz melengkapi keluarga kecil kami. Kini kakak saya punya anak laki laki dan orang tua saya punya cucu laki laki. Faiz kecil memang lebih banyak diam, kami pernah menduga ia tak bisa bicara tapi setelah dikonsultasikan ke dokter tak ada masalah dengan tumbuh kembang walau lahir prematur. Ya mungkin kita membandingkan dengan si Embak saat usia belum genap setahun sudah bisa bernyanyi.
Terpaut jarak usia 5 tahun , Adek dan Embak merupakan tim yang solid dan kompak walau kadang ada berantemnya. Buktinya ketika Embak memutuskan masuk pesantren setelah lulus SD, Adek yang kadang terlihat cuek menangis tersedu sedu. Karena tidak ingin berpisah.
Terakhir sebelum masuk sekolah mereka menyempatkan ngemall berdua. Si Embak yang beranjak dewasa dan modis, jadi fashion stylish Adek. Si Adek terlalu cuek dengan penampilan, baginya tak ada masalah ke mall mengenakan kaos, celana pendek, sarung dan kopiah.

Keluar Rumah
Dulu saat Embak pertama kali meninggalkan rumah untuk masuk pesantren, ada perasaan berat . Rasanya tak tega membiarkan anak-anak masuk dunia baru tanpa didampingi orang tua 24 jam. Bagaimana dia akan melewati masa remajanya, melalui momen galau remaja putri dan mendampingi saat mendapatkan menstruasi pertama. Duh perasaanku kok emak-emak banget ya, padahal ini Om Om lho.
Mereka mungkin keluar tapi hati mereka tetap di rumah. Anak itu individu yang berhak atas kehidupannya sendiri. Orang tua hanya memberikan bekal terbaik karena cepat atau lambat mereka akan keluar rumah seperti anak burung meninggalkan sangkar.
Menjadi Imam
Saya jadi ingat betap beratnya dulu ibu melepaskan saya untuk merantau kerja . Terlahir prematur dan sakit sakitan, ibu tak pernah mengijinkan saya keluar rumah. Padahal dulu saya pernah diterima di sekolah ikatan dinas yang nantinya ditempatkan jauh dari rumah.

Tapi di satu titik saya memohon kepada ibu agar iklas mengijinkan merantau mencari penghidupan lebih baik di tempat lain. Karena saya lelaki dan calon imam, harus berusaha yang terbaik demi keluarga saya kelak. Akhirnya ibu mengijinkan saya bekerja jauh di kota kabupaten, luar propinsi Lampung hingga akhirnya terdampar di Batam.
Kakak mengirimkan foto Adek sedang menjadi imam sholat malam bersama teman teman sekamarnya. Tak percaya si Adek yang manja di rumah karena dimanja Eyang Kakung, bapakku. Belajar menjadi pemimpin kecil dan mulai percaya diri. Saya hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Faiz, “Baik baik kamu di sana Le, lelaki itu imam maka harus berani melangkah dan mengambil keputusan besar”.
Langkah pertama ke luar rumah sudah dimulai. Jangan takut untuk melanglang buana mencari ilmu.