Kepulauan Riau, Travelling

Tarempa, Ketika Hati Tertempa Rindu Hingga Terasa Hampa

Permohonan maaf ini aku haturkan  untukmu  Tarempa, kota cantik di pulau Siantan kabupaten Anambas. Aku merasa bersalah menjadikanmu tempat persinggahan sesaat. Karena hati ini   terlalu buncah memimpikan kecantikan pulau elok berpasir putih dengan air jernih biru. Tak menyadari kau menyambut kami dengan elok senja jingga kala itu.  Kami terburu-buru ingin ke Durai yang konon lebih cantik darimu. Nyatanya kami malah terhempas badai dan malam itu cuma bisa memimpikan keindahan. Lanjutkan membaca “Tarempa, Ketika Hati Tertempa Rindu Hingga Terasa Hampa”

selat rangsang anambas
Jalan2Cuap2, Kepulauan Riau, Video

[Video] Anambas Trip Part #2

Jalan2Cuap2 – Akhirnya bagian ke dua video jalan-jalan ke Anambas kelar diedit. Rasanya butuh seribu purnama untuk menyelasaikan video  ini. Lalu kapan bagian  selanjutnya kisah ini akan tayang? Tanyakan saja kepada rumput yang bergoyang, karena sesungguhnya masih banyak potongan klip yang harus dirangkai menjadi video perjalanan.

Lanjutkan membaca “[Video] Anambas Trip Part #2”

pulau penjalin anambas kepri
Kepulauan Riau, Photography, Travelling

Kisah Foto – Menjalin Persahabatan di Penjalin

Travelling mempertemukan saya dengan sosok baru yang akhirnya kini menjadi sahabat. Kita memang tak pernah sama , terlahir dari latar belakang yang berbeda , namun impian destinasi  menyatukan langkah kami.

Hari itu kami semua  mematikan gadget, bukannya sombong  dan tak ingin bersosialisasi di dunia maya  tapi memang tak ada sinyal di  Pulau Penjalin.

Rasanya mubajir , jauh-jauh ke pulau cantik ini hanya untuk bermain handphone.

Lanjutkan membaca “Kisah Foto – Menjalin Persahabatan di Penjalin”

pulau penjalin anambas kepulauan riau
Jalan2Cuap2, Kepulauan Riau, Video

[Video] Jalan2Cuap2 – Anambas Part #1

Jalan2Cuap2 – Setelah tulisannya release satu persatu di blog , giliran videonya. Hati-hati videonya racun tingkat dewa. Kalau kamu jadi baper dan langsung ngidam ke Anambas. Nggak tanggung :D. Lanjutkan membaca “[Video] Jalan2Cuap2 – Anambas Part #1”

Kepulauan Riau, Travelling

Enggan Bangkit Meninggalkan Nongkat

Pulau Nongkat, Anambas – Kami pasrah, terserah Eyster membawa kemana untuk bermalam .  Jika semalam (artinya kemarin dalam Melayu) Durai gagal menjadi tempat peraduan. Malam ini saya tak banyak berharap. Takut seperti kisah semalam, begitu bersemangat menuju Durai tapi nyataya merapat pun tak mampu karena kapal yang kami tersapu badai sebelum mencapai pantainya.

Niatan mengintip penyu bertelur dan berburu foto Milky Way  bagai cinta bertepuk sebelah tangan. Menggantung dalam angan besar lalu gagal total sebelum pernah terujar. Ah kasihan sekali Abang ini, Dek. Belum pun menyatakan cinta sudah ditolak.

batu granit besar menjulang ciri khas kepulauan di Anambas
batu granit besar menjulang ciri khas kepulauan di Anambas

Beruntung semua kegagalan itu terbayar sempurna dengan Trenggiling dan Penjalin. Jadi Abang nggak sakit-sakit banget. Pegang dada saya, debar kebahagian itu masih terasa . Dan sesungguhnya yang membuat makin membuat berdegup kencang , kembali terombang-ambing di atas   gulungan ombak membuat kami terdiam dalam doa.

Cuaca Anambas di bulan Agustus  memang ngeri-ngeri sedap, setelah gagal ke pulau Durai dan  Bawah kamipun harus lebih waspada mempertimbangkan keselamatan. Rasanya tak bijak memburu keindahan tapi mempertaruhkan nyawa. Niatnya mau dapat foto eksis maksimal di IG tapi cerita perjalanan tak pernah berlanjut seiring dengan terhentinya kehidupan.

Dhanina , cotttage tersembunyi di antara batu besar
Dhanina , cotttage tersembunyi di antara batu besar

Selain memiliki pantai dengan garis pantai pasir putih, pulau-pulau di Anambas berhiaskan bebatuan besar mirip di Belitung. Terkadang batu itu teramat besar membentuk susunan vertikal ke atas. Orang di sini menyebutnya batu tumpak. Jika kamu ke Tarempa di kota pelabuhan itu ada batu tumpak tiga susun.

Namun yang membuat saya tak berkedip melewati sebuah pondok di pulau Nongkat. Bangunan berwarna putih tersamar di balik batu-batu besar. Kehadirannya seolah tak ingin diketahui banyak orang. Tapi tetap siapapun yang bertandang ke sini akan terkagum. Bagaimana batu-batu besar saling bertautan seolah membentuk laguna melindungi garis pantai bagai benteng alam. Ombak pun selalu landai sampai ke pantai di hadang batu besar.

“Bang kita akan bermalam di sana”, ujar Eyster memecah lamunan.

“Memang boleh?”

“Kita akan numpang di serambinya saja. Nanti minta ijin penjaganya.”

“Kalau tidak diijinkan?”

“Membuka tenda di pantainya saja .”

Kami terdampar... Uhuk!!
Kami terdampar… Uhuk!!

Rumah peristirahatan  itu bernama Dhanina, konon sang empunya,  seorang perempuan Indonesia bersuamikan ekspatriat. Bangunan bernuansa tropikal , khusus dibangun untuk menjamu tamu atau peristirahatan pribadi. Meski berada  jauh dari pemukiman fasilitasnya  lengkap mulai dari generator set hingga fasilitas air bersih. Dan ternyata di depan pulau teronggok speed boat.

Dhanina cottage memiliki tiga bangunan, satu bangunan berlantai dua sedangkan dua lainnya berlantai satu. Sekilas saya mengintip bagian bangunan utama. Nuansanya putih dengan gorden panjang menjuntai. Saya membayangkan jika semua pintu dan jendela dibuka lebar-lebar membiarkan angin dan sinar masuk ke dalam. Ah andai bisa tinggal di sini seminggu.

“Hari ini penjaga  sedang tak datang. Kepada siapa kami meminta ijin?

“Tak apa kita menumpang di serambi?”

“Tak mengape, asal nanti dibersihkan saje.”

Bangunan utama Dhanina terdiri dari dua lantai
Bangunan utama Dhanina terdiri dari dua lantai

Tanpa diperintah kami menempatkan barang di serambi pondok utama yang langsung menghadap ke laut. Berlahan senja datang menyamarkan keindahan dengan nuansa temaram. Tak banyak dari kami menikmati senja dengan serius. Kami berpacu dengan waktu, sebelum malam tiba , nasi dan mie harus sudah masak. Urusak mandi juga harus kelar karena tak ada penerangan di sini.

Sebetulnya di belakang pondok ini ada generator set, tapi tidak sopan , sudah menumpang tanpa permisi, menjarah air tawar untuk mandi dan memasak, lalu ingin berterang benderang dengan BBM gratisan yang konon susah didapat di Anambas.

Senja menyapa Nongkat sebelum malam menjelang
Senja menyapa Nongkat sebelum malam menjelang

Ritual malam diawali dengan makan malam bersama. Entah kelelahan berenang di Penjalin tadi siang atau ketenangan Nongkat yang membuat kami terlelap lebih awal. Satu persatu  kami berdendang dalam mimpi, menyanyikan keindahan Penjalin tadi siang. Ah Anambas, bukan lagi impian tapi kini menjadi kenangan indah.

Suara hewan malam terkadang membangkitkan rasa ngeri, namun semua sirna bersama pendar syahdu di depan sana. Kapal-kapal nelayan merapat di bebatuan besar. Lagi-lagi cuaca memang tak bersahabat, beruntung cottage ini terlindungi.

Nongkat malam tak kalah memikat
Nongkat malam tak kalah memikat

Rencana berburu sunset bukit belakang cottage gagal total, semua orang enggan bangkit. Meski hanya  serambi kami, tempat ini terlalu nyaman untuk ditinggalkan.

“Pasti pada mimpi ngeresort.”

“Tempatnya udah secantik resor pribadi , sayang tidurnya ngemper.”

“Ya udah kenalan aja dengan Bu Dhanina, siapa tahu punya anak perempuan.”

“Kalau anaknya laki?”

“Ya buat, kita-kita yang cewek.”

“Keren kan maharnya , pulau beserta cottagenya.”

“Kalau ngga punya anak?”

“Aku rela diangkat jadi anaknya, asal dikasih semua ini.”

Selamat pagi pulau Nongkat
Selamat pagi pulau Nongkat

Dari obrolan di atas sepertinya kesadaran teman-teman belum seratus persen. Ah sudahlah, lebih baik saya menjelajah Nongkat. Menjelajah pulau indah yang seolah baru saja dihujani meteor.

Nongkat memang terlalu sayang untuk ditinggalkan. Namun jika tak ditinggalkan kami tetap harus berjingkat meninggalkannya. Sebelum penjaganya datang , kami kembali berangkat menyambangi keindahan lain Anambas.

“Ssstttt jangan lupa cottagenya dibersihkan.”

“Memang harus?”

“Iyalah… Sudah menumpang tanpa permisi. Menjarah air tawar lalu pergi meninggalkan sampah. Itu namanya tidak tahu diri.”

*hening*

11

 

Kami enggan berangkat meninggalkan Nongkat
Kami enggan berangkat meninggalkan Nongkat

13

14
ngga tahu ini boneka siapa tapi gayanya sok cihuy banget

15

 

serasa di pantai pribadi
Kepulauan Riau, Travelling

Trenggiling Penawar Durai dan Bawah

17 Agustus 2015 – Senja baru saja menaungi Tarempa ketika sauh diturunkan. Dalam rona temaram jingga  kembali berlayar ke Durai melalui  pelabuhan pemda. Raut ragu sang nakoda seolah tertutup kelamnya malam. Ia memilih diam takut mengecewakan kami  yang terlanjur bersemangat.

“Malam ini kita ngintip penyu  bertelur yuk!”

“Tapi kayanya moto bintang seru, langitnya nggak bocor.”

serasa di pantai pribadi

Segudang rencana pun terujar tanpa pernah sadar ada bahaya besar menghadang. Dalam hitungan menit speed boat terguncang hebat membentur gelombang. Saya masih bisa tersenyum lebar, seolah laut sedang menyapa dan ingin bermain.

senja di Tarempa
senja di Teluk Tarempa

Berikutnya tak ada yang mampu berkata ketika gelombang besar masuk dari geladak depan memuntahkan air asin.

“Byur!!!” Pakaian di badan  hingga barang bawaan kuyup tersapu air. Melaju perlahan bukan pilihan tepat, berkali-kali gelombang mengombang-ambingkan tanpa arah.

“Tak mungkin kita merapat ke Durai. Tapi kembali juga lebih tak bisa. Sudah separuh jalan lebih” . Suara nakoda mengunggah kesadaran alam tidak sedang bermain.

“Semua bisa berenang kan?”

“Saya ngga bisa kalau tidak pakai pelampung”, ujar Lilian  ragu. Diam-diam kami memendam doa dalam hati.

Dalam gelap nakoda berlayar menuju Durai dengan caranya, menajamkan hati dan perasaan karena indra penglihatan tak mampu menembus malam. Sekali lagi gelombang  menggetarkan lantai fiber glass. Oh Tuhan bagaimana jika kapal tak mampu bertahan lalu terbelah dan karam.

Kerlip lampu di kejauhan menuntun kami ke  tiga kapal nelayan di balik bukit pulau Durai. Nasib mereka tak berbeda dengan kami, menjauhi badai.

“Kemarilah naik. Laut memang sedang tak bersahabat musim angin selatan.”

Tanpa  berpikir dua kali, satu persatu berpindah ke kapal kayu besar nelayan.  Badai tak lagi menyentuh tapi dinginnya air masih terasa menusuk kulit. Usai berganti pakaian melewatkan makan malam di atas geladak bersama.

Bulan sabit separuh tak sebenderang purnama, tapi sinarnya mampu menerangi lautan hingga dasar.

“Lihat deh ke bawah, dasarnya  kelihatan. Jernih banget airnya. Kalau siang kaya apa ya?”, celoteh Lisa membangkitkan rasa penasaran. Dan benar saja  ikan kerapu terlihat berenang di antara terumbu.

Atap geladak menjadi tempat favorit merebahkan diri. Taburan bintang membuai mimpi pertama di Anambas. Mimpi yang nampaknya harus kami gantungkan sejenak.

***

Senandung burung dari pulau Durai terdengar jelas,  membahagiakan insan memulai hari. Tiga kapal nelayan mengiringi kami menuju  lautan teduh. Lambain tangan nelayan sekaligus  bermakna doa, melepas kami ke lautan luas. Durai masih menggoda dengan rona jingganya, tapi kami memilih menjauhinya karena gelombang di sana tak bersahabat.

menambatkan diri pada kapal nelayan di balik Durai
menambatkan diri pada kapal nelayan di balik Durai
jingga menyapa pagi , melepas kepergian
jingga menyapa pagi , melepas kepergian

Memutar haluan ke Trenggiling sebagai penawar kecewa  bukanlah keputusan mudah. Berkali nakoda berujar tak mampu menghalau bahaya gelombang pulau Bawah  konon hingga 2 meter . Tapi kami tetap berteguh hati, terlanjur tegoda impian pulau tropis terindah di Asia.

Baiklah, kita gantungkan sejenak kedua impian ,  Anambas bukan hanya Durai dan Bawah.

pulau Tenggiling, salah satu pulau cantik Anambas
pulau Trenggiling, salah satu pulau cantik Anambas

Bukit batu menjulang menjadi pemandangan pertama Trenggiling, berlahan namun pasti speed boat menuju daratan. Jangan pernah meragukan kejernihan  laut di sini. Sampai kedalaman 10 meter , laksana kaca aquarium tembus pandang.

Meski bukan hamparan pasir luas, pesona Trenggiling sungguh menggoda. Menjawab dahaga atas indahnya pulau tropis. Tak sabar rasanya ingin meceburkan diri ke birunya air. Tapi sang nakoda melarang. “Kita tak berenang di sini, hanya ke goa kelelawar.”

goa kelelawar di pulau Tenggiling
goa kelelawar di pulau Trenggiling

Aroma amoniak menyeruak di pintu goa keleawar. Binatang omnivora menggantung di langit-langit. Tidak ada yang mau melangkah lebih jauh, cukup berfoto di depan mulut goa lalu menjelajah sisi lain Trenggiling.

menancapkan sang saka merah putih di bumi Anambas
menancapkan sang saka merah putih di bumi Anambas

Impian tentang Anambas terwujud. Langit biru, pasir putih dan air  dalam gradasi tiga warna: biru muda, hijau toska dan biru tua. Berhamburan menuruni kapal ,  berlarian bagai anak kecil , kami menjejakan kaki di pantai berpasir sehalus  tepung terigu.

Hari kemerdekaan sehari telah berlalu, tapi tak apa memperingatinya sekarang. Sang saka dikibarkan dalam kesederhanaan, diikatkan pada sebatang kayu lalu ditancapkan di atas pasir.

air gradasi tiga warna : biru muda, hijau toska dan biru tua
air gradasi tiga warna : biru muda, hijau toska dan biru tua
hening bagai di pantai pribadi
hening bagai di pantai pribadi

Sunyi Trenggiling bagai pantai pribadi, tak ada orang lain apalagi penjaja makanan. Dengan cekatan Eyster memasak nasi lalu membuka bekal lado garom, masakan khas Tarempa. Suwiran ikan tuna berbumbu cabai dan garam saja. Sederhana, tapi disantap dengan nasi hangat di pantai seindah ini, jelas rumit. Untuk “sarapan cantik”  di sini kami harus melalui pelayaran Tanjung Pinang- Tarempa 12 jam dan drama tersapu badai menciutkan nyali.

dunia bawah laut Tenggiling tak kalah memukau
dunia bawah laut Trenggiling tak kalah memukau
mengibarkan sang saka di dalam air
mengibarkan sang saka di dalam air

Menutup petualangan  di Trenggiling ,  sang saka merah putih dikibarkan di bawah air.

Hari ini tepat 70 tahun satu hari yang lalu Indonesia memproklamasikan diri sebagai bangsa merdeka, terbebas dari belenggu penjajahan.

Hari ini kebanggan kami bertambah, terlahir di bumi pertiwi yang keelokannya tak pernah habis untuk dijelajahi.

“Habis ini kita kemana lagi ya?”

“Hmmm… rahasia. Tunggu saja kejutan Anambas selanjutnya.”

~ I Love Anambas~

8