17 Agustus 2015 – Senja baru saja menaungi Tarempa ketika sauh diturunkan. Dalam rona temaram jingga kembali berlayar ke Durai melalui pelabuhan pemda. Raut ragu sang nakoda seolah tertutup kelamnya malam. Ia memilih diam takut mengecewakan kami yang terlanjur bersemangat.
“Malam ini kita ngintip penyu bertelur yuk!”
“Tapi kayanya moto bintang seru, langitnya nggak bocor.”
Segudang rencana pun terujar tanpa pernah sadar ada bahaya besar menghadang. Dalam hitungan menit speed boat terguncang hebat membentur gelombang. Saya masih bisa tersenyum lebar, seolah laut sedang menyapa dan ingin bermain.

Berikutnya tak ada yang mampu berkata ketika gelombang besar masuk dari geladak depan memuntahkan air asin.
“Byur!!!” Pakaian di badan hingga barang bawaan kuyup tersapu air. Melaju perlahan bukan pilihan tepat, berkali-kali gelombang mengombang-ambingkan tanpa arah.
“Tak mungkin kita merapat ke Durai. Tapi kembali juga lebih tak bisa. Sudah separuh jalan lebih” . Suara nakoda mengunggah kesadaran alam tidak sedang bermain.
“Semua bisa berenang kan?”
“Saya ngga bisa kalau tidak pakai pelampung”, ujar Lilian ragu. Diam-diam kami memendam doa dalam hati.
Dalam gelap nakoda berlayar menuju Durai dengan caranya, menajamkan hati dan perasaan karena indra penglihatan tak mampu menembus malam. Sekali lagi gelombang menggetarkan lantai fiber glass. Oh Tuhan bagaimana jika kapal tak mampu bertahan lalu terbelah dan karam.
Kerlip lampu di kejauhan menuntun kami ke tiga kapal nelayan di balik bukit pulau Durai. Nasib mereka tak berbeda dengan kami, menjauhi badai.
“Kemarilah naik. Laut memang sedang tak bersahabat musim angin selatan.”
Tanpa berpikir dua kali, satu persatu berpindah ke kapal kayu besar nelayan. Badai tak lagi menyentuh tapi dinginnya air masih terasa menusuk kulit. Usai berganti pakaian melewatkan makan malam di atas geladak bersama.
Bulan sabit separuh tak sebenderang purnama, tapi sinarnya mampu menerangi lautan hingga dasar.
“Lihat deh ke bawah, dasarnya kelihatan. Jernih banget airnya. Kalau siang kaya apa ya?”, celoteh Lisa membangkitkan rasa penasaran. Dan benar saja ikan kerapu terlihat berenang di antara terumbu.
Atap geladak menjadi tempat favorit merebahkan diri. Taburan bintang membuai mimpi pertama di Anambas. Mimpi yang nampaknya harus kami gantungkan sejenak.
***
Senandung burung dari pulau Durai terdengar jelas, membahagiakan insan memulai hari. Tiga kapal nelayan mengiringi kami menuju lautan teduh. Lambain tangan nelayan sekaligus bermakna doa, melepas kami ke lautan luas. Durai masih menggoda dengan rona jingganya, tapi kami memilih menjauhinya karena gelombang di sana tak bersahabat.


Memutar haluan ke Trenggiling sebagai penawar kecewa bukanlah keputusan mudah. Berkali nakoda berujar tak mampu menghalau bahaya gelombang pulau Bawah konon hingga 2 meter . Tapi kami tetap berteguh hati, terlanjur tegoda impian pulau tropis terindah di Asia.
Baiklah, kita gantungkan sejenak kedua impian , Anambas bukan hanya Durai dan Bawah.

Bukit batu menjulang menjadi pemandangan pertama Trenggiling, berlahan namun pasti speed boat menuju daratan. Jangan pernah meragukan kejernihan laut di sini. Sampai kedalaman 10 meter , laksana kaca aquarium tembus pandang.
Meski bukan hamparan pasir luas, pesona Trenggiling sungguh menggoda. Menjawab dahaga atas indahnya pulau tropis. Tak sabar rasanya ingin meceburkan diri ke birunya air. Tapi sang nakoda melarang. “Kita tak berenang di sini, hanya ke goa kelelawar.”

Aroma amoniak menyeruak di pintu goa keleawar. Binatang omnivora menggantung di langit-langit. Tidak ada yang mau melangkah lebih jauh, cukup berfoto di depan mulut goa lalu menjelajah sisi lain Trenggiling.

Impian tentang Anambas terwujud. Langit biru, pasir putih dan air dalam gradasi tiga warna: biru muda, hijau toska dan biru tua. Berhamburan menuruni kapal , berlarian bagai anak kecil , kami menjejakan kaki di pantai berpasir sehalus tepung terigu.
Hari kemerdekaan sehari telah berlalu, tapi tak apa memperingatinya sekarang. Sang saka dikibarkan dalam kesederhanaan, diikatkan pada sebatang kayu lalu ditancapkan di atas pasir.


Sunyi Trenggiling bagai pantai pribadi, tak ada orang lain apalagi penjaja makanan. Dengan cekatan Eyster memasak nasi lalu membuka bekal lado garom, masakan khas Tarempa. Suwiran ikan tuna berbumbu cabai dan garam saja. Sederhana, tapi disantap dengan nasi hangat di pantai seindah ini, jelas rumit. Untuk “sarapan cantik” di sini kami harus melalui pelayaran Tanjung Pinang- Tarempa 12 jam dan drama tersapu badai menciutkan nyali.


Menutup petualangan di Trenggiling , sang saka merah putih dikibarkan di bawah air.
Hari ini tepat 70 tahun satu hari yang lalu Indonesia memproklamasikan diri sebagai bangsa merdeka, terbebas dari belenggu penjajahan.
Hari ini kebanggan kami bertambah, terlahir di bumi pertiwi yang keelokannya tak pernah habis untuk dijelajahi.
“Habis ini kita kemana lagi ya?”
“Hmmm… rahasia. Tunggu saja kejutan Anambas selanjutnya.”
~ I Love Anambas~
Eh eh…. Jangan lupa kalo pas lagi tegang abis, tiba2 semburan air masuk dari jendela depan… Sesaat semua terdiam lalu tertawa terbahak2 tak tertahan…
SENANG !!!!!
SukaSuka
Iya tante aku.tertawa tapi hatiku getir
SukaSuka
Kereeen. Merdeka! 🙂
SukaSuka
merdeka kakak!!!
SukaSuka
Aku makin mupeng kan jadinya. Hikss….
SukaSuka
Yuk kesana yukkk
SukaSuka
meski tidak jadi ke tujuan utama …. tapi pantai tenggiling ….. indahhh
apalagi serasa pantai pribadi … merdekaaa
SukaSuka
kalau anambas luar biasa banget
SukaSuka
Ngeri ah ngebayangin ditengah laut malem hari,pake kapal kecil lagi. Tapi, terbayarkan indahnya pulau Trenggiling yg kece abiss.
SukaSuka
Beberapa kali nyebrang malem pake kapal kecil ternyata serem
SukaSuka
Pantainya bikin merinding, bagus banget 🙂
SukaSuka
Sedeplah pantainya… Trikora bagus bgt
SukaSuka
Hai kak, saya Yoppy mau nanya2 tentang anambas bisa dibantu nggak kak sewa kapal dan rekomendasi itin. Thanks
SukaSuka
oke nanti aku bikin artikel khususnya ya.. dan kontak kapalnya
SukaSuka
Wow, I’d like to thank you for your Anambas holiday account. Your images are awesome.
I think the Anambas Islands have some much potential. In fact, I think Anambas can one day be as popular as the Maldives are now. I myself visited both Tarempa and Jemaja several times, as well as P. Durai, P. Temawan, P. Penjalin, as well as Maldives (the Atol of Bandos), so I’ve seen both areas. And I can safely say that, for instance, the coral reefs in and around Anambas are still
mostly untouched, as compared to the coral patches in Maldives, which, at least in my experience, were showing pretty obvious wear and tear. At least around Bandos.
But Anambas is still so pristine and idyllic and untouched, it’s almost like going back into hundreds of years and arriving at the edges of the earth’s ocean. I found Anambas an absolute paradise, but with the added benefit that it’s not as commercialised as Maldives was when I was there.
Once the Anambas’ infrastructure, the roads, bridges, internal transport, has caught up to the rest of Indonesia, and the planes from Batam, Bintan, Jakarta, and perhaps even Singapore and KL are consistent, there’s no doubt in my mind that the Anambas Archipelago has the potential to be an outright marine tourism magnet on a world-wide scale, possibly giving Maldives a run for its money.
Let’s go Anambas 🙂
Nura
SukaSuka
kenapa disebut pulau trenggiling ya?
SukaSuka