Pulau Nongkat, Anambas – Kami pasrah, terserah Eyster membawa kemana untuk bermalam . Jika semalam (artinya kemarin dalam Melayu) Durai gagal menjadi tempat peraduan. Malam ini saya tak banyak berharap. Takut seperti kisah semalam, begitu bersemangat menuju Durai tapi nyataya merapat pun tak mampu karena kapal yang kami tersapu badai sebelum mencapai pantainya.
Niatan mengintip penyu bertelur dan berburu foto Milky Way bagai cinta bertepuk sebelah tangan. Menggantung dalam angan besar lalu gagal total sebelum pernah terujar. Ah kasihan sekali Abang ini, Dek. Belum pun menyatakan cinta sudah ditolak.

Beruntung semua kegagalan itu terbayar sempurna dengan Trenggiling dan Penjalin. Jadi Abang nggak sakit-sakit banget. Pegang dada saya, debar kebahagian itu masih terasa . Dan sesungguhnya yang membuat makin membuat berdegup kencang , kembali terombang-ambing di atas gulungan ombak membuat kami terdiam dalam doa.
Cuaca Anambas di bulan Agustus memang ngeri-ngeri sedap, setelah gagal ke pulau Durai dan Bawah kamipun harus lebih waspada mempertimbangkan keselamatan. Rasanya tak bijak memburu keindahan tapi mempertaruhkan nyawa. Niatnya mau dapat foto eksis maksimal di IG tapi cerita perjalanan tak pernah berlanjut seiring dengan terhentinya kehidupan.

Selain memiliki pantai dengan garis pantai pasir putih, pulau-pulau di Anambas berhiaskan bebatuan besar mirip di Belitung. Terkadang batu itu teramat besar membentuk susunan vertikal ke atas. Orang di sini menyebutnya batu tumpak. Jika kamu ke Tarempa di kota pelabuhan itu ada batu tumpak tiga susun.
Namun yang membuat saya tak berkedip melewati sebuah pondok di pulau Nongkat. Bangunan berwarna putih tersamar di balik batu-batu besar. Kehadirannya seolah tak ingin diketahui banyak orang. Tapi tetap siapapun yang bertandang ke sini akan terkagum. Bagaimana batu-batu besar saling bertautan seolah membentuk laguna melindungi garis pantai bagai benteng alam. Ombak pun selalu landai sampai ke pantai di hadang batu besar.
“Bang kita akan bermalam di sana”, ujar Eyster memecah lamunan.
“Memang boleh?”
“Kita akan numpang di serambinya saja. Nanti minta ijin penjaganya.”
“Kalau tidak diijinkan?”
“Membuka tenda di pantainya saja .”

Rumah peristirahatan itu bernama Dhanina, konon sang empunya, seorang perempuan Indonesia bersuamikan ekspatriat. Bangunan bernuansa tropikal , khusus dibangun untuk menjamu tamu atau peristirahatan pribadi. Meski berada jauh dari pemukiman fasilitasnya lengkap mulai dari generator set hingga fasilitas air bersih. Dan ternyata di depan pulau teronggok speed boat.
Dhanina cottage memiliki tiga bangunan, satu bangunan berlantai dua sedangkan dua lainnya berlantai satu. Sekilas saya mengintip bagian bangunan utama. Nuansanya putih dengan gorden panjang menjuntai. Saya membayangkan jika semua pintu dan jendela dibuka lebar-lebar membiarkan angin dan sinar masuk ke dalam. Ah andai bisa tinggal di sini seminggu.
“Hari ini penjaga sedang tak datang. Kepada siapa kami meminta ijin?
“Tak apa kita menumpang di serambi?”
“Tak mengape, asal nanti dibersihkan saje.”

Tanpa diperintah kami menempatkan barang di serambi pondok utama yang langsung menghadap ke laut. Berlahan senja datang menyamarkan keindahan dengan nuansa temaram. Tak banyak dari kami menikmati senja dengan serius. Kami berpacu dengan waktu, sebelum malam tiba , nasi dan mie harus sudah masak. Urusak mandi juga harus kelar karena tak ada penerangan di sini.
Sebetulnya di belakang pondok ini ada generator set, tapi tidak sopan , sudah menumpang tanpa permisi, menjarah air tawar untuk mandi dan memasak, lalu ingin berterang benderang dengan BBM gratisan yang konon susah didapat di Anambas.

Ritual malam diawali dengan makan malam bersama. Entah kelelahan berenang di Penjalin tadi siang atau ketenangan Nongkat yang membuat kami terlelap lebih awal. Satu persatu kami berdendang dalam mimpi, menyanyikan keindahan Penjalin tadi siang. Ah Anambas, bukan lagi impian tapi kini menjadi kenangan indah.
Suara hewan malam terkadang membangkitkan rasa ngeri, namun semua sirna bersama pendar syahdu di depan sana. Kapal-kapal nelayan merapat di bebatuan besar. Lagi-lagi cuaca memang tak bersahabat, beruntung cottage ini terlindungi.

Rencana berburu sunset bukit belakang cottage gagal total, semua orang enggan bangkit. Meski hanya serambi kami, tempat ini terlalu nyaman untuk ditinggalkan.
“Pasti pada mimpi ngeresort.”
“Tempatnya udah secantik resor pribadi , sayang tidurnya ngemper.”
“Ya udah kenalan aja dengan Bu Dhanina, siapa tahu punya anak perempuan.”
“Kalau anaknya laki?”
“Ya buat, kita-kita yang cewek.”
“Keren kan maharnya , pulau beserta cottagenya.”
“Kalau ngga punya anak?”
“Aku rela diangkat jadi anaknya, asal dikasih semua ini.”

Dari obrolan di atas sepertinya kesadaran teman-teman belum seratus persen. Ah sudahlah, lebih baik saya menjelajah Nongkat. Menjelajah pulau indah yang seolah baru saja dihujani meteor.
Nongkat memang terlalu sayang untuk ditinggalkan. Namun jika tak ditinggalkan kami tetap harus berjingkat meninggalkannya. Sebelum penjaganya datang , kami kembali berangkat menyambangi keindahan lain Anambas.
“Ssstttt jangan lupa cottagenya dibersihkan.”
“Memang harus?”
“Iyalah… Sudah menumpang tanpa permisi. Menjarah air tawar lalu pergi meninggalkan sampah. Itu namanya tidak tahu diri.”
*hening*

