Curahan

Lupa Pulang, Aku Bukan Aurora

Film Angga Dwimas Sasongko kali ini berasa sangat bertautan dengan kehidupan saya sebagai anak rantau. Saya bukan Aurora, anak tengah yang mengalami kegamangan di rumah karena keberadaannya kadang seperti tak disadari. Saya lebih beruntung terlahir dari keluarga kecil yang anaknya cuma dua lalu menjadi anak bungsu. Kondisi yang sering sakit-sakitan kadang membuat perhatian anggota keluarga lebih banyak tercurah. Tapi yakinlah kakakku si sulung tak juga kekurangan kasih sayang. Karena kami sama-sama spesial, yang satu lelaki satunya perempuan, satunya bungsu satunya sulung.

Jika pada akhirnya aku memutuskan untuk merantau adalah sebuah takdir karena awalnya ibu tak mengijinkan jauh dari rumah. Dengan segala jejak rekam medis, vonis ibu, aku tak akan bisa hidup jauh dari rumah. Rencana “menjaga” rumah ditetapkan ibu ketika sakit parah dan harus meninggalkan bangku kuliah.

Kembali lagi ke film “Jalan Yang Jauh Jangan Lupa Pulang”. Singkat cerita saya mendapat tiket “keluar rumah” setelah bekerja bertahun-tahun seperti Aurora pergi ke London. Waktu itu saya benar-benar minta ijin ke ibu karena niat merantau selalu terganjal restu beliau.

“Saya lelaki dan akan menjadi imam (kepala rumah tangga), langkah saya harus panjang untuk mencari rejeki. Tolong iklaskan saya bekerja jauh”, ujar saya kepada Ibu.

Sejak saat itu langkah saya hidup sendiri di luar kota menjadi mulus. Hingga saya merasakan momen dimana , “rumah adalah dimana saja”, bahasa kasarnya benar-benar menggelandang. Bayangkana selama 2 minggu saya bekerja di site. Lalu seminggu kemudian berkelana bisa tanpa tujuan atau mencari teman jalan. Saya yang dulu tak bisa tidur nyenyak jika tak di rumah, kini bisa tidur dimana saja dalam kondisi apapapun.

Ibu lebih iklas tapi ternyata Bapak tidak. Saat backpacking, bapak selalu menelpon dan mengirimkan pesan. Bayangkan beliau selalu menanyakan apakah sudah makan. Seolah saya tak mampu membeli makanan sendiri dan akan kelaparan. Ada momen dimana jengah ditelpon atau dihubungi saat di luar rumah. Tapi saya sadar, itu bentuk perhatian dan kasih sayang orang tua.

Tabir
Saya tipikal anak yang sangat terbuka dengan orang tua. Sepulang sekolah selalu menceritakan apa yang terjadi di sekolah kepada ibu. Rasanya hampir tak ada rahasia antar saya dan ibu. Teman saya adalah teman ibu. Meski terkesan cuek nyatanya kakak perempuan, sayang kepada saya. Di tahun pertama hingga ke dua setelah bekerja, beliau masih memberikan uang saku tiap bulan. Padahal jarak kami hanya 15 bulan yang artinya waktu itu, kami sama-sama mulai bekerja dan merintis.

Jauh dari rumah aya belajar mandiri, mencoba memilah masalah, ada yang bisa dan tidak bisa dibagikan ke orang tua. Hal-hal yang membuat mereka khawatir tak akan saya ceritakan. Memang terasa ada jarak walau tipis , tapi ini yang terbaik. Saya tak harus membebani pikiran mereka dengan hal-hal yang bisa meganggu kesehatan mental dan fisik.

Sadar atau tidak mungkin mereka akan merasa ada jarak tapi inilah yang terbaik. Jarak dan waktu kadang bukan memisahkan tapi memberikan ruang bagi masing-masing pribadi untuk memahami diri. Saya merasa lebih paham diri ketika menyelesaikan masalah sendiri. Ketegaran akan muncul ketika tangis terhenti sendiri bukan selalu dibelai oleh kasih sayang orang tua.

Tabir terasa ketika saya mulai menikmati jauh dari keluarga. Sibuk dengan pekerjaan dan hobi sebagai travel blogger. Pernah ada di momen sebulan tak menelepon orang tua . Padahal dulu sekecil apapun akan saya kisahkan ke ibu. Saya seperti memiliki dunia baru, tapi pernah merindukan rumah. Hingga Bapak mengirimkan pesan, “nggak kangen ibu?”

Ya aku pernah di posisi Aurora merasakan nikmatnya keluar rumah. Perhatian melalui ponsel seperti gangguan yang tak pernah berhenti. Ingin rasanya mematikan telepon tapi tak mungkin menghilang bagai di telan bumi. Hanya pesan pendek merespon pertanyaan mereka.

Pulang ke Rumah
Saya merasa benar-benar kangen rumah, setelah 5 tahun merantau. Tadinya menganggap rumah seperti persinggahan atau destinasi biasa. Walau tak pernah absen mudik di hari raya tapi tahun ke lima saya merasa benar-benar rindu suasana rumah. Sejak saat itu mudik lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama keluarga. Sebelumnya mudik adalah persinggahan, saat pulang hanya diisi agenda jalan-jalan atau kongkow dengan teman-teman.

Sejujurnya hati saya juga belum menetapkan, dimanakah rumah itu. Perjalanan hidup dan kebiasaan nomaden beberapa tahun, membuat saya nyaman dimana saja. Jika rindu kampung halaman, hanya sesekali. Setelah melewati 1-2 minggu saya kembali rindu Batam dan melewati perjalanan.

Jika ditanya sampai kapan. Entahlah mungkin pada akhirnya saya menemukan rumah yang sebenarnya jika sudah benar-benar lelah.

Tak Dekat Bukan Tak Sayang
Saya merasa dengan merantau, pribadi menjadi lebih kuat. Saya yang dulu selalu tergantung dengan keluarga terutama orang tua. Sekarang menjadi pribadi yang jauh lebih mandiri. Bisa tidur dimana saja, makan dimana saja bahkan mudah berinteraksi dengan banyak orang dengan luwes. Saya mencoba membandingkan diri saya 25 tahun lalu, pribadi manja yang jika makan tak enak atau istirahat tak nyaman akan mengambek.

Jika saya memutuskan untuk tak selalu dekat secara fisik dengan orang tua, bukannya tak sayang. Sejujurnya saya ingin selalu mendampingi mereka di saat lansia. Tapi saya lebih realistis, bahwa kehidupan saya yang sekarang punya tanggung jawab dan impian yang dulu tak berani terujar. Terdengar sedikit agak egois tapi yakinlah di dalam setiap langkah selalu ada doa bagi keluarga di kampung.

Saya memang bukan Aurora, tapi saya paham apa yang ia rasakan. Saya telah menemukan “rumah” di sini tapi tetap hati dan pikiran saya terpaut dengan keluarga. Saya baik-baik saja kok di sini, mesti kadang orang melihat saya tidak baik-baik. Karena sesungguhnya takaran baik bagi setiap orang berbeda-beda. Mungkin orang melihat saya manusia paling menderita di dunia tapi sesungguhnya saya tak pernah merasa apa yang mereka khawatirkan.

“Pak,Bu! Adik baik-baik saja. Jika adik tak dekat bukan tak sayang. Bukan Adik tak mau pulang. Tapi Adik belum menemukan rumah.”

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s