Jawa Timur, Travelling

Madura Cultural Trip #4 – Memangku Warisan Wayang Topeng Madura

Wayang Topeng Madura
Wayang Topeng Madura

 “Tolong topeng jangan dimusnahkan”. Pak Merto menirukan wasiat ayahnya (almharhum) Supakrah  sang maestro Wayang Topeng Madura. Sambil memandang enam topeng pusaka berusia ratusan tahun.

***

Siapa sangka malam ini kami digiring Pak Bram  “Gelar Cultural Trip” blusukan ke sawah di desa Bunbarat kecamatan Rubaru , Sumenep. Meski jalan terlihat ramai dari kejauhan , kami harus berjalan sambil menggulung celana tinggi-tinggi untuk menghindari lumpur.

panggung Wayang Topeng Madura
panggung Wayang Topeng Madura

Suara generator set berbaur dengan musik karawitan mengalunkan gending patok sanga menyambut penonton. Panggung besar hijau bertuliskan Rukun Perawas berdiri tegak di areal persawahan. Inilah pertunjukan Wayang Topeng Madura seni tradisional berusia ratusan tahun. Malam ini digelar untuk acara   rukat desa atau selamatan desa Bunbarat.

Dari Balik Panggung
Anak-anak mengintip dari belakang panggung menyaksikan dua penari  Gambuh Tameng berdandan. Menaburkan bedak putih ke wajah lalu menggores pensil  alis  di pelipis ,  terakhir    memulas gincu merah di bibir. Kedua penari lelaki terlihat gagah mengenakan jambang siap menyambangi panggung Wayang Topeng.

Saleh sepupu Pak Merto membantu penari  mengenakan kostum yang terdiri dari celana, sembong, stagen, sabuk timang, kace, polsdeker, klat bahu, ikat kepala, gongseng, keris dan tameng kecil .  Selain pandai mendandani penari, pria berusia 40 tahun ini juga piawai membuat topeng . Sebagian besar koleksi topeng baru Rukun Perawas hasil karyanya.

Empat puluh tiga topeng kayu digelar bersiap menjalani lakonnya masing-masing. Malam ini akan mementaskan Pusar Beti yang diangkat dari kisah Mahabharata dalam 13 babak.

Penerus Sang Maestro
Pake Merto duduk di antara penari, wajahnya bersahaja menyambut kami. Dirinya berkisah kebanggaan terbesarnya bisa mempertahankan kesenian wayang topeng sampai sekarang. Meski tidak memiliki anak lelaki , keponakannya yang akan mewarisi enam topeng pusaka sudah mulai belajar karawitan dan menari.

Pak Merto - Pemimpin Wayang Topeng Rukun Perawas
Pak Merto – Pemimpin Wayang Topeng Rukun Perawas

Sejak usia 15 tahun beliau belajar wayang topeng dari ayahnya Suparkah, maestro topeng.  Tahun 1991 bersama sang ayah mengelilingi Amerika selama 6 bulan . Kesenian ini memang sarat pasang surut. Setelah sempat meredup pamornya di era 60-an . Wayang Topeng sempat meraih kemasyhuran di era 70-an berkat jasa dalang tua Sabidin mengkader dan mendidik dalang muda.

Wayang topeng tidak sepopuler pertunjukan wayang kulit namun kesenian ini masih diminati di pinggiran Sumenep.

“Kalau rame sebulan bisa ditanggap lima belas kali”. Pak Merto menjelaskan. Dengan tarif 3,5 juta rupiah sekali tampil Rukun Perawas mengerahkan 35 orang yang terdiri dari penari, pengerawit dan kru panggung.

“Napas saya sudah tidak kuat kalau menari tapi akan tetap  ada untuk Wayang Topeng”‘ ujar pria berusia kepala lima dari desa Selopeng menutup perbincangan. Suara petasan memekakkan telinga bersahutan pertanda pertunjukan segera dimulai.

Pertunjukan Spektakuler
Layar diangkat setelah prolog  dalang dikumandangkan, kilatan proyektor berganti lampu biru teduh. Dua penari Gambuh Tameng melangkah ke tengah panggung membuka pertunjukan  dengan sembahan kedua tangan. Gemerincing suara gongseng (gelang kaki) seirama dengan langkah penari menaburkan nuansa mistis, ciri khas Wayang Topeng Madura.

Tari Gambuh Tameng
Tari Gambuh Tameng

Tameng dan keris kecil menjadi perlengkapan kedua  ksatria. Cermin di tengah tameng berkilauan konon untuk mengelabui musuh. Gerakan ritmis penari ke arah kanan merupakan simbol perputaran bumi dan aliran darah manusia.

Topeng Kelono dengan gerakan yang lebih dinamis
Topeng Kelono dengan gerakan yang lebih dinamis

Babak selanjutnya Topeng Kelono menampilkan dua penari topeng lengkap dengan kalung rambut.  Diiringi gending Calilit, Pedit dan Lembik gerakannya lebih dinamis dari Gambuh Tameng.  Suara krecek sang dalang makin seru melengkapi penampilan sepasang penari.

empat penari melakukan gerak Thandang Ghalak
empat penari melakukan gerak Thandang Ghalak

Semakin malam pagelaran semakin seru , empat penari topeng dengan gerakan Thandang Ghalak menghentak-hentak, pancak gulu terlihat kasar berirama. Gerakannya sangat laki-laki. Komposisi empat penari  memiliki makna filosofis.

Supakrah (almarhum) memberikan penjelasan bahwa komposisi penari yang dilakukan oleh empat penari berdasarkan empat kiblat yaitu gambaran empat arah mata angin, barat-timur-utara-selatan, sedangkan di bagian tengah merupakan titik bayangan yang disebut sebagai titik kelima yang tidak ada penarinya tetapi perlu diketahui oleh para penari bahwa di titik bayangan tersebut sebagai mata hati, komposisi ini disebut sebagai keblat papat lima pancer, yang disebut pancer adalah titik bayangan yang ada di tengah (Sumenep,1985).

Pagelaran Wayang Topeng malam ini benar-benar memukau. Tidak menyangka ada kekayaan budaya luar biasa di Sumenep, Madura. Berharap di setiap generasi ada orang-orang seperti Sabidin , Suparkah atau Merto yang tetap setia memangku Wayang Topeng bagi  di tengah pengaruh moderen.

18 tanggapan untuk “Madura Cultural Trip #4 – Memangku Warisan Wayang Topeng Madura”

    1. pertunjukan biasanya habis panen dan bulan desember januari, kalo mau minta info detail aku punya kok cp kepala kampungnya. kata kepala desa siang sebelum wayang topeng ada ocung, kaya petarungan pake rotan dan biasanya itu di jumat legi

      Suka

  1. Jadi pingin pulang kampung, kecilan saya dulu suka nontong Topeng, Ludruk, Tandek dll, itu tahun 80an, Kebudayaan yang tdk boleh punah, harus diletarikan,,,,,,,

    Suka

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar