
“Mas pelampungnya kok cuma ada lima, kita kan bersepuluh. Pokoknya tidak jadi berangkat kalau tidak sepuluh.” Cerocos bu Herlina, wanita berusia 50 tahun penghobi travelling.
“Tapi kita adanya lima bu.” Pemilik kapal sekaligus penyedia jasa wisata laut menjawab.
“Ya sudah sewa aja mas. Saya tidak mau mengorbankan keselamatan dengan uang tidak seberapa. Lagian banyak teman yang tidak terlalu jago renang. Nanti kalau lelah kasiah karangnya keinjek-injek.” Kembali Bu Herlina protes.

Ungkapan Bu Herlina mungkin terdengar agak pedas, tapi ini bentuk kepedulian. Berwisata tidak hanya bersenang-senang tapi ada tanggung jawab moralnya. Wisatawan dan pelaku binsis pariwisata bertanggung jawab atas kelangsungan ekosistem alam, benda budaya dan kearifan lokal . Miris rasanya mengunjungi desa tradisional, anak-anaknya memilik mental tidak arif, meminta uang kepada wisatawan dengan memaksa. Awalnya wisatawan iba dan memberi uang, lama-lama mereka menjadi kebiasaan. Belajar dari kejadian ini warga Wae Rebo tidak mengijinkan wisatawan memberikan makanan dan uang kepada anak-anak mereka.
Mahal Agar Tidak Murahan
Bukannya menyalahkan industri pariwisata masal namun biasanya kita tidak terlalu menghargai apa yang didapatkan dengan mudah dan murah. Murahnya paket wisata membuat pelaku bisnis melakukan penghematan, misalnya dengan mengurangi jumlah kru di lapangan. Seharusnya seorang pemandu menangani lima tamu, menjadi sepuluh tamu. Jelas pengawasan dan kontrol menjadi minim. Kondisi ini tidak hanya berbahaya bagi wisatawan tapi objek wisata.

Edukasi pasar tidak hanya memperkenalkan produk pariwisata lalu laris manis diserbu konsumen. Mengajak konsumen untuk peduli dengan objek wisata yang mereka kunjungi. Menumbuhkan kesadaran bahwa anak cucuk kita berhak menyaksikan keindahan alam dan keunikan budaya.
Sebagai pecinta traveling saya suka berwisata murah tapi jangan sampai kekayaan alam dan budaya menjadi murahan. Dengan mudahnya disambangi, dinikmati, dikotori dan ironisnya dirusak. Berbanggalah Raja Ampat menjadi tujuan wisata mahal karena mereka yang datang benar-benar menghargai Raja Ampat

Mari Saling Mengingatkan
“Mas aku sudah ngerti kok cara snorkeling aku langsung nyebur aja ya tidak ikutan pengarahan di pantai”, ucap saya kepada pemandu @LampungCintaSnorkeling. Salah satu operator wisata laut berawal dari komunitas freedive.
“Kita kumpul saja dulu mas di pantai nanti bersama-sama snorkeling”, ujar pemandu wisata.
Saya baru tahu ternyata di pantai wisatawan tidak hanya melakukan pemanasan dan belajar mengenakan gear, namun beberapa pesan kepedulian lingkungan diselipkan. Bagaimana berprilaku di laut, dari tidak membuang sampah sembarangan hingga tidak mengganggu biota laut. Pemandu mengatakan jangan ragu untuk saling mengingatkan, termasuk menegur dirinya. Manusia tempatnya khilaf oleh karena itu setiap saat perlu diingatkan.

Belajar Dari Masyarakat Lokal
“Jangan buang sampah di laut kita, kalau ikan-ikan dan terumbu mati. Habis rejeki kita orang tho!”, ucapan pemilik kapal benar-benar menampar perasaan saya. Lelaki asal Tanjung Bira memunguti botol plastik yang baru saja buang ke laut. Inilah pelajaran berharga yang saya dapatkan di trip perdana Sulawesi Selatan.
Penduduk lokal memiliki kepedulian yang lebih tinggi dibandingkan wisatawan atau pendatang. Karena ketika alam rusak, merekalah yang akan merasakan dampaknya langsung. Mitos dan kepercayaan turun temurun merupakan cara nenek moyang menjaga keseimbangan alam. Seperti masyarakat Mentawai dengan kepercayaan Arat Sabulungan meyakini bahwa sungai, laut, pohon dan tanah memiliki roh penjaga. Jika kita merusak alam maka roh-roh akan marah dan menimbulkan bencana.

Sebagai masyarakat moderen tidak percaya mitos tapi yakinlah ketidakseimbangan alam akan menimbulkan bencana. Lihat saja bencana banjir di sekitar kita akibat perbuatan manusia yang tidak peduli lingkungan.
Menahan diri
Tidak ada regulasi batasan kuota pengunjung tempat wisata membuat beberapa destinasi menjadi sangat ramai di luar batas toleransi. Saya tidak menyalahkan gencarnya promosi wisata di media atau film. Tapi sejogjanya sebagai manusia yang beradab dan berlogika bisa menahan diri.

Menahan untuk tidak latah, masih banyak destinasi lain. Berikan kesempatan kepada alam untuk bernafas dalam kesendirian , sejenak jauh dari hiruk pikuk manusia. Menikmati keindahan alam tidak salah, yang salah menikmati tanpa mempedulikan nasib mahluk lain seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Mereka terusik jika didatangi begitu banyak manusia.
Tanyakan kepada operator wisata atau trip adviser destinasi wisata yang tidak terlalu mainstream. Untuk informasi terlengkap destinasi wisata Indonesia silakan kunjungi Indonesia Travel.
Membangun Kesadaran Diri
Hal yang terpenting adalah membangun kesadaran diri. Menurut pepatah jawa “sak bejo bejane wong kang lali isih bejo wong kang eling lan waspodo”. Sadar bahwa manusia bagian dari alam , jika alam rusak maka terjadi malapetaka bagi kita semua.
Anak cucuk kita berhak menikmati peninggalan budaya dan keindahan alam . Mari kita jaga kelangsungannya . Jadikan potensi alam menjadi sumber daya bekelanjutan yang kelak menjadi warisan bagi mereka.
Jangan ragu untuk bicara dan bertanya. Meski julukan wisatawan kepo akan melekat pada diri anda. Cerewet demi kebaikan tidak apa-apa tho!
Ya betul, cerewet kadang perlu, karena orang model2 sembrono yg perlu dicerewetin ada dimana mana, ga cuma di Indo aja.
SukaSuka
Iya mbak, mungkin org bilagnya cerewet tpi sebetulnya Kota peduli
SukaSuka
Ibu Herlina kok ga ada fotonya ?
SukaSuka
Eh Ada kok, itu yg lagi snorkelling
SukaSuka
Pernah trip rame-rame ke Pulau Tunda, menggadaikan nyawa, karena naik kapal nelayan dan tanpa jaket pelampung. Kalau tahu aku nggak akan pernah mau pergi.
Sebelumnya aku pernah ikut acara bersih-bersih pulau di Pulau 1000. Peserta ratusan orang dimasukkan satu kapal dan kapal itu jadi kelebihan beban, tapi tetep jalan.Sepanjang jalan aku cuma bisa berdoa sambil pegang pelampung.
Nggak lagi deh ya, mendingan cerewet banget demi keselamatan dan kenyamanan!
SukaSuka
Serem banget kapal kelebihan beban…
SukaSuka
Suka dan setuju sama semua hal yang disampaikan di post ini. Paling miris kalo ke tempat wisata yang sudah terlalu terkenal adalah banyaknya sampah yang berserakan. Saya ingat betul waktu ke Pulau Tidung naik kapal dari Muara Angke, di tengah jalan salah satu penumpang tau-tau plung buang botol plastiknya ke tengah laut. Pengen negur juga gak bisa soalnya desak-desakan dan lagi setengah mabuk laut juga. Share artikel ini ah…
SukaSuka
Thanx bama… Yg kerasa Kalo ke gunung, mungkin krn Leah beberapa pendaki Malas membawa sampah turun
SukaSuka
yup, bener banget. Miris kalo liat tempat indah tapi banyak sampah. Sepertinya kesadaran masyarakat buat menjaga kelestarian alam masih kurang banget 😦
Great post!
SukaSuka
Kayaknya perlu Ada perda yg mengatur masalah sampah… Terutama sampah di lokasi wisata
SukaSuka
Setuju banget. Sebagai traveler kita juga harus sadar untuk menjaga kelestarian lingkungan, begitu juga dengan pelaku bisnis. Yah, mulai dengan diri kita sendiri aja hehe
SukaSuka
Awal ya memang diri sendiri…. Meski nantinya dijuluki cerewet
SukaSuka