Singapura, Travelling

Bukan Drama Random Check Singapura, Tapi Nyaris Dideportasi

“Kak boleh ikutan kalau trip ke luar neger. Sepertinya tripnya seru!”

Begitulah kebanyakan komentar video traveling ada dm media sosial yang sering saya terima. Saya lumayan rajin mendokumentasikan perjalanan untuk kepentingan pribadi dan katanya terlihat seru. Padahal aslinya :D, banyak kejadian bodohnya, khilafnya, randomnya, gamblingnya, deg-degannya. Seperti kejadian dua hari lalu.

Ini aslinya bodohnya parah, banget! Saya nyaris dideportasi ketika akan masuk Singapura karena kelalaian kecil. Eh besar ding!

Mei tahun ini berkah banget buat penghobi traveler seperti sayah. Bayangkan ada tiga minggu ngejembreng dengan hari kejepit nasional. Yang kalau kamu pandai menyusun itinerary perjalanan plus cuti, bisa traveling 9 hari bahkan lebih. Ehem!

Tapi sayangnya nggak banyak yang sadar, mungkin mereka seperti aku amnesia karena tabungan sudah terkuras untuk mudik. Bulan depan bayar UKT yang konon naik 6 kali lipat plus adik mau daftar ulang, beli seragam baru dan buku pelajaran. Pokoknya emak-emak dan bapak-bapak yang tergabung dalam ikatan keluarga mepet tiap akhir bulan akan berpikir seribu kali liburan di bulan Mei.

Lalu para jomblo apa kabar? Ngana pikir kita nggak deg-degan melihat rupiah yang makin melemah terhadap mata uang asing. Ya kata Jeng Sri , jangan sering-sering piknik dan belanja ke luar negeri nanti devisa negara berkurang. Ingat juga Mas-Mas dan Mbak Bea Cukai yang setia mengawasi isi koper dan ransel mu saat masuk negeri tercinta.

“Sudah piknik di dalam negeri saja. Indonesia indah lho”, ujar mentri pariwisata yang punya rencana mengutip pajak wisata lewat tiket pesawat yang harganya makin di luar nurul.

Gimana masih berani piknik?

Awalnya saya mau jinak di kosan tapi masa sih libur 4 hari nggak kemana-mana, akhirnya tercetuslah piknik santai ke singapura. iya santai piknik aja nggak ada destinasi berbayar, hanya jalan kaki eh tapi tetap biayanya nggak santai :D. Harga tiket pulang pergi 760 ribu rupiah, hostel satu ranjang 500 ribu rupiah. Ini belum termasuk biaya naik MRT, makan dan belanja :D. Dulu sebelum pandemi, saya masih percaya diri ke Singapura membawa uang 500 ribu rupiah. Sekarang 1 SGD setara dengan 12 ribu rupiah :D.

Drama Imigrasi

11 Mei 2024 adalah hari perdana aku masuk bilik termenung. Tanpa pertanda berangkat ke Singapura melalui pelabuhan Feri terminal Internasional Batam Center. Penyebrangan tanpa kendala dengan kapal yang konon terbuat dari alumunium.

Proses imigrasi tak ada yang manual semua dilakukan dengan mesin scanner. Saat keluar saya reflek mengeluarkan kamera dan merekam. Saat akan masuk ke area pindai barang , saya baru sadar dua orang petugas imigrasi memanggil saya.

“Mampus gua”, batin saya bergumam.

Sepertinya saya melanggar batasan no record. Tanpa alasan ba.. bi.. bu.. Saya mengaku salah dan minta maaf. Dan berinisiatif menghapus rekaman tapi ternyata petugas tak puas. Seperti biasa mereka mencecar saya dengan berbagai pertanyaan dan mengancam akan memulangkan saya. Jujurly aku sih pasrah saja , kalau belum rejeki masuk Singapura artinya belum rejeki.

Dua orang petugas imigrasi menyerahkan saya ke seniornya (sepertinya) dan kembali saya diinterogasi seperti bekerja dimana , membawa uang berapa dan ponsel saya diobrak abrk. Email, whasttup galeri video, entahlah mungkin saldo rekening.

Sempat ada pertanyaan lebih lanjut ketika saya menunjukan dollar Amerika .

“Ya ampun Pak. Jaman sekarang harus membawa uang cash”, ketika saya menunjukan kartu debit, kartu kredit plus kartu debit contacless yang bisa digunakan naik MRT sekaligus .

Sepertinya petugas tak puas, saya langsung digelanggang masuk bilik. Di dalam bilik ada dua orang yang sepertinya nasibnya lebih baik dari saya. Mereka berdua masih pegang ponsel sedangkan ponsel saya disita. Di bilik ini saya disuruh mengeluarkan seluruh isi tas termasuk sempak :D. Akhirnya muncul lah beberapa perlengkapan lenong :D, kamera DSLR, kamera aksi dan mic wireless.

Sejenak petugas keluar lalu tak lama masuk kembali dan bertanya apakah saya jurnalis. Oh bukan, saya bukan jurnalis tapi menulis untuk surat kabar dan majalah serta sesekali menjadi kontributor lepas televisi.

“Nah pikirlah, apa kerja saya”.

Tak lama petugas datang kembali sambil memberikan ponsel lalu mempersilakan saya melanjutkan perjalanan. Alhamdulilah, aku bisa lanjut jalan dan petugasnya juga baik sih dia sambil senyum dan bilang jangan diulang lagi.

“Ya mohon maaf Pak , saya khilaf.”

Semoga peristiwa ini menjadi pelajaran berharga, sebetulnya aku sudah beberapa kali kena random check . Tapi biasanya nggak selama ini dan seheboh ini sampai dicecar beberapa petugas. Aku paham mengapa imigrasi Singapura seketat ini , mereka negara kecil yang hanya punya satu . Jika terjadi apa-apa tentu semua sektor akan terdampak.

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar