Curahan, Hotel, Travelling

Hostel Kok Jadi Tempat Long Stay Buruh Migran?

Para penggemar perjalanan beransel aka backpacker pasti sangat familiar dengan hostel. Iya tempat tinggal yang hanya menyewakan ranjang dan kita bisa beramai-ramai dalam satu kamar. Jujur saya senang tinggal di hostel karena bisa berinteraksi aktif dengan pelancong dari berbagai negara.

Eh tapi sekarang sering menemukan hostel di Singapura jadi tempat tinggal pekerja migran bukan pelancong. Terus masalahnya dimana dan apa?

Masalah utama yang timbul adalah barangnya yang super biasanya. Biasanya kalau pelancong hanya membawa satu koper dan ransel. Biasanya hostel memiliki tempat khusus dan disarankan agar kita menaruh di sana karena lebih aman dan membuat nyaman.

Bayangkan kalau banyak koper dan ransel bergelimpangan di kamar yang luasnya tak seberapa. Saya pernah sih menemukan pelancong (Mbak-Mbak) dengan ransel berantakan masuk kamar. Jujur itu mengganggu banget. Tips buat yang baru pertama atau merencanakan tinggal hostel, coba degh light pack dan memilah barang yang harusnya masuk di kamar atau loker di luar kamar (biasanya untuk koper).

Singapura Makin Mahal

Singapura itu menjadi impian bagi beberapa buruh migran mengais rejeki, karena nilai tukar mata uang SGD makin meroket dibanding IDR. Belum lagi standar upah yang jauh dibandingkan Indonesia. Eh tapi biaya hidup di negeri Singa itu makin meroket. Ini juga dikeluhkan oleh buruh migran tapi warga lokal, yang konon biaya listrik, air, transportasi dan sewa rumah bisa naik 30-40%. Harga ini jauh akan lebih mahal untuk eksptriat dan keluarganya.

Jadi jika dulu kita jalan-jalan akhir pekan sering melihat keluarga bule (ekspatriat) wara-wiri, sekarang didominasi warlok (warga lokal). Jika ekspatriat bekerja di Singapura memilih untuk hidup single dengan tidak membawa keluarga. Andaipun ingin membawa keluarga, pilihannya melipir ke Johor dan pulang pergi Johor-Singapura tiap hari.

Pekerja Tinggal di Hostel

Sebetulnya fenomena ini sudah ada sejak 2017. Ketika menginap di Moni Hostel di kawasan Lavender Singapura. Karena sudah malam sampai di hostel, saya diberikan kamar yang lebih layak dibilang gudang dibandingkan di hostel.

Kamar dengan isi kasur dan ranjang yang tidak terpakai. Di dalam kamar ada beberapa orang tinggal dengan barang super banyak. Jika menilik barang-barangnya sepertinya ia tinggal berbulan-bulan di kamar ini . Karena barangnya bukan hanya pakaian dan perlengkapan mandi tapi ada beberapa peralatan masak sederhana seperti rice cooker, pemanas air hingga pembuat roti toaster sederhana.

Jujur saya pribadi tidak merasa terganggu karena beberapa hari fokus dengan iven yang akan saya kunjungi. Hingga malam ke dua terjadi sebuah insiden, salah seorang tamu melakukan mastrubasi di depan saya. Saya memang sial, ketika jam 2 dini hari terjaga mendapati , pria yang tidur di samping tidur dengan celana terbuka dan “senjata” mencuat. Mastrubasu

Karena kejadian itu besok paginya saya jadi kepo, mulai meniliki roomate . Ternyata beberapa buruh migran dari beberapa negara asia tenggara yang tinggal long stay di hostel.

Setelah Pandemi

Setelah pandemi saya makin jarang jalan-jalan ke Singapura, jika dihitung2 mungkin tak sampai sampai 10 kali . Jika dibandingkan dengan sebelum pandemi , dulu hampir setiap bulan bisa ke Singapura. Salah satu faktornya harga tiket feri yang naiknya di luar logika. Dari 280 ribu pulang pergi menjadi 760 ribu, hampir 3 kali lipat. Salah duanya, biaya hidup di Singapura makin mahal dibanding dengan kurs rupiah yang makin melemah. dulu 1 SGD setara dengan 9000 rupiah sekarang 12000. Terasa kan kisminnya.

Dengan harga tiket feri semahal itu rasanya sayang kalau hanya one day trip, tapi jika stay di hostel lumayan menguras kantung. Dulu saya masih dapat seranjang hostel di Singapura dengan harga Rp 150.000 dan sekarang minimal Rp 500.000.

Tidak mengherankan harga sewa kamar bagi pekerja migran juga meroket dan ternyata pilihan mereka long stay di hostel dan menyewa satu ranjang. Kebayang ya beratnya hidup, tinggal tidak ada privasi. Selamat datang di dunia nyata buruh migran Bro. Mungkin kamu pikir gajinya besar, dollar tapi pengorbanan yang dilakukan besar. Jauh dari keluarga, hidup tak nyaman. Ini belum kisah buruh migran di Singapura, bekerja di luar negeri tapi gajinya rupiah. Ada juga mengakali visa kerja karena tempat mereka bekerja tak mau keluar uang banyak melalui jalur legal.

Seperti beberapa pekan lalu stay di sebuah hostel di Jalan Besar Singapura, Saya sempat bertemu dengan mahasiswa asal Myanmar yang tinggal lama di hostel untuk mengurus visa ke Amerika. Ada juga beberapa pekerja migran asal Indonesia yang tinggal cukup lama di hostel sebelum mendapatkan tempat tinggal atau kamar kos. Dan ternyata sewa hostel long stay lebih murah daripada harian.

Tapi kalau boleh jujur keberadaan mereka yang tinggal long stay ini membuat tamu tak nyaman apalagi jika barangnya terlalu banyak dan berantakan. Ternyata tidak hanya saya merasakan hal ini beberapa ulasan hostel di google juga sempat membahas hal serupa.

Kamu punya pengalaman serupa. Silakan berbagi di kolom komentar.

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar