cerpen, Curahan

Malas Mengerjakan Skripsi, Nyalahin Jin dan Minta Diruqyah

Manusia selalu punya cara untuk melakukan pembenaran atas dosa-dosanya, termasuk menyalahkan setan atau jin. Aku yakin banget, jin pun akan geram setengah mati kalau membaca tulisan ini (baca curhat). Karena kesalahan dan kemalasan manusia, eh dia yang dituduh. Tuduhannya dalam berimbas fitnah dan pembunuhan karakter. Wajar sih kalua ada yang bilang kalau manusia itu kadang lebih iblis dari iblis.

Kisah ini terjadi sudah dua puluh tahun lebih lalu, Ketika saya dan Debi terjebak sebagai mahasiswa abadi, nyaris drop out dan malas banget mengerjakan skrip shit. Awal kuliah saya dan Debi tak termasuk mahasiswa yang lurus-lurus saja, bisa dikatakan siswa dengan nilai lumayan. Untuk ukuran mahasiswa juruan Teknik elektro di era 90-an, IPK di angka tiga lumayanlah. Debi yang selalu menduduki nilai A hampir di semua mata kuliah memiliki IPK 3,7 sedangkan saya 3,4. Tepat semester tujuh semua mata kuliah sudah kami selesaikan dan maunya focus ke tugas akhir. Tapi itulah kehidupan kadang godaan uang dan jodoh bisa mengaburkan impian dan masa depan. DI pertengahan semester tujuh saya mendapat kesempatan magang di perusahaan multi internasional dengan gaji hampir tiga kali lipar UMK. Sedangkan Debi diajak pacarnya menikah yang baru saja pulang bertugas dari Jepang.

Selepas magang saya tetap ke kampus tapi asik dengan hobi baru di luar kampus Teknik. Jaga warnet hingga gongnya bikin film indie. Debi menghilang hampir dua tahun focus dengan keluarga barunya,hamil dan mengurus bayi. Hingga tahun ke tiga kami berdua mendapat surat cinta dari kampus (baca pra drop out). Jika tidak menyelesaikan kuliah di kampus ke tujuh maka terpaksa di keluarkan paksa.

“Ya kalian ini kan mahasiswa bersubsidi.Jadi tetap menjadi beban negara walau tidak ke kampus”, urai dosen pebimbing.

“Tapi kami tetap bayar uang kuliah kok Pak.”

“Uang kuliah yang kalian bayarkan itu tak seberapa dengan biaya yang dikeluarkan negara, untuk lab, gaji dosen, beli buku dan kegiatan operasional lainnya.”

Saya dan Debi cuma bisa diam.

“Lagian kalian menghilang terlalu lama. Ngapain aja. Oh saya tahu kamu Kawin, kamu kerja.”

Saya dan Debi cuma bisa bepandangan.

“Pokoknya kalian selesaikan tugas akhir. Apa masalahnya. IPK kalian lumayan.”

“Judul saya ditolak Pak”. Debi membela diri.

“Saya juga. Sudah lima kali.” Saya ikutan curhat.

“Masalah orang pintar. Kadang idealis, pilih judul.”

“Pak kalau ditolak terus bukan salah saya dong”, bela saya.

“Saya sudah tahu dari bu Ratna. Kamu kan anak power. Lalu kamu ngajuin tugas akhir konsentrasi kendali atau telekomunikasi. Itu crossing nya jauh lho.”

“Tapi kan saya asisten lab Telkom dan kerjaan saya dekat dengan control. Jadi bisa studi kasus.”

“Nggak Bisa. Itu belok, ada mata kuliah konsentrasi yang harus kamu ambil lagi kalau gitu. Dan nggak ada Waktu.”

“Jadi harus power ya Pak.” Debi bertanya Kembali.

“Iya. Nanti saya coba diskusi dengan dosen power. Siapa tahu bisa ikut proyek penelitian.”

Saya dan Debi nggak saling berpandangan tapi menerawang jauh. Ya sudah terbayang sulitnya tugas akhir penelitian dosen. Awal semester tujuh saya sempat ikut proyek penelitan dosen elektronika daya. Kebetulan dosen ini terkenal killer. Sebelum kami diperkenankan menyentuh proyeknya, kami “dikurasi” selama tiga bulan. Hampir setiap minggu kami diberikan jurnal yang berkaitan dengan percobaannya lalu disuruh presentasi di antara anggota calon mahasiswa yang akan ikut penelitian. Bukan presentasinya yang menakutkan tapi pertanyaan beliau yang kadang di luar nurul. Tujuan pertanyaannya bertujuan kedalaman pemahaman , kalau tidak paham artinya akan ada tugas baru, buku baru wajib dibaca. Beruntung saya keterima magang jadi ada alasan untuk kabur dari proyek ini. Teman saya Era harus bertahan setahun lebih ikut “pendalaman” ini selama setahun penuh. Tahun ke dua dia sempat kabur tapi ia tak memiliki kemampuan melepaskan diri, sebulan kemudian ia Kembali ke lab.

Dan setelah dua tahun penuh akhirnya ikut penelitian dan belajar itensif, tugas akhirnya selesai dengan nilai A. Tapi menurut saya tak sepadan. Ia sempat stress , tak memiliki kehidupan social dan paling sial menjomblo hingga wisuda. Bayangkan bro satu-satunya perempuan di Angkatan kami, hanya dia yang selama kuliah nggak pacarana dan saat wisuda nggak ada pria yang jadi pendamping wisuda. Padahal beberapa temannya saat wisuda sudah punya anak. Ironis kan?

“Gimana Deb. Sampai mana skripsinya?” Saya membuka percakapan dengan Debi.

“Mulai aja belum. Gua males banget.” Debi memutar mutar pena setelah membuat catatan kecil, mencari inspirasi judul

“Sama. Kayaknya gua males harus belajar dari awal. Apa yang kita pelajarin dulu lupa semua.”

“Ih ya bener. Apalagi setelah kenal duit.” Debi menyindir.

“Tapi bisa D.O lho.”

“D.O. dengan IPK di atas tiga”, jawab Debi sombong.

“Yah IPK tiga nggak lulus tetap aja nggak jadi sarjana. Gua dah janji sama bokap buat lulus.”

“Sama, dulu gua janji ke emak bakal jadi sarjana walau nikah.”

“Tuh kan.Ini mah musti kita kelarin. Itu si Bambang yang IPK-nya 2,5 bisa jadi sarjana tepat 5 tahun. Masa kita enggak.”

Ya begitulah percakapan dua mantan bintang kampus yang akhirnya redup terancam D.O. Hingga akhirnya muncul ide absurd berbaku klenik dan mistik.

“Nan loe merasa aneh nggak sih. Aku dulu yang rajin banget kuliah sampai IPK di atas 3. Kenapa sekarang males banget buka buku. Rasanya puyeng”, cuhat Debi.

” Kok sama. Aku dulu suka banget itung2an sampai semua soal di buku Kalkulus hapal. Sekarang ngitung rangkaian listrik sederhana mual.”

“Eh jangan-jangan kita ini ketempelan aura negative yang bikin males.” Debi membuka percakapan mistis.

“Seriusan Nan. Bisa aja ada jin yang ngikutin.”

“Tapi aku ngerasa baik-baik aja, nggak kesurupan.”

“Ini bukan kesurupan tapi kaya nempel membuat kita males melakukan hal positif. Males belajar, males sholat, males banget pagi.”

“Tapi nggak males makan kan?”

“Nggaklah, kalau males makan kita nggak akan segendut ini.”

“Oh iya juga. Tapi aku ngerasa sekarang males bangun pagi sih disbanding jaman kuliah.”

“Nah kan. Gimana kalau kita diruqyah. Biar lebih rajin.”

“Ruqyah?”

Lengkingan Kuntilanak

Seminggu kemudian kita berdua mendatangi pesantren dekat kampus dengan membawa selebaran yang memuat jadwal ruqyah.

“Oh iya bener. Tapi akhwat dan ikhwan berbeda. Tapi bagusnya ikutan hari Jumat aja. Kalau akhwat dilakukan pagi sebelum jumatan dan ikhwan setelah Jumatan”, jelas petugas.

“Biayanya?”

“Seiklasnya saja.”

Jumat pagi atas nama solideritas saya ikutan nongol di pesantren, tapi aslinya karena kepo.

“Lah jadwal loe kan masih sore Nan.”

“Iya tapi pengen nemenin loe aja .”

“Cowok nggak bisa masuk Nan.”

“Iya gua nunggu di sini”, jawab seraya lesehan di selasar masjid.

“Ya udah gua masuk. Nanti kita makan mie ayam ya.” Debi masuk ke masjid bersama belasan orang santri. Gua berpikir, jangan-jangan bukan gua sama Debi yang malas ngerain skripsi karena jin.

Samar-sama gua mendengara lantunan ayat suci Al Quran. Ya sepertinya sudah dimulai. Tak berapa lama ada suara jeritan perempuan. Jujur saya kepo tapi kan nggak boleh masuk apalagi mengintip. Ini kan Waktu khusus ruqyah perempuan.

Setelah sekian lama suara menjerit menghilang berikutnya tertawa melengking ala kuntilanak. Dari percakapan yang tertangkap panca indra. Si embak kunti nggak takut sama ustadzah yang meruqyah dan nggak mau keluar. Doa pun dirapal Kembali lebih kuat dan cepat, sepertinya banyak orang yang mengumndangkan.

Saya langsung membayangkan adegan film horror islami, yang tokoh utamanya kerasukan dan sedang diurapi dengan ustad. Dari yang saya dengan pertarungan cukup sengit kurang lebih satu jam. Hingga akhirnya semua mereda dan ditutup dengan tangisan beberapa peserta ruqyah. Tak lama hening lalu pintu dibuka.

“Krakkkkk…” Pintu dibuka dan Debi keluar dengan wajah pucat.

“Gimana Deb?”

“Entar gua certain. Kita makan mie ayam bakso yuk gua lapar banget. Belum sarapan.” Ealah ternyata pucatnya karena kelaperan.

Sambil melahay semangkuk mie ayam dan semangkuk bakos, bukan bakso mie ayam, Debi bercerita.

“Jujur pas teriak di awal-awal gua udah mau ngakak. Gua pikir setingan biar dramatis kaya di acara TV.”

“Tapi lama-lama merinding juga pas keluar suara Mbak Kunti. Dia di samping gua.”

“Heh iya. Habis itu dia ngomel-ngomel nantangin ustad sama ustadzah. Sampai harus dipegangin dua orang.”

“Buset! Loe ada rasa apa. Pusing atau sesak napas nggak kaya orang-orang?”

“Akhir akhir gua puyeng gitu. Gua pikir jin gua mau keluar tapi kok ditunggu pusing aja. Eh gua baru inget belum sarapan. Hah ha ah. Hap!” Debi melahap bakso bulat segede gaban.

“Ketawa jangan sambal makan nanti keselek.”

Tapi yang gua tangkap dari cerita Debi memang ada sih orang yang ketempelan apalagi yang punya ilmu atau khodam yang aneh-aneh.

“Ada juga yang susuknya keluar.”

“Susuk konde?”

“Bukan lho, susuk jarum emas untuk pengasihan yang dipasang di muka.”

“Gimana ceritanya.”

Nah kira-kira dua di samping gua ada mbak-mbak habis dibacain, muntah-muntah. Dan you know what?”

“What?”, aku bertanya sok bule.

“Dia muntah dan susuknya yang jarum emas keluar.”

“Njirrrrr.” Sumpah aku jadi gugup menghadapi ruqyah jam 2 siang.

Dua Macan

Sebelum ruqyah aku disarankan agar makan siang sebelum sholat Jumat agar ruqyah bisa dilakukan pas jam 2 siang. Beberapa mahasiswa dan bapak-bapak setia duduk di dalam masjid setelah sholat Jumat. Jumlahnya tak sampai 10 orang. Saya semakin yakin bahwa yang paling gampang digoda jin atau setan itu perempuan. Terbukti dari perbandingan peserta ruqyah ikhwan dan akhwat.

Sebelum ruqyah kami disuruh Kembali berwudhu, meyakinkan dalam kondisi suci. Lalu kami berdiri sejajar menghadap kiblat. Sang ustad mengatakan apapun yang terjadi di ruangan ini menjadi rahasia kita, agar tidak menceritakan ke orang lain. Apalagi jika berkaitan dengan aib orang tertentu. Dan paling penting jika melihat, mendengar atau mendapat pengalaman gaib jangan panik. Apalagi sampai berlair keluar masjid.

Semua peserta ruqyah tidur berbaring. Ustad mengajak kami melafaskan basmalah dan membuka doa dengan al fatihah. Saya mencoba focus dengan memejamkan mata dan mendengarkan setiap lantunan ayat Al Quran. Tak sampai lima menit lelaki di samping kanan saya menggeram-geram lama-lama suaranya mirip dengan harimau. Suaranya bergetar terasa hingga ke seluruh ruangan.

“Mampus dah gua diterkam macan”, batin saya menjerit.

Tak berselang lama lelaki di sebelah kiri yang jaraknya beberapa meter juga ikut menggeram. Sumpah ini masjid berasa kaya kendang macan. Doa ustadz makin kencang diikuti beberapa santri.

Gongnya. Macan di samping saya mulai bangun. Ia tidak hanya menggeram tapi suaranya seperti akan menyerang. Saya mencoba mengintip dengan ekor mata. Saay membuka sedikit mata, pria di kanan saya melompat seperti akan menyerang ustad.

“Huarrrrr. Grrr. Grrrr.” Beberapa santri refleks memegangi sang pria yang ingin mengamuk.

“Plak” Kaki kiri sang pria menyepak kaki saya. “Mampus dah gua.”

“Yang lain tenang. Fokus berzikir. Jangan terpengaruh”, suara ustad membuat saya kembali berkonsentrasi. Pertarungan ini terjadi sekitar 30 menit saja tapi rasanya saya mau pingsan. Tapi kalau pingsan gimana kalau jinnia masuk dan saya kesurupan.

Kalau teriakan kesakitan peserta ruqyah yang lain saya bisa abai. Tapi dua harimau ini bikin saya was-was. Aku berasa di dalam hutan dan dihadang dua ekor harimau yang siap menerkam.

Oh Tuhan akhirnya semua mereda, diakhiri dengan suara tangisan dua macan yang sepertinya sudah sadar. “Alhamdulilah…”

Lalu apa kabar Debi? Eh ternyata dia mendengarkan semua drama macan ini dari luar masjid.

“Loe nggak pulang Deb. Nanti dicariin laki loe” tanya gua ke Debi yang cengar-cengir melihat gua keluar masjid usai sholat Azhar.

“Gua kepo. Gua kan tadi ketemu neng kunti. Nah loe ketemu apa?”

“Maung… Macan”, bisik-bisik merasa nggak enak tetiba Mas-Mas macan lewat.

“Gua pikir genduruwo Nan.”

Sejak saat itu aku yakin kalau kami malas mengerjakan skripsi bukan karena jin tapi memang manusianya saja sih. Ya begitulah manusia selalu punya alasan untuk menyalahkan orang lain atas kesalahannya, termasuk jin, setan pun disalahkan.

“Nan loe beli kaset ruqyah? Itu lho rekaman murothal doa ruqyah yang bisa diputar”, ujar Debi.

“Biar bisa ruqyah diri sendiri di rumah.”

“Ih kalau gua sih merasa di gua nggak ada jin. Emang males aja skripsi nggak kelar.”

“Sama gua juga, tapi ya udahlah ngelarisin dagangan pesantren.”

***

Seminggu kemudian Debi menelpon dan bercerita ada kejadian mistis saat kaset murothal diputar di rumahnya.

“Jadi kan lima hari ini pas mau magrib, kaset ruqyah gua puter terus.”

“Terus? Ada yang kesurupan atau keluar macan?”

“Enggak. Tapi adek gua yang SD bilang gini. Yuk-yuk, kalau kaset itu besok diputar lagi. Kalian semua di rumah ini mau dibunuh sama temanku yang tinggal di pohon jambu”, curhat Debi membuat bulu kudukku merinding.

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar