Setiap anak itu unik dan lahir dengan bakatnya masing-masing. Rasanya tak bijak jika orang tua membandingkan kemampuan anak satu dengan yang lainnya. Setiap anak akan pandai jika menemukan guru yang tepat yang mampu mengembangkan minat dan bakatnya secara maksimal.
Empat puluh tahun lalu orang tua saya tak paham apa itu disleksia. Masyarakat kita hanya paham jika anak tidak mampu membaca saat sekolah dan tidak bisa mengikuti mata pelajaran dengan baik maka akan dicap sebagai anak bodoh.
Sejak di taman kanak-kanak, ibu sudah memperkenalkan saya dan kakak perempuan dengan angka dan huruf melalui belajar mandiri di rumah. Meski bukan guru, ibu mengajar kami di rumah bermodalkan papan tulis kayu dan kapur tulis. Tapi mengapa saya berbeda dengan kakak yang hanya butuh beberapa bulan untuk bisa membaca . Sedangkan saya bertahun-tahun hanya mengenal angka dan huruf tapi ketika diminta merangkai huruf dan melafalkan kata selalu tergagap.

Saya merasa tidak mudah mengindentifkasi huruf jika sudah dijajarkan, apalagi beberapa huruf yang terlihat mirip seperti u, n dan a. Itu baru, lalu bagaimana jika dihadapkan dengan kalimat. Saya akan menangis sejadi-jadinya saat pelajaran membaca dimulai karena bingung dan panik. Belum lagi komentar orang yang sering membandingkan saya dengan kakak. Rasanya seperti menjadi orang paling bodoh di dunia.
Ibu semakin khawatir mengapa putranya yang lahir prematur tak kunjung bisa membaca meski duduk di kelas 1 sekolah dasar. Adakah hubungan dengan riawayat medis saat kelahiran? Hingga satu saat, beliau mengobrol dengam Nina tetangga kami yang kebetulan mengajar calistung di rumahnya.

Nina menanyakan kepada ibu saya, apakah ayah saya mengalami hal yang sama saat kecil. Dan sepertinya memang kebetulan, ayah saya baru bisa membaca dengan lancar saat kelas tiga sekolah dasar. Ia menduga saya disleksia seperti ayah saya.
“Tapi jangan khawatir. Tidak ada anak yang bodoh, hanya belum menemukan cara belajar yang tepat saja.”
“Maksudnya?”
“Tiap anak itu unik, kita hanya perlu mengenalkan cara belajar yang tepat sekaligus memotivasi dan mencintai proses belajar.”
“Maaf aku semakin nggak paham, Jeng.”
“Begini, ada orang yang memiliki kemampuan fotografis. Orang seperti ini biasanya kemampuan menghapal bagus. Sekali membaca langsung paham. Ada anak yang belajar harus didengarkan berulang-ulang baru bisa.”
“Ohhh… Kira-kira, anak saya termasuk yang mana. apa butuh kursus membaca anak?”
“Coba bawa ke rumah nanti diobservasi dan kita cari metode belajar yang tepat.”

Hari Pertama
Awalnya saya tidak pernah tahu jika dibawa ke rumah Nina untuk les membaca dan menulis. Hari itu saya diperkenalkan dengan anak-anak Nina. Saya diajak bermain, menggambar, menuliskan huruf dan kata bersama anak-anak yang lain. Ia paham jika saya lebih tertarik dengan angka dibanding huruf. Hari-hari berikutnya saya diminta untuk mengerjakan soal matematika. Hari berikutnya soal yang diberikan semakin sulit tapi saya tetap bisa menyelesaikan dengan baik.
Hari ke lima barulah saya diajarkan membaca. Hari ini tidak ada anak lain, hanya saya dan Nina. Ia mengeluarkan buku besar yang berisi gambar binatang dengan bagian keterangan kosong.
“Nan, ini gambar apa?”
“Ayam.”
“Bagus. Kamu tahu hurufnya apa saja.” Nina memberikan huruf plastik agar saya memilih dan merangkai.
Tak lama saya mengambil dua huruf A, satu Y dan M lalu merangkaikan.
“Oke… Dari sini kamu tahu polanya kan. Kalau kata ayam itu polanya , huruf Y diapit A lalu diikuti M.
Saya mengangguk berlahan mencoba membayangkan huruf di kepala saya.
“Bagaimana kalau yang ini”, Nina menunjukan gambar bebek.
Cekatan saya mengambil dua B , dua E dan satu K.
“Coba bayangkan huruf apa saja.”
“Dua huruf BE dan K .”
“Kalau kamu sudah paham, ini ada beberapa kata bintang . Coba kamu bayangkan huruf hurufnya sambil belajar merangkainya”, ujar Nina.
Hari itu saya tidak belajar membaca tapi mengenal kata dan polanya melalui bentuk. Nina paham saya memiliki kemampuan mengimajinasikan pola huruf dan angka. Buktinya dalam beberapa kali perjumpaan saya mampu berhitung dengan bilang besar tanpa menggunakan coretan.

Setelah kursus membaca, saya tidak langsung pandai membaca seperti kakak saya tapi berlahan mulai mengenal pola huruf setiap kata yang membuat saya tak harus berpikir ekstra lama untuk merangkai huruf menjadi kata. Nina berpesan kepada ibu agar saya lebih sering berlatih di rumah, semakin banyak mengenal pola kata semakin baik.
Sejak itu saya juga memencintai matematika, tanpa diminta saya akan mengerjakan soal di buku ajar atau di luar buku ajar. Kegiatan ini terus saya lakukan hingga sekolah menengah atas. Kebiasaan les membaca anak dan menulis saat kecil tetap saya terapkan hingga dewasa.

Membangun Kemampuan Belajar
Kebanyakan orang tua berharap melalui bimbingan belajar, ada guru yang senantiasa membimbing anak untuk belajar. Bukan membuat proses belajar menjadi menyenangkan sehingga anak mencintai belajar dan pada perkembangannya bisa belajar mandiri. Kegelisahan ini yang dirasakan oleh Toru Kumon saat mengetahui putranya yang kelas 2 SD mendapat nilai tidak bagus dalam pelajaran matematika. Buku teks di sekolah tidak dapat membentuk membangkitkan rasa percaya diri.
Karena sesungguhnya setiap anak itu unik perlu cara belajar yang berbeda. Toru Kumon memutuskan membuat soal hitungan di kertas loose leaf yang dapat disesuaikan dengan kemampuan anak. Dengan pemikiran bahwa Takeshi mendapatkan kemampuan yang dibutuhkan saat akan masuk ke SMA, Toru Kumon berusaha membuat soal-soal yang memungkinkan Takeshi untuk belajar secara mandiri. Inilah awal mula terciptanya Metode Kumon. Hal ini yang saya juga rasakan setelah melewati kelas tambahan Bersama Nina tiga bulan. Andai waktu itu sudah ada Bahasa Indonesia Kumon, mungkin saya sudah belajar di sana.

Kemampuan akademis di sekolah berkembang seiring kemampuan literasi yang dibangun dari kebiasaan membaca dan mengerjakan soal matematika. Ibu tidak pernah menyuruh anak-anaknya belajar tapi ia lebih mengajak untuk mengerjakan soal bersama atau mendiskusikan buku yang telah dibaca.
Sejatinya kemampuan menulis dan membaca saya tidak langsung terampil usai les membaca tapi pada akhirnya memahami pola belajar yang tepat. Berbeda dengan kakak saya yang bisa belajar cepat dengan membaca sekilas. Saya harus memvisualkan apa yang dijelaskan oleh guru melalu gambar atau pola grafis sederhana.

Meski tidak belajar di rumah Nina lagi, ia kerap menanyakan prestasi saya di sekolah. Apakah saya mengalami kesulitan seperti sebelumnya. Ia sempat terharu ketika mengetahui penderita disleksia lulus ujian nasional sekolah dasar dengan nilai rata-rata Sembilan.
Pesan Nina
Kelas 4 SD saya dan orang tua pindah kota ke kota lain dan tidak pernah bertemu lagi dengan Nina . Saat lulus SMA , saya mengunjunginya secara khusus untuk mengucapkan terimasih karena selain lulus dengan nilai bagus, saya diterima kuliah di kampus negeri. Tapi keluarga Nina berkisah, Nia sudah berpulang dua tahun lalu. Saya hanya bisa melihat mengenang tempat kursus membaca anak sekaligus rumahnya.

Salah satu pesan yang paling saya ingat dari Nina agar saya selalu percaya diri. Jangan pernah berpikir hanya bisa mata pelajaran tertentu. Jika tak pandai membaca dan lebih suka matemtika, tetap membuka diri untuk belajar hal baru. Sepuluh tahun setelah kepergian Nina saya belajar menulis dan membaca buku lebih banyak, membuat catatan perjalanan di blog pribadi. Ternyata apa yang saya lakukan diapresiasi banyak orang. Catatan perjalanan yang tadinya untuk konsumsi pribadi mulai diminta tayang di beberapa surat kabar dan infight magazine. Saya yang dulu sempat membenci aksara karena disleksia kini lambat laum mencintainya seperti angka dan matematika.
Mungkin Nina hanya mengajar saya beberapa bulan tapi bagi saya ia adalah salah satu guru terbaik yang pernah saya punya.


Nina pasti bangga sekali kepada mas danan. 😊
SukaSuka
iya aku lulus SD dengan nilai besar dia berkali kali mengucapkan selamat
SukaDisukai oleh 1 orang