Salah satu kota di Sumatra yang saya datangi berkali-kali adalah Medan. Alasan pertama karena komunitas backpacker di sana cukup aktif sehingga mudah mencari teman jalan. Alasan ke dua , di setiap kedatangan saya ke Medan selalu ada yang baru.

Hasrat untuk merangkum kisah jalan-jalan di Medan sudah ada sejak lama tapi selalu tertunda dan akhirnya keinginan itu terwujud ketika seorang editor majalah mengirimkan surel dan menawarkan untuk menulis kota Medan dari sudut pandang saya.
Setelah melewati diskusi, perbaikan tulisan hingga kurasi foto, akhirnya tulisan bertajuk Jejak Warna Warni Budaya Medan tayang di majalah maskapai. Tapi sayangnya majalah ini hanya ada di penerbangan rute Timur Tengah. Tenang Bro! Bulan ini Bos mau dinas ke Qatar, bisa lah ya diambilkan satu untuk kenang-kenangan.
Di bawah ini tulisan awal saya sebelum diedit, semoga bisa menjadi referensi bagi yang ingin menulis di majalah maskapai.


Sejak bandara komersil Medan pindah dari Polonia ke Kualanamu rasanya saya belum pernah ke kota Medan. Dulu ketika tinggal di Jambi , setidaknya setahun dua kali menyambangi kota yang konon mirip dengan kota Pinang Malaysia. Apa yang kamu jumpai di kota Pinang dapat kamu jumpai di kota Medan, mulai dari kulinernya yang lezat hingga bangunan tempo dulu yang memiliki nilai sejarah.
Meski bandara udara Kualanamu berada di luar kota Medan, ada beberapa pilihan transportasi darat yaitu dengan menumpang kereta atau bus. Saya memilih bus bukan karena harganya seperempat harga tiket kereta api Kualanamu – Medan, tapi karena ingin menikmati perjalanan lebih santai.
Jelang akhir pekan seperti sekarang kota Medan tidak terlalu macet dibandingkan hari biasa, namun di hari kerja beberapa titik jalan Medan – Kualanamu sering terjadi kemacetan. Saran saya, jika kamu mengejar penerbangan, lebih baik menumpang kereta api dari kota Medan. Tiket seharga 80 ribu cukup layak dibeli daripada harus membeli tiket pesawat baru karena ketinggalan pesawat.
Tapi pertanyaannya apakah cukup dua hari menjelajah kota Medan, maklum sebagai pekerja saya hanya memiliki waktu libur Sabtu dan Minggu. Baiklah sekarang saya mencoba untuk menjelajah Medan selama akhir pekan dengan mengandalkan transportasi online.

Mansion Tjong A Fie
Terkepung bangunan moderen di jalan Ahmad Yani, mansion Tjong A Fie bergaya oriental tak pernah kehilangan pesonanya. Begitu memasuki pintu gerbang dengan detail burung merak, taman asri nan hijau menyambut. Bangunan dua lantai berdinding putih kekuningan berdiri megah. Enam buah jendela besar di lantai dua terbuka lebah seolah menggambarkan keramahan sang pemilik rumah yang selalu membuka hatinya lebar-lebar ke pada siapapun.
Tjong A Fie pemilik mansion memang terkenal murah hati dan sosoknya tidak bisa dipisahkan dari sejarah kota Medan. Ia memberikan banyak kontribusi dengan membangun fasilitas umum seperti Masjid Gang Bengkok dan penyumbang pembangunan Masjid Raya Medan.
Menilisik setiap bagian mansionnya, saya menjadi yakin bahwa Tjong A Fie adalah sosok yang pandai bergaul dan bersosialisasi. Di rumahnya terdapat tiga buah ruangan tamu dengan desain interior yang berbeda-beda. Ruang tamu utama berukuran paling besar digunakan untuk menerima tamu umum. Ruang tamu di sebelah kiri digunakan untuk bertemu tamu-tamu Eropa. Sedangkan ruang tamu yang berada di sebelah kanan digunakan untuk menjamu Sultan Deli beserta kerabatnya. Masing-masing ruangan memiliki desain interior sesuai peruntukannya. Tidak mengherankan rumah seluas 4000 meter memiliki desain interior perpaduan China, Melayu dan Eropa dalam nuansa retro yang kental.
Menapaki lantai dua bangunan, saya semakin terkagum dengan ball room tempat Tjong A Fie mengadakan pesta dansa. Lantai kayu ulin berwarna gelap menghampar senada dengan dinding putih tinggi menjulang. Dekoratif lukisan bunga juga menghiasi langit-langitnya. Dari ats sini saya bisa melihat Medan Music School yang merupakan sekolah musik pertama di kota Medan dan didirikan oleh putri Tjong A Fie.

Restauran Jadul Tip Top
Ponsel saya bergetar , sebuah pesan singkat masuk dari Kak Noni. “ Nan aku sudah di Tip-Top nih, dekat dari mansion. Nyebrang lalu jalan sedikit, sekitar satu blok.”
Awalnya saya mengira Tip Top tempat nongkrong kekinian seperti kebanyakan kafe dan resto di kota besar tapi siapa menyangka restoran ini sudah ada sejak sebelum kemerdekaan RI. Konon menjadi tempat pelarian noni-noni Belanda untuk jajan es melawan udara panas kota Medan.
Pada tahun 1926 restauran ini bernama Jangkie lalu pada tahun 1934 pindah ke jalan Kesawan ( kini Ahmad Yani) dan berganti nama menjadi Tip Top.
Selain aneka roti dan pastry, menu andalan restoran ini es krim tiga rasa. Es krim berlapis mirip rainbow kek dengan paduan tiga rasa yaitu stroberi, vanilla dan coklat. Tak lupa untuk menyempurnakan rasa dan tampilan, es krim diberi topping whipped cream dan potongan cherry merah. Bayangkan di tengah udara Medan yang panas tiga rasa es krim berpadu lumer di mulutmu.
Jika kudapan di atas terasa kurang nampol di lambung, masih ada menu makanan lain yang merupakan alkuturasi budaya China, Melayu dan Eropa seperti, ifo mie, bihun , nasi goreng dan pancake.

Sepakat … Medan memang selalu bikin kangen
SukaSuka
kulinerannya itu lho
SukaSuka
bulan depan ke Medan,, semoga bisa mengunjungi semua tempat itu..
-Traveler Paruh Waktu
SukaSuka
AMINNNNN
SukaSuka
Keren ih Mas Danan.
Btw, aku dulu ke Medan hanya numpang lewat dr Polonia ke Lhokseumawe. Pengen menjelajah Medan juga…
SukaSuka
aku yang skrg pengen ke tangkahan….
SukaSuka
Aku penasaran dengan es krim 3 rasanya.
Selama ini sering mantengin IG kuliner medan. Nampaknya es krim tiga rasa ini luput dari pemberitaan. Hehehe
SukaSuka
ayooo ke tip top
SukaSuka
Luar biasa sekali medan in ya… Apalagi di medan banyak too jadul yang rasa super yahut… Jadi kangen ke medan lagi
SukaSuka
ini terbit di Colour om?
SukaSuka
Yoi color yang khusus penerbangan timur tengah
SukaDisukai oleh 1 orang
mantep mantep
SukaSuka
kapan ke batam kk?
SukaDisukai oleh 1 orang
kangen sih, entar deh kalo kesana aku kabari om 🙂
SukaSuka
Kabar kabar ya om
SukaDisukai oleh 1 orang
siap om
SukaSuka