Rasanya kok egois banget ya, memilih jalan-jalan ke luar negeri di saat virus convid-19 mewabah.
“Badanku fit kok, yakin deh nggak akan ketularan.”
Ini bukan tentang kesehatan sendiri tapi kemungkinan “oleh-oleh” yang dibawa pulang ketika kamu menjadi carier virus corona. Lalu virus-virus itu menular ke orang-orang terdekat kamu seperti : saudara, orang tua, teman kerja, bahkan anak, suami atau istri.
Rasanya memang nggak mudah melepaskan rencana perjalanan yang sudah di depan mata dengan persiapan penuh apalagi salah satu bujet list.
Yup saya merasakannya. Tahun ini saya hanya punya satu rencana trip besar yaitu melihat aurora paling murah yaitu ke murmansk Rusia. Bermodalkan tiket promosi pp Jakarta-Moscow seharga 6 juta rupiah, saya dan beberapa teman mempersiapkan sejak 8 bulan lalu.

Mengurus visa Rusia memang tidak semisteri visa Amerika tapi tidak mudah juga karena harus memiliki invitation letter yang dikeluarkan oleh travel agent atau hotel dari Rusia dengan persyaratan bukti booking, itinerary dan transportasi selama di Rusia.
Jadi hampir bisa dikatakan biaya sudah keluar sekitar 60% untuk proses pengajuan visa. Dan rasanya kalau tidak jadi berangkat pedih banget di kantong. Tapi begitulah perjalanan yang direncanakan jauh-jauh hari selalu ada ketidakpastian. Seperti dua orang rekan saya yang tidak jadi berangkat karena alasan yang sangat personal padahal persiapan sudah bisa dikatakan 70%.

Corona dan Kota Bangkok
Siapa menyangka tahun 2020 dibuka dengan kisah wabah endemi Corona di Wuhan yang akhirnya menjadi pandemi dunia. Saya pribadi sempat ragu untuk melakukan perjalanan ini karena pesawat yang kami tumpangi akan transit di Bangkok 21 jam. Saat itu sudah ada penduduk Thailand yang sudah terjangkit virus covid-19 sedangkan rakyat +62 masih “strong”.

Tanggal 18 Februari 2020 kami meninggalkan Indonesia melalui bandara Soekarno Hatta menuju Bangkok. Dari pantauan visual tidak ada kekhawatiran terhadap wabah corona di pintu gerbang negara terbesar negeri ini. Jumlah orang yang mengenakan masker dan aktif membasuh tangan dengan sanitaiser hanya 20 persen saja. Karena memang waktu itu belum ada orang Indonesia yang terjangkit. Hal ini diperkuat dengan statement pejabat bahwa orang Indonesia kuat-kuat dan virus corona tidak akan hidup di Indonesia.
Padahal negara tetangga Singapura sudah sibuk memproteksi warganya dengan menghimbau warga tidak melakukan aktivitas di luar rumah dan meliburkan sekolah dan kantor. Karena saya tinggal di Batam jelas sekali perubahan aktivitas warga Singapura yang biasa melancong ke Batam.
Warga Indonesia yang biasa pulang pergi Singapura untuk urusan perkejaan diminta untuk mengkarantina diri di rumah masing-masing.

Atas kesadaran sendiri kami sudah mengenakan masker sejak dari Indonesia walau di bandara tidak ada himbauan atau pengecekan suhu tubuh. Semua terasa begitu santuy seolah tidak terjadi apa-apa.
Setelah mendarat di Bangkok semua terasa berbeda, beberapa sensor suhu tubuh terlihat di bandara. Jadi jika ada penumpang yang demam pasti tertangkap oleh kamera dan akan diperiksa oleh petugas bandara. Tapi tetap pesawat dari China darat masih bisa mendarat di bandara ini.

Ada kejadian lucu ketika kami sedang berdiri di salah satu conveyor bagasi di Bandar Udara Internasional Don Mueang. Tiba-tiba layar conveyor sebelah tertulis bahwa sebentar lagi yang akan keluar bagasi pesawat dari salah satu kota di China daratan. Kontan kami lari tunggang langgang menjauhi conveyor.
Sebetulnya hari itu kantor saya mengeluarkan himbauan kepada karyawannya untuk tidak melakukan perjalanan ke luar negeri terutama negara yang terjangkit corona. Tapi apa mau dikata saya sudah terlanjur di luar negeri. Andaikan ke luar negeri ketika kembali ke tanah air wajib memeriksakan diri ke dokter paru dan pernapasan serta melewati masa pantau 14 hari.

Dampak wabah corona sangat terlihat di kota Bangkok. Beberapa titik berkumpulnya wisatawan terlihat sangat sepi hampir tidak ada aktivitas. Penduduknya terlihat lebih peduli dengan mengenakan masker. MRT yang kami tumpangi secara rutin dibersihkan dan disemprot disinfektan ketika sampai di stasiun terakhir.
Karena waktu transit di Bangkok lumayan lama sekitar 21 jam kami mengambil hotel di kawasan Pratunam. Tapi kami memutuskan untuk tidak keluar hotel dan memilih diam di dalam kamar demi menjaga kesehatan dan stamina.
Hari berikutnya kami terbang ke Rusia dengan menggunakan pesawat Thai Air yang hampir semua wajah pramugari/pramugaranya tertutup oleh masker.
Asia dan Corona
Bagi orang di luar Asia, wabah corona identik dengan Asia. Jadi tidak mengherankan selama di Rusia kami selalu ditanya tentang wabah corona di negara kami. Dengan congkaknya waktu itu itu kami bisa bilang bahwa di Indonesia tak satupun terjangkit padahal aslinya tidak terdeteksi.
Ketika pesawat Thai Air mendarat di Moscow penumpang tidak diijinkan keluar, kami dipersilakan duduk kembali. Disitu agak deg-degan! Tiba-tiba beberapa petugas dengan sensor temperatur memeriksa seluruh penumpang satu per satu. Dan sepertinya kami baik-baik saja, hanya kedinginan saja. Ngana pikir dengan suhu di bawah nol derajat kami nggak gagap cuaca?

Setelah melewati penerbangan 8 jam kami masih harus terbang lagi 3 jam dengan pesawat domestik Rusia menuju Murmansk. Aura kewaspadaan corona tidak terlihat di Murmansk, tidak banyak orang mengenakan masker bahkan hampir tidak ada. Waktu itu jumlah warga Rusia yang terjangkit virus corona hanya dua orang dan setelah diobservasi ternyata hanya flu biasa.
Tapi tetap ketika berada di kota di Rusia, wajah asia kami mengusik orang untuk bertanya atau membahas tentang corona.

Dampak corona memang sangat global, agen perjalanan kami di Murmansk mengeluh banyak tamunya yang tidak jadi datang, terutama dari daratan China dan Hongkong. La iyalah, ngana pikir kalau mereka datang apa tidak membawa masalah baru bagi negara anda?
Selama perjalanan kami berkomitmen untuk cukup istirahat dan banyak makan agar stamina terjaga. Apalagi Rusia lagi dingin-dinginnya terutama Murmansk. Alhamdulilah masih kebagian suhu minus 25 derajat di Murmansk dan hujan salju di Moscow. Padahal sempat bahagia melihat matahari bersinar di hari pertama.

Bagaimana dengan Saint Petersbug? Kota ini terlihat lebih gemilang tapi tetap tidak banyak orang Asia lalu lalang. Corona benar-benar mempengaruhi industri pariwisata dunia, banyak negara yang menutup diri dari China dan ironisnya mereka yang tidak tahu menutup diri dari orang Asia dan berwajah Asia.
Mungkin seperti sebagian warga +62 yang benar-benar paranoid dengan wisatawan China lalu melihat orang berwajah oriental langsung auto takut. Jadi tidak heran beberapa kasus diskriminasi terjadi di Eropa hanya karena takut wabah corona dan minimnya pengetahuan.


Wabah Corona Tak Kunjung Reda
Ketika memulai perjalanan saya berharap bahwa wabah corona akan segera mereda ternyata tidak. Kabar sebaran corona yang tidak terkendali di Italia membuat kami agak khawatir melakukan perjalanan di Rusia. Terutama saat kembali ke tanah air dan harus transit kembali di Bangkok.
Masih menggunakan Thai Air tepat tanggal 27 Februari 2020 kami meninggalkan Moscow dengan penumpang yang sudah mengenakan masker menuju Bangkok. Sesampainya di bandara ternyata pemeriksaan lebih ketat terutama penumpang yang pernah melakukan perjalanan ke China harus memiliki surat keterangan sehat dan bebas covid-19. Pesawat dari China sudah tidak diijinkan untuk mendarat di Bandar Udara Internasional Don Mueang.

Gegara imigrasi bandara Thailand yang super ketat makanan astronot Rusia di ransel harus dibuang. Duh sedihnya… Padahal sudah terbayang bikin video blog mubangnya. Just info saja, makanan astronot itu makanan pekat mirip odol yang biasa dibawa oleh astronot ketika bertugas. Rasanya bervariasi, mulai dari aneka buah-buahan sampai steak dan kari.
Pemerintah Indonesia dan Corona
Sebetulnya agak sensitif membahas ini karena memang ada menjadikan bahan politik. Parah ya? Mari kesampingkan segala dulu urusan politik, sekarang bagaimana melindungi seluruh rakyat Indonesia agar bisa mengahadapi pandemi. Jangan sampai kejadian di Italia dan Iran menimpa negeri tercinta nusantara.
Ketika mendarat di Soekarno Hatta tanggal 27 Februari 2020, saya mendapati calon jamaah umroh di terminal 3 batal berangkat ke tanah suci. Keputusan pemerintah Arab Saudi memang terkesan kejam bagi mereka yang sudah lama memimpikan tanah suci bahkan menabung seumur hidup. Tapi itu lah yang terbaik. Bayangkan jutaan umat muslim dari seluruh dunia berkumpul di satu tempat, bukankah akan sangat sulit mengontrol penyebaran virus. Satu-satunya cara Mekah ditutup untuk tamu Allah dari luar Arab Saudi.

Jika Mekah saja dibatasi aksesnya rasanya tidak berlebihan jika rumah ibadah juga dibatasi. Himbauan ini jelas menimbulkan pro dan kontra tapi menurut saya pribadi, keimanan seseorang bukan diukur dari seberapa banyak ia menyembah Tuhannya. Tapi bagaimana hubungan dengan mahluk di sekitarnya. Jika ia menimbulkan kemudaratan bagi mahluk di sekelilingnya dan menzolimi orang lain dengan menjadi carier virus convid-19, bahkan rasanya Tuhan pun tidak akan rihdo ia masuk surga.
Kartu Kewaspadaan Kesehatan
Oh Maaf kalau saya sempat bersuudzon pemerintah yang tidak ada respon apa-apa menghadapi wabah corona. Ketika landing di Soekarno Hatta penumpang diwajibkan mengisi Kartu Kewaspadaan Kesehatan, yang isinya biodata penumpang dan nomor kontak.
Sobekan kartu diberikan kepada petugas saat memeriksa suhu. Katanya sih jika merasa kurang enak badan dalam 14 badan kartu ini wajib dibawa untuk berobat dan gratis. Alhamdulilah melewati 14 hari saya baik-baik saja. Tapi prosedur kantor saya mewajibkan untuk memeriksakan diri ke dokter paru dan pernapasan.
Repot ya? Lebih merepotkan lagi saat ini dimana beberapa negara mensyaratkan surat keterangan sehat bahkan bebas virus covid-19.

Kapan Jalan-Jalan Lagi?
Duh jangan tanya dulu, sepertinya sampai akhir 2020 tidak akan pergi kemana-mana dan memurutuskan menjadi tahanan kota Batam. Karena berdasarkan pengalaman beberapa rekan yang terjebak di negara orang karena lock down dan penutupan bandara, traveling saat ini benar-benar menyulitkan.
Bayangkan andai kamu masuk ke negara orang lalu kamu positif korona dan harus di karantina selama 14 hari atas biaya sendiri, apa nggak pedih di dompet. Itu kalau kamu baik-baik saja, kalau harus mendapatkan penanganan medis, kira-kira apa tidak menyulitkan diri sendiri.
Jadi menurut hemat saya, bagi kamu yang ingin berpergian, tahan sebentar keinginan itu. Masih banyak kesempatan lain untuk melihat dunia jika pandemi ini sudah mereda. Memang siapa saja bisa terjangkit corona tapi keputusan untuk berdiam dan tidak menjadi carier adalah keputusan paling bijak saat ini.
Keren!!!
SukaSuka
terimakasih banget kk
SukaDisukai oleh 1 orang
Wah saya iri banget sama perjalananmu yg ini.. Saya ikuti juga ceritanya di IG..Pengen banget ke Rusia.. Untung perjalananmu sampai pulang lagi lancar ya..
SukaSuka
duh di ig itu sebagian kecil aja kak, aslinya panjang banget karena vlog kali ini lumayan lengkap… iya aku bersyukur banget bisa pulang. temenku ada sampai saat ini ke lock down nggak bisa kerja :((
SukaSuka