cerpen, Curahan

Alarm Hati

Ibu selalu berkata tak pantas wanita mengungkapkan rasa cinta lebih dahulu kepada pria. Meski hati wanita buncah melihat kaum adam, ia hanya patut memberi sinyal bukan meminta cinta apalagi mengemis.

“Nanti harga dirimu turun  Nduk… Kalau kamu meminta lelaki mencintamu.” Petuah almarhum si Mbok begitu jelas terdengar di telinga. Tiga bulan kepergiannya menyisakan keiklasan. Setengah tahun penuh mendampinginya di rumah sakit berjuang melawan kanker payudara mambuatku meninggalkan bangku sekolah dan ujian akhir.

“Tut…” Pluit tanda keberangkatan kereta membuyarkan angan. Orang-orang jalan tergopoh-gopoh di sepanjang koridor lalu menyesakan diri ke dalam gerbong. Lambain tangan pengantar lambat laun menghilang bersama suara roda gerbong kereta yang berderu.

Tak mudah bagi wanita muda yang baru 17 tahun pergi jauh dari tanah kelahiran, ada keraguan dan rasa takut untuk melangkah pergi. Namun jika marahabaya itu ada di rumah sendiri haruskah bertahan?

Mas Ratno iparku terang-terangan ingin menjadikanku istri ke duanya dan ironisnya tak seorang pun menentang niatnya karena jasanya yang besar bagi keluarga kami. Selepas kepergian Bapak nyaris semua kebutuhan ekonomi keluarga kami ia yang menopang termasuk biaya pengobatan ibu.

Rumah satu-satunya kami harus dijual hingga aku menumpang di rumahnya, lebih tepatnya ngenger. Mengerjakan hampir semua pekerjaan rumah tangga dengan bayaran numpang tinggal, makan dan biaya sekolah. Namun sejujurnya aku iklas karena bisa membantu Mbakyuku mengurus anak-anaknya yang jumlahnya lima orang.

Hingga satu saat malam, pria itu berani mengungkapkan niatnya untuk menjadikan kami kakak beradik sebagai istri-istrinya yang syah di dalam satu atap. Aku terdiam tak berani berkata-kata tapi keberanian ku timbul tak kala ia mulai berani melakukan hal tidak senonoh.

“Sri gimana tawarnku kemarin…” Tiba-tiba Mas Rano dibelakangku. Aroma tuak menyeruak menghambur dari mulutnya.

Aku diam tak bergeming namun waspada. Tiba-tiba tubuh lelaki itu makin dekat dan berusaha memeluk dari belakang. Reflek sutil panas yang baru kuletakan di penggorengan, kuangkat lalu mendarat di dagunya.

“Aduh…” Jerit lelaki itu panik sambil berlari ke luar dapur. Aku berusaha tenang hingga akhirnya terjadi kegaduhan di ruang makan dan lelaki itu berdusta kalau tak sengaja dagunya terkena cipratan minyak panas.

Malam itu aku tak bisa tidur, berkali kali kupastikan kamar terkunci dengan rapat. Dua orang ponakanku aku ajak tidur bersama, agar ayahnya tidak masuk ke dalam kamar.

Lelaki itu memang tampak bagi dewa semua orang tapi semanjak keajdian durjana itu,  ia terlihat seperti iblis.

***

“Yo wis nduk , ora popo dadi selir wong gehde.” Ujar Pakde Prawiro sambil menghembuskan rokok.

Aku bingung merasa meminta pendapatnya bukan jalan keluar yang bijak.

“Mas mu itu bisa jadi pengganti orantuamu lho nduk. Dia mampu…”

Aku memilih diam namun aku terbayang wajah Mbak Retno, apa yang akan terjadi jika tahu adik bungsunya yang merusak rumah tangganya. Mungkin ia tak akan menolak jika aku menjadi istri ke dua  suaminya tapi wanita mana yang mau diduakan.

Sore itu mantap kukuatkan hati untuk berkisah kepada dua pria yang mengaggumiku, Mas Aji dan Mas Jiwo. Kuminta kedunya untuk menikahiku agar keluar bisa ke luar dari rumah. Aku meminta diselamatkan bukan untuk dicintai apalagi mengemis cinta.

“Gimana Mas?”

“Apanya yang gimana”, lelaki anggota pasukan khusus itu kembali bertanya.

“Tentang niatan membawaku keluar dari rumah? Menikah?”

“Aku nggak bisa…” Kalimat itu terdengar begitu datar tidak bersemangat , tidak seperti berlembar-lembar puisi yang ia kirimkan setiap pekan, penuh semangat gelora dan cinta.

“Lalu aku?”

“Kamu?”

“Nasibku. Aku nggak mungkin berdiam di sana… Dengan semua masalah besar? Tolong Mas.”

“Kamu kok ngotot banget minta nikah, jangan-jangan kamu…”

Astagfirullahaladzim. Mas aku nggak sehina itu. Aku melakukan ini semua ini karena ingin menjaga kehormatan semua orang.”  Akhirnya air mata itu tumpah setelah sekian lama tertahan.  Dan momen itu menjadi perjumpaan terkahir dengan Mas Aji.

Tuduhan Mas Aji seperti sebuah trauma yang membuatku nyaris mematikan alarm hati untuk meminta pertolongan kepada Mas Jiwo. Meski tak keluar kata-kata yang memilukan nyatanya pria ini juga tak dapat berbuat banyak. Dengan dalih orang tua tidak setuju, pria ini tak mampu menjawab alarm hatiku.

***

“Mbak tiketnya… ” Pria paruh baya dengan seragam putih dan topi khas membuyarkan lamunan.

“Klik…” Catut sempurna melubangi kertas tiket tebal. Saya kembali memasukan tiket ke dalam saku, sejenak teraih sebuah surat dari Jiwo yang ia titipkan sebelum ia pergi berlayar dua hari lalu.

Tak ingin berharap terlalu banyak, amplop bersampul putih kusobek lalu sepihannya berhamburan terbawa angin. Alarm hati kumatikan, kini aku hanya meminta pertolongan kepadaNya untuk menjalani kehidupan baru di tanah Sumatra. Klik.

***
25 Tahun kemudian

Jiwo yang jiwanya menyesal tertegun di selasar rumah sakit. Keberanian menyurut tak kala melihat wanita yang ia cari di separuh usianya melintas  di hadapannya. Wanita itu terlihat bahagia bersama keluarganya.

“Harusnya aku yang berada di sana.” Sekali lagi ia menyesal mengutuki diri yang tak mampu mendengar alarm hati.

5 tanggapan untuk “Alarm Hati”

  1. Aduuuh kok endingnya sediih. Minta dilengkapin bagian tengahnya dong Mas, terlalu cepat berakhir ceritane. Isine surat Mas Jiwo apaan, trus siapa wanita yg bahagia tsb, gimana dia bisa bahagia..
    Hehe, riwil aku..

    Suka

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s