Jambi, Travelling

Jejak Malam Seberang Kota Jambi

jejak malam di atas mori
jejak malam di atas mori

“Saya punya batik beraneka ragam , sampai yang tuanya 250 tahun lalu dari Jambi saya miliki,” papar Rumiko Koga  khusus kepada Tribunews.com Rabu (5/2/2014) di Mitsukoshi Nihonbashi Galery Amuse, Tokyo.

Kembali ke Negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah sejenak, menyusuri jejak mori bermalam yang tak pernah terkhatamkan. Ini hutangku.

***

sungai Batanghari
sungai Batanghari

Masa depan dan lalu terpisah dalam bentang sungai. Kampung tua di Sekojaseberang kota Jambi – menyisakan sepenggal fragmen kejayaan melayu kuno. Deretan rumah tua berdiri kokoh dengan kayu gelap mengkilat tak termakan usia. Sebelum ada jalan darat  kapal-kapal dari selat Berhala selalu menyapa Sekoja sebagai kota persinggahan. Kampung Arab Melayu di sisi timur sebentuk alkutrasi budaya penduduk lokal dan pedagang dari negeri seberang.

WTC Batanghari tempat menunggu ketek
WTC Batanghari tempat menunggu ketek

“Sepuluh ribu Bang, tak perlu menunggu lama.” Tukang ketek menawarkan angkutan sungai super cepat tanpa antri ke seberang. Harga khusus bagi wisatawan atau mereka yang terpacu waktu.  Tak bergeming saya  menanti setia ketek murah meriah berjamaah. Cukup dua ribu saja bonusnya mengobrol renyah bersama penumpang lain

Dari bawah kolom tiang beton mall WTC perahu kecil kayu sarat penumpang bergerak ringan. Bibir buritan timbul tenggelam tersapu gelombang yang tak begitu liar. Nakodanya piawai melenggangkan kapal kecil berpenumpang lima belas jiwa. Lalu mengantarkan satu persatu menuju tepian,  mulai dari desa Arab Melayu hingga ke hulu kampung Mudung Laut, kecamatan Pelayangan, Jambi.

Tak sulit menemukan sanggar batik tulis Selaras Pinang Masak, dari sisi sungai pasar Angso Duo , gapura besar sudah tampak. Hanya berujar kepada nakoda ketek untuk menurunkan di jeti dekat sanggar.

Balai Kerajinan Rakyat Selaras Pinang Masak
Balai Kerajinan Rakyat Selaras Pinang Masak

Rumah kajalangko terlihat mirip kapal dengan kasau bentuk sepanjang 60 cm di atasnya berfungsi sebagai perimbas angin dan hujan. Tanpa segan saya berjingkat menaiki anak tangga kembar memasuki rumah tradisional khas Marga Bathin. Tak perlu diketuk pintu terbuka lebar. Ruangan luas berdinding kayu dengan dinding kaca mozaik kaca menyapa.

“Duk… Duk…” Langkah kaki  menggetarkan lantai kayu. Wanita berjilbab muncul dari balik meja di ujung ruang panjang. Senyum ramahnya tetap merekah meski saya tak berniat membeli batik

interior Balai Kerajinan Rakyat Selaras Pinang Masak
interior Balai Kerajinan Rakyat Selaras Pinang Masak

“Kalau mau melihat cara membatik satu  jam lagi.” Pucuk dicinta ulam pun tiba, hati bersorak riang. Rasa penasaran dan hutang akan terbayar lunas. Sambil menunggu peserta kursus , wanita berjilbab berkisah berdirinya Balai Kerajinan Rakyat Selaras Pinang Masak. Terkenal dengan sebutan sanggar batik diprakarsai oleh Ibu Lily ,  istri Gubernur Jambi  periode 1989-1999, Abdurahman Sayoeti. Sejak beliau mangkat pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah daerah Jambi.

ineterior diambil dari atas panteh
ineterior diambil dari atas panteh

Beberapa teori mengungkapkan dari mana batik Jambi berasal. Konon seni tekstil ini dibawa oleh Haji Muhibat dari tanah Jawa di tahun 1875. Namun yang paling otentik catatan B.M Goslings di tahun 1928.

B.M. Gosligs dalam artikelnya mengatakan bahwa atas persetujuan Prof. Vam Eerde dia meminta residen Jambi Tuan H.E.K. Ezermenn untuk meneliti batik Jambi. Sekitar bulan oktober 1928 datang tanggapan dari Ezernann, bahwa di dusun Tengah pada waktu itu memang sesungguhnya ada pengrajin batik dan menghasilkan karya-karya seni batik yang Indah. (B.M Goslings halaman 1411)

Meski tak serumit motif batik di daerah lain, batik Jambi memiliki makna  filosofis. Menggambarkan nilai-nilai dan budaya masyarakatnya. Seperti motif tampuk manggis, terlihat penampang dalam daging buah hingga kulit luar. Berarti ahlak dan sifat mulia seseorang tidak hanya dilihat dari tampilan luar saja.

belajar membatik
belajar membatik

“Duk.. Duk…” Suara lantai bergetar. Tiga wanita datang tanpa diundang hanya menjawab kumandang hati . Dari atas pantehloteng tempat menyimpan barang – mengamati dua murid dibimbing seorang guru. Duduk berhadapan , membentangkan mori putih berpola. Sejenak malam dilelehkan di atas api kecil , membentuk cairan kental sempurna. Berpindah ke canting kayu berujung logam. Pelan-pelan ditorehkan bersama denyutan rasa di atas kain, menyisakan karsa.

Bonus tak terduga memanjakan panca indra dan pendengaran. Dari atas panteh  terlihat dua gadis remaja menghentak-hentakan  bilah ATBM, memadatkan benang emas berkilau. ATBM – alat tenun bukan mesin- dikenal masyarakat tradisional Indonesia sejak berabad lalu.

“Di sini juga tempat belajar membuat songket?” Penasaran saya terujar kepada wanita berjilbab.

“Oh tidak. Mereka sudah pandai dan sengaja menenun di sini agar bisa dilihat wisatawan. Tempat belajarnya di Telanai.”

“Telanaipura. Dekat SPG lamo?

“Iya di jalan MY Singadikane.”

Bukankah jaraknya sangat dekat dengan kantor saya dulu.  Alangkah banyaknya hutang di kota ini. Banyak tempat menarik yang belum tersambangi sempurna. Jejak malam – lilin batik- Sekoja  ditutup rasa penasaran benang emas berkilauan songket Jambi.

“Pak besok saya dines ke Jambi lagi donk” Kode , lambaikan tangan  ke kamera *ngarep tulisan dibaca Bos” :p

Baca juga postingan lain dari sahabat-sahabat Travel Bloggers Indonesia:

10 tanggapan untuk “Jejak Malam Seberang Kota Jambi”

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar