Aceh - Bumi Serambi Mekah Nan Elok, Travelling

Jelajah Aceh 2011 (part 1): Awal Yang Tak Selalu Indah

Dua perjalanan besar melalui darat Jambi-Pekanbaru dan Pekanbaru-Medan baru pembuka  penjelajahan akhir tahun ini. Hajat besarnya  mengeksplore bumi serambi mekah bersama komunitas backpacker  Medan. Persiapan perjalanan kali ini tidak seperti trip biasa. Komitmen buget sangat minim mengharuskan mempersiapkan perbekalan  dan perlengkapan bermalam seperti tenda dan sleeping bag. Baju hangat juga menjadi prioritas karena ada daerah dingin yang akan kami kunjungi.

Tanggal 23 December 2011. Bersama rekan ngesot Oki, perantauan Medan asal Jakarta. Kamipun berangkat dari kawasan teladan  dengan menggunakan bentor menuju PO Kurnia yang berada di ring road kota Medan. Jujur saya tidak terlalu paham kota ini. Setelah berputar-putar menghindari lampu merah dan kemacetan kota Medan yang mirip Jakarta akhirnya sampailah kami. Tiga rekan lainnya, Lisa  asal Binjai serta Mamad dan Jalo asal Gunung Tua sudah menunggu di pool bus.

Pukul 16:06 bus bergerak berlahan meninggalkan kota Medan menuju Takengon. Hujan rintik  turun berlahan membasahi kota Medan, membuat kami makin terlelap melalui perjalanan panjang. Menjelang magrib bus berhenti dipersinggahan pertama. Ternyata sang sopir menunaikan ibadah sholat terlebih dahulu di sebuah masjid. Tak selang beberapa lama melanjutkan perjalanan,  pukul 19:00 bus kembali berhenti di rumah makan Renggali Dua berada di Jl P Brandan,  Besitang Langkat.

Hujan semakin deras , ada sedikit kekhawatiran bagaimana jika Takengon esok hari hujan? Tapi sudahlah biarkan alam yang akan menjawabnya meskipun manusia memiliki seribu pertanyaan dan analisa.

Baru pukul 10:00 WIB bus yang kami tumpangi kembali berhenti istrihat di Matang Glumpang 2. Kata awak bus ini pemberhentian terakhir karena setelah ini tidak ada tempat makan lagi. Penumpang diharapkan membeli perbekalan untuk di jalan.

Sebuah warung kopi bertuliskan “Selat Malaka” menjadi pilihan untuk mengisi perut. Aroma sate dengan bumbu kare benar-benar menggoda. Namun harganya membuat air liur saya tertahan. Bayangkan sepuluh tusuk sate dengan nasi putih dihargai Rp 30.000,-. Akhirnya setelah berpikir panjang saya berbagi porsi dengan Oki untuk berhemat. Perut kami bedua tidak bisa berkompromi setelah melewatkan makan malam di Besitang Langkat.

Malam semakin larut tapi hujan mereda, setelah melewati sebuah kota di Beirun bus yang kami tumpangi menaiki dataran tinggi Kreung Simpo. Hembusan hawa dingin saya kira Takengon sudah tidak terlalu jauh . Tiba-tiba mobil yang kami tumpangi berhenti. Ternyata sebuah truk dari arah berlawanan terjebak . Tanah pegunungan yang labil anjlok sedalam 30 cm, membuat truk tersangkut. Waktu menunjukan puklu 03:00 dinihari, kemacetan tidak terelakan. Antrian mobil semakin panjang dari kedua arah. Sebetulnya jalan anjlok sudah terjadi dari pukul 11:00. Namun karena yang lewat mobil berukuran besar  dan kondisi jalan licin terguyur, medan semakin sukar dilalui.

Satu jam semua awak dan penumpang kendaraan  berusahan menarik truk bernomor BL 9229 A. Tapi semua usaha sia-sia karena truk terjebak semakin dalam. Hujan semakin deras membasahi lereng bukit ,  beberapa penumpang kembali ke dalam bus untuk berteduh. Setelah agak reda mereka kembali mengumpulkan batu untuk menimbun jalan.

Matahari sudah nampak di ufuk timur tapi kami masih terjebak  dengan rasa lapar dengan ketidakpastian. Antrian mobil yang tidak teratur membuat emosi makin memuncak. Yang mengherankan tidak satupun dinas terkait atau aparat datang memberikan bantuan alat berat maupun mengatur jalur lalu lintas.

Akhirnya pukul 7 kemacetan bisa terurai setelah jalan darurat yang dibangun manual oleh penumpang dan awak kendaraan selesai. Resiko tergelencir atau terguling selalu ada tapi tidak ada pilihan untuk kami. Bergerak berlahan namun pasti kendaraan melewati jalan tanah berbatu labil.

Berjalan beberapa kilometer, saya pikir sudah aman. Namun lagi-lagi bus harus menahan lajunya melewati bukit berjalan becek. Tampak di kejauhan pembangunan jalan dengan mengikis bukit. Tampak alat berat beco menjulang di beberapa sisi bukit. Belokan tajam membuat perjalanan ini semakin mendebarkan. Meskipun di sisi lain kami bisa melihat keindahan pegunungan berselimutkan awan. Setelah melewati simpang Cot Panglima berangsur kondisi jalan semakin membaik.

Jika dipikir-pikir macet selama 4 jam tadi malam ada hikmahnya. Bayangkan jika kami melewati jalanan ini pada saat kondisi gelap. Tentu sangat tidak aman apalagi dengan kondisi jalan setelah hujan.

Pemandangan selama perjalanan benar-benar menakjubkan. Saya merasa de ja vu, seperti melewati jalanan di daerah Tanggamus. Badan jalan berada di sisi jurang dan bukit serta tikungan tajam membuat perjalanan ini memacu adrenalin. Sesekali tampak sungai dan air terjun dibalik rindangnya pepohonan.

Menjelang pukul 10:00 WIB mobil sampai di kota Takengon. Sebuah kota kecil yang berada di tengah bukit barisan. Sesuai pesan rekan backpacker Ria asal Takengon kamipun berhenti di simpang Warigi. Tak berapa lama Ria pun muncul menjemput kami dan membawa ke rumahnya. Ternyata Vira, rekan backpacker asal Padang yang berdomisili di Banda Aceh telah sampai. Meskipun kami baru bertemu, rasanya seperti sudah kenal bertahun-tahun. Percakapan yang tadinya hanya dilakukan di dunia maya menjadi nyata.

Sambil makan siang kami membahas rencana selama di Takengon. Karena Takengon berada di propinsi yang menjalankan Syariah Islam , Vira menyarankan agar kami mengurus perijinan ke aparat setempat. Bersama bang Iwan Bahagia , Oki langsung mengurus perijinan ke kepala kampung setempat.

Hilang sudah rasa lelah perjalanan selama 18 jam Medan- Takengon. Kami benar-benar bersemangat untuk memulai petualangan hari ini. Meskipun awal perjalanan tidak selalu indah tapi selalu ada hikmah yang bisa diambil dari sebuah perjalanan.

Jelajah Aceh 2011 (part 1): Awal Yang Tak Selalu Indah

Jelajah Aceh 2011 (part 2) : Lut Tawar Begitu Menggoda

Jelajah Aceh 2011 (part 3) : Uji Nyali dan Dingin.. Brrrr

Jelajah Aceh 2011 (part 4) : Ayo Bergaya ke Burgayo

Jelajah Aceh 2011 (part 5): Labi-Labi Berjodoh

Jelajah Aceh 2011 (part 6): Kenangan 7 Tahun Bencana Tsunami

Jelajah Aceh 2011 (part 7) : Tidur Dimana?

Jelajah Aceh 2011 (part 8): Berlayar ke Ujung Barat Indonesia

Jelajah Aceh 2011 (part 9) : Santai di Pantai, Slow di Pulauuuu

Jelajah Aceh 2011 (part 10) : Keheningan Iboih

Jelajah Aceh 2011 (part 11): Check Out!

Jelajah Aceh 2011 (part 12) : Pengelana Senja

Jelajah Aceh 2011 (part 13) : Bukan Wisata Kuliner Biasa

Jelajah Aceh 2011 (part 14): Memburu Sunrise Benteng Jepang.

Jelajah Aceh 2011 (part 15) : Pantai di Kota Sabang

Jelajah Aceh 2011 (part 16) : Dari Off Road Sampai Nol Kilometer

Jelajah Aceh 2011 (part 17): Sabang, Happy New Year!!!

Jelajah Aceh 2011 (part 18) : Pulang dan Berpisah

Jelajah Aceh 2011 (part 19) : Yang Unik Dari Sabang

 

Simak Yuk Serunya #NekadTraveler

10 tanggapan untuk “Jelajah Aceh 2011 (part 1): Awal Yang Tak Selalu Indah”

  1. bang, nanti, klo ke banda aceh lagi, urusan sate matangnya biar yudi yang bayarin ya.. makan aja suka hati, tapi kita makanya di daerah banda aceh 😀
    lebih murah dan hemat beb hahaha

    Suka

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar