Sumatra Selatan, Travelling

Semangat Asian Games Kampung Arab Al Munnawar

Sedari pagi mendung menyelimuti kota Palembang namun semangat Asian Games tetap berpendar di kota yang dilintasi sunga Musi. Umbul-umbul, spanduk, banner dan maskot pesta olahraga terbesar di Asia terlihat di seluruh penjuru kota.

Wajar jika masyarakat  Palembang berbangga hati menjadi tuan rumah, apalagi gara-gara  pesta olahraga ini mereka memiliki mode transportasi paling moderen se-Sumatra LRT (Light Rail Transit) yang membelah kota, mulai dari bandara Sultan Mahmud Badaruddin II sampai JSC (Jakabaring Sport Center).

Sayapun sebagai warga negara Indonesia  turut bangga, apalagi menyaksikan pembukaan Asian Games yang spektakuler hingga akhir pekan ini sengaja datang ke Palembang untuk menonton pertandingan olahraga. Mumpung ada di kota Palembang sebelum menonton perlombaan kayak di danau JSC saya jalan-jalan terlebih dahulu.

Menyebrang ke Kampung Arab

Semangat Asian Games tidak hanya terlihat di pusat kota tapi juga hingga ke kampung-kampung dan lorong-lorong. Salah satunya adalah Kampung Arab 13 Ulu yang berada di tepian sungai Musi. 

Dengan menumpang getek (perahu kecil) dari Dermaga BKB saya melintasi sungai Musi menuju kampung berusia ratusan tahun. Tak sulit menemukan kampung yang dikenal dengan bangunan tua  bersejarah karena selain tulisan besar ada gapura bertemakan Asian Games.

Sekilas kampung ini terlihat sepi  namun berjalan terus hingga ke Rumah Kembar Laut terlihat kesibukan layaknya perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUTRI). Samar-samar terdengar hadroh dikumandangkan dengan pengeras suara. Para penjual jajanan sibuk bersiap di depan rumah menata meja dengan panganan khas Palembang seperti : tekwan, mpek-mpek, kapal selam dan celimpungan.

Anak-anak pun tak kalah heboh mereka berlarian ke tanah lapang sekolah Al Kautsar sembari membawa sarung. Karena penasaran saya percepat langkah saya menyusuri gang di antara rumah beratap limas.

Memasuki pemukiman kampung saya semakin terkagum arsitektur rumah perpaduan gaya Eropa dan Arab. Di eranya pastilah rumah ini bukan milih orang sembarangan, minimal seorang saudagara atau orang berilmu yang memiliki selera tinggi seni yang tinggi. Hal ini sesuai catatan Belanda bahwa orang Arab di Palembang berasal dari keluarga Sayyid dan  diyakini sebagai keturunan langsung pendiri agama Islam, mereka rata-rata sedari kecil sudah mampu membaca dan menulis.

Sepak Bola Sarung

Langkah saya terhenti di lapangan dekat   Sekolah Al-Kautsar, pas di depan rumah batu. Anak-anak berusia 6 – 11 tahun riuh berkumpul di bawah tenda. Beberapa dari mereka sibuk mengejar bola lalu  yang lainnya menendang ke sana ke mari.

Dan semangat anak-anak itu semakin membumbung tak kala hadiah berbungkus kertas kopi coklat dihamparkan di meja kayu. Beberapa anak berlarian mendekat, mengamati hadiah  yang akan diterima jika memenangkan pertandingan sepak bola.

Buset dah anak jaman now semangat kompetisinya sudah seperti atlet professional jaman now. Semangat mengejar materi sama besarnya dengan membela negara di gelanggang olahraga.

Seorang pria paruh bayah berjalan ke tengah lapangan tanpa banyak bicara memanggil anak-anak dengan pluit. Tak menunggu lama bocah-bocah bersarung berkumpul.

“Setiap grup limo  uwong. Ketua grupnya kage maju ambil undian.” Nampaknya anak-anak ini sudah paham setiap kelompok terdiri dari  lima  orang berbaris. Setiap ketuanya mengambil undian.

“Grup siko samo duo yang beradu. Bersiap!” Anak-anak berhamburan menempati posisinya masing-masing dan ketika pluit ditiup bola kembali ditendang dan dikejar. Duh bola nasibmu apes banget.

Kelompok satu menang satu angka dari kelompok dua. Ya aksi saling serang di lapangan tak terelakan namun di babak ke dua taka ada satupun gol yang tercipta. Akhirnya kelompok satu yang menjadi jawara.

Eit!  Pertandingan  belum usai masih ada kelompok tiga dan empat yang siap berlaga.  Partai ke dua memang lebih panas dibandingkan partai pertama, mungkin karena matahari sudah mulai terlihat dan mendung menggantung tersapu angin.

Bulir-bulir keringat tampak di wajah anak anak namun hingga babak pertama yang hanya 15 menit belum ada gol yang tercipta. Wah sepertinya ada yang beneran panas nih. Jelang detik terakhir babak ke dua, seorang anak berkaus hitam melambungkan bola panjang hingga melewati mistar gawang.

“Gol…!!!” Teriakan panjang menutup partandingan ke dua dengan manis.

Dengan setia saya menanti partai final tapi sepertinya saya harus bersabar karena anak-anak itu butuh istirahat. Sayapun ikut-ikutan istirahat sembari melahap semangkup tekwan dan beberapa potong mpek-mpek di kedai samping rumah batu.

“ Dari Mano Bang?”, tanya pemilik kedai mengejutkan saya yang hampir lelap karena kekenyangan

“Batam Yuk.”

“Itu Batam dekat Singapur. Jauhnyo…”

“Idaklah. Sejam naik pesawat.”

Dari percakapan ramah tamah ini akhirnya saya tahu bahwa pertandingan anak-anak ini sengaja diadakan dalam rangka menyambut Asian Games bukan perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia.

“Biasanyo nanti ado atlet luar nak jingo budak-budak main bola.”

“Atlet luar negeri?”

“Iyolah, kemarin dari Korea kalau idak salah.” Wah saya langsung terbayang cewek-cewek Korea mengenakan hotpant mengejar-ngejar “bola”.

 Ketika pertandingan final akan dimulai tiba-tiba adzan berkumdang dan partai final dibatalkan. Saya berjalan menuju masjid di tepi sungai dekat rumah kembar. Selama sholat saya tidak bisa berkonsentrasi menebak kira-kira atlet dari negara mana yang akan datang. Apakah dari Korea atau atlet bola voli putri Uzbek. Astagfirulloh.

 Pada akhirnya  doa yang  dipenuhi nafsu durjana itu tidak dijabah oleh Allah. Setelah sholat usai dan pertandingan sepak bola anak-anak dimulai sebuah pesan masuk digawai.

“Nan sudah dimana? Saya tunggu ya di KFC Dermaga. Rencana anak-anak  Kompal (Kompasiana Palembang) mau menonton pertandingan sepak takraw.”

Tanpa berpikir dua kali saya langsung bergegas meninggalkan kampung Arab Al Munnawar.

4 tanggapan untuk “Semangat Asian Games Kampung Arab Al Munnawar”

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar