
Tuhan terkadang tak memberikan banyak pilihan kepada manusia. Di sinilah keiklasan manusia diuji, apakah kita mampu menghadapi tanpa mengeluh atau semakin menggila.
Masih ingat perjalanan pria pecinta jurong ke perbatasan negara memburu ikan besar sekaligus menguji nyali – apakah benar-benar besar- *eeh.
Sekarang mengalihkan haluan menuju selatan dari pelabuhan Sagulung di pesisir barat Batam. Tak ada keraguan apalagi kecemasan, cuaca cerah menghadirkan awan megah bergulung-gulung. Air laut jenih berlinang-linang penuh ketenangan. Angin berhembus ramah seolah sedang tersenyum
“Cuaca elok air pun molek. Saat yang tepat mendulang ikan”, ujar Sadik tanpa cemas. Istrinya jelas tak akan marah suaminya melaut, daripada seharian berpuasa di tempat tidur.

Jalur pelayaran lebih panjang dibandingkan menuju perbatasan Indonesia-Singapura tempo hari. Hampir tiga jam penuh terantuk-antuk di perahu kayu. Menahan hempasan gelombak besar laut Luing , ujung selatan pulau Bulan.

“Geser 5 meter ke utara… Tak apa kita lebih jauh dari titik koordinat. Nanti arus akan membawa kembali.” Rupanya para lelaki sudah merekam koordinat terumbu karang di GPS. Tak lama sauh diturunkan diikuti jurong bertali senar. Angin berhembus memetik senar tipis juruong, berayun-ayun menunggu mangsa.
“Tambah pemberat, arus kuat… umpan tak akan sampai dasar jika kurang bandul.” Beberapa lelaki kompak menggantungkan buah-buah logam, hingga senar tak melentur dibawa arus.
Satu jam… dua jam… Tak ada ikan tergoda umpan udang segar. Tapi para lelaki tetap setia terpaku di depan Resam. Tampak pulau Sebai merana, sebagian bukitnya terpancung menghilang. Konon ceritanya dicuri negeri tetangga karena kandungan bouksit melimpah. Di kawasan terlihat banyak pulau kecil bertanah tandus namun menyimpan kekayaan. Saya semakin yakin bahwa negeri kita benar-benar kaya.
“Sepertinya ada masalah dengan mesin boat. Jadi kite merapat sejenak di pulau depan. Kite butuh besi panjang untuk mengunci ini.” Sadik menunjuk bagian baling-baling tak terkunci.
“Tak ada mesin serep?”
“Kalau ade tak perlu saye perbaiki ini.”

Tanpa berdebat panjang jurong diangkat lalu kapal kayu menepi di rumpun bakau pulau Resam. Misi pencarian besi panjang seukuran telunjuk tangan dimulai, berharap ada sisa sampah yang bisa dipergunakan. Ada yang fokus mencari tapi banyak yang tidak. Saya langsung ternganga melihat pantai berpasir putih. Yang lain menghilang mencari kelapa muda untuk berbuka puasa. Lah terus yang cari besi siapa?

“I’m feel Free.” Guling-gulingan menirukan gaya tante Syahrini di Italia.
Rasanya sepasang mata mengawasi dari balik bakau, berjalan pelan-pelan mengendap . Refleks melirik ke belakang.
“Huaaa ada buaya…” Jerit saya panik.
“Mana bro!”
“Itu!” Menunjuk binatang melata dengan mulut ternganga.
“Bro itu kayu. Loe siang-siang ngigo.”
Seksama memperhatikan mahluk melata di atas pasir, berlahan-lahan berubah menjadi kayu. Perut lapar terkadang menghadirkan ilusi tak senonoh. Mustinya kayu itu terlihat seperi cewek berbikini, kan bisa goler-goleran bareng.
“I’m feel free” (jangan protes kalo grammar salah, gitu lho tulisan si teteh). Kembali tidur di atas pasir.


Bukan lelaki namnya bila tak mampu memecahkan masalah. Tak ada besi panjang, mata bor pun jadi. Sedikit modifikasi tekukan logam. Tara… Suku cadang yang dibutuhkan siap. Jadi ngapain ke pulau ini kalau akhirnya pakai mata bor. Hanya Tuhan dan para lelaki yang tahu jawabnya.

Aku melihat Syahrini tiduran di atas pasir tapi warnanya gelap. Ah, itu bukan teteh Princess tapi kambing guling. Perhatikan dengan seksama. Tapi siapa ya , siang-siang bulan puasa bakar kambing bule. Tetiba ada merasa aneh dan ganjil.
“Bro… itu bukan kambing guling tapi kayu bekas api unggun. Gue juga ketipu kok tada, malah udah siap garpu ama piso.” *gubrak* Suara itu menyadarkan bahwa ada yang aneh dengan pulau ini. Eh mungkin perut ini , efek lapar tak terbendung menjadi halusinasi.

Perahu dikebut ke utara , targetnya sebelum adzan magrib berkumandang sampai di pelabuhan Sagulung. Tapi bukan lelaki namanya jika tak tergoda dan tahan godaan.
“Lihat bouy itu, ramai burung camar pasti di bawahnya banyak ikan selar.” Dan akhirnya perjalanan terhenti di depan jembatan Barelang I. Lelakipun terhanyut godaan binal ikan selar melompat-lompat di udara.
“Panen ikan…!!!”

Ujian hari ini dibalas rejeki melimpah, setelah hujan ikan selar muncul yang dinanti. Kerapu macan seberat tiga ons saja. Bukan strike tapi memuaskan hasrat para lelaki. Koordinat lokasi langsung dimasukan dalam GPS. “Besok kita memancing di sini saja. Pasti ada ikan karang lain di sini.” Mengaduk-aduk lautan dengan jurong.


Terkadang pria tak mampu membedakan ujian dan rejeki. Melihat wanita seksi mengenakan rok mini dianggap rejeki nomplok, padahal itu ujian besar. Begitu juga dengan ikan-ikan tadi, ternyata itu ujian besar. Terlena buaian rejeki tak kunjung usai, hingga adzan berkumandang masih terombang-ambing di lautan.
“Gimana bro bukanya?”
“Tenang kita singgah saja di pulau Buluh. Kalau tak tahan buka saja dengan air laut untuk membatalkan.”
“Tambah haus.”
“Iya sih. Sabar… sabar…”

Meski berbuka puasa tak tepat waktu dan ketinggalan sholat maghrib para lelaki tersenyum sumringah. Ember ikan terisi penuh hasil tangkapan. Ada banyak ujian hari ini . Terjebak kesalahan dan kelalaian itu pilihan. Terkadang logika dan hati nurani dikalahkan oleh hawa nafsu duniawi. Bagai memilih terdampar di pulau daripada menuju jalan yang lurus.
Ada yang aneh sama pulau itu…. beneran kaya buaya… mungkin kalo ditambah foto Danan goleran di pasir pantai bakal tampak kaya syahrinii beneran *lempar kutang*
SukaSuka
Ogahhh ah nyaingin teteh, goleran berbikini itu trademark om cum
SukaSuka
sumpaah siriikkk
SukaSuka
Sirik dg princess syahrini?
SukaSuka
kagaakk… sama dia mah ga siriikk…. xixixi 🙂
SukaSuka
Hahha, syahrini emang top dah 😀 aku kirain emang kambing lho kalo nggak baca penjelasannya 😀
SukaSuka
Apalagi yg laper berat liatnya beneran mirip
SukaSuka
Pengalaman yang menarik dan seru 😀
SukaSuka
pengalaman nggak sengaja tapi kalao dipikir2 bodoh banget ya kami
SukaSuka