Timor Leste, Travelling

Nya-Tanya Lorosae

Laman-laman itu berujar kisah perpisahan yang dukanya masih bersisa dan amarahnya masih memerah. Mereka tak akan pernah ramah dengan pendatang dan lensa. Niatan memangkas ongkos perjalanan dengan tiket promo membawa kami memutar ke Kupang bukan Maumere.

Namun yang tak masuk akal ide Elyudien, semakin menjauhi Flores menuju Timor Leste, negara yang pernah menjadi propinsi termuda Indonesia. “Jangan lupa bawa paspor dan dollar .” Pesan singkat Elyudien di ponsel beberapa pekan lalu sekali lagi membuat saya tersenyum satir.

Buku kecil berlogo burung garuda bersampul hijau masih bersih apalagi isinya. Tak ada stempel imigrasi dari negara manapun. Tak terlintas menjelajah mancanegara sebelum nusantara terkhatamkan. Ini janjiku. Namun atas nama penasaran dan pertanyaan yang tak pernah terjawab , ujaran pun diingkari lalu melangkah ke bumi Lorosae.

Perbatasan negara adalah kegugupan bagi mereka yang baru pertama kali keluar negeri. Setelah perjalanan darat enam jam , petugas imgrasi dua negara seksama menilik paspor putih bersih tanpa noda tinta.

Sudah dapat dipastikan, pertanyaan akan lebih banyak dan detail. Mau kemana. Bersama siapa. Ke tempat siapa. Mau apa. Bukankah sebagian besar jawaban ada di kartu imigrasi. Batin saya protes tapi tak kuasa bersuara karena semakin gugup melihat pria breseragam loreng di tapal batas. Dilli.

Kota itu nyaris serupa dengan gambaran dunia maya. Sunyi , dingin dan tak banyak aktivitas berarti. Mungkin karena dini hari dan rasanya terlalu dini menyimpulkan apa yang dilihat malam ini.

Sinyal itu bernama kewaspadaan, ia akan terasa sangat kuat ketika tak ada senyum mengembang. Pelan-pelan kamera di tas ransel saya keluarkan , seulas senyum warga Dilli membuat sinyal kewaspadaan berdenyut lemah.

Hari itu saya lebih percaya diri , berjalan berkalung lensa. Tak ada warga yang merasa terusik ketika moncong beling berkerling. Ya tentu saja didahului dengan senyum dan kerling sang empunya. Karena sesungguhnya senyum adalah bahasa universal. Jika kamu tak mampu berkata bahasa mereka , tersenyumlah dengan tulus, karena sesungguhnya itu tingkah sakti pembuka hati.

Dilli adalah optimisme. Ia tak pernah menoleh ke belakang. Terus maju berkembang di era apapun serta di bawah pemerintahan siapapun. Saat itu presiden Taur Matan Ruak baru empat bulan dilantik. Meski masih di bawah bimbingan UN , Dilli bersolek menjadi ibu kota negara yang cantik.

Ruang publik terasa makin bersahaja dengan fasilitas wifi , termasuk taman dekat Istana Kepresidenan Timor Leste. Sekali lagi seulas senyum penjaga Palacio Presidencial Timor Leste, membuka obrolan hangat. Campuran bahasa Tetum, Portugis, Inggris dan Indonesia tak membuat kami gagap. Ikatan batin itu masih ada, layaknya kerabat lama tak bersua , kami bercengkrama dalam keakraban.

Tawaran tak terduga itu datang. “Maukah kalian melihat koleksi Bapa’ Presiden?” Pintu istana terbuka, kami memasuki lobi penuh koleksi benda purbakala. “Hari Sabtu, Bapa tidak kemari. Silakan jika kalian mau masuk .”
Ruangan luas berdaun pintu ganda terbuka, memperlihatkan empat kursi berjajajar dengan ornament bendera dan foto pemimpin negara. Sekilas melihatnya orang akan tahu ini ruangan protokoler, tempat presiden menerima tamu dan melakukan acara kenegaraan.

Kejutan Lorosae kali ini semakin meyakinkan saya bahwa kaki harus melangkah lebih jauh untuk melihat dunia. Apa yang kamu lihat di dunia maya, tak senyata kenyataannya.

8 tanggapan untuk “Nya-Tanya Lorosae”

  1. Wah senang sekali bisa masuk istananya presidan mas. Setuju sekali sama kata2 mas danan yang terakhir…Apa yg kita lihat di dunia maya tak senyata-nyatanya 🙂

    Suka

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s