Berkali-kali Sila meyakinkan , apakah saya akan ke Pangkalan Kerinci dengan menggunakan speed boat. Mata gadis Melayu asli Desa Teluk Meranti berputar cepat , berusah mencari alasan logis perjalananan pulang tak biasa.
“Mengape tak naik travel Bang Opik saje tadi pagi. Ongkosnya hanya separuh dibanding speed.”
“Aku kesiangan Sil.”
“Ah tak mungkinlah, Abang selalu bangun pagi. Buktinya tadi masih sempat jalan-jalan ke pasar.”
Kali ini saya tak menjawab, hanya melirik sekilas lalu bergegas menuju lokat kecil di samping rumah makan Vera.
Dan benar saja, harga tiket speed boat dua kali lipat lebih ongkos travel ke Pangkalan Kerinci. Tarifnya sama dengan penumpang yang naik dari Selat Panjang. Dan sialnya hari ini semua tarif angkutan darat dan laut naik sepuluh persen akibat kenaikan harga BBM.

“Mahal kan Bang?” Sila memperhatikan saya mengorek-ngorek dompet mencari sisa rupiah, hingga akhirnya mengeluarkan uang terakhir di lipatan dompet paling dalam.
“Lumayan.” Nampaknya saya harus menjelaskan kepada Sila bahwa saya enggan melewati jalur darat lagi. Ini Riau Bung tak ada pemandangan selain kebun kelapa sawit.
Jadi, jika ada pilihan sungai dengan pemandangan yang lebih baik. Mengapa tidak mencobanya?

Lagian saya masih terpesona dengan kehidupan di pinggir sungai. Menggumi biduk-biduk kayu menyandar di rumah terapung , sesekali hilir mudik di sungai atau meninggalkan tepian. Meski airnya tak jernih , sungai itu tetap menghadirkan bayangan kongruen langit biru yang megah.

Kemeriahan Festival Bekudo Bono memang telah usai. Ombak-ombak yang diyakini sebagai 7 hantu telah menghilang bersama dengan berlalunya bulan besar. Jadi tak ada yang perlu diwaspadai menyusuri sungai Kampar.
Jangan membayangkan Bono seperti ombak besar di lautan. Sejatinya, ia hanya air pasang yang dipengaruhi bulan purnama dan debit sungai. Namun pertemuan dua arus membuai air menjadi lengkungan besar ombak beriringan.

“Bang speednya masih lama, mungkin jelang siang baru tiba. Makanlah dulu di rumah.”
“Nanti saja Sil, aku makan di kapal saja.”
“Mana ada orang jualan di kapal . Orang dari Selat Panjang saja akan singgah di sini untuk makan.”

Benar saja perkataan Sila, setelah kapal cepat berlabuh, para penumpang turun berhamburan menempati kursi panjang rumah makan. Lalu mereka hikmad menikmati sajian makan siang yang sebenarnya tak terlalu murah. Namun usai melewati pelayaran panjang siapa yang sanggup menahan dahaga serta lapar.

Suasana di dalam speed boat tak jauh berbeda dibangdingkan bus ekonomi. Larik kursi menghadap nakoda , jaraknya terlalu membuat ujung dengkal saya yang lancip sesekali membentur kursi bagian depan. Tak mengherankan banyak penumpang duduk di geladak atas bersama barang.
Membayar lebih mahal dibandingkan travel bukan berarti akan lebih nyaman. Mungkin ini yang membuat Sila protes habis-habisan dengan keputusan saya.

Untuk kesekian kalinya saya terkagum dengan sungai Kampar. Mungkin ini efek norak, pertama kali melalui perjalanan air di Sumatra. Sensasinya agak sedikit berbeda dengan di laut lepas.
Jika di lautan terlihat batas garis horison langit dan laut , di sini ujung-ujung tepian hijau menjadi pembatasnya.


Sesekali speed boat singgah di pelabuhan kecil untuk menurunkan atau menaikan penumpang. Satu persatu biduk kayu kecil menyambangi penumpang yang akan turun. Menawarkan jasa untuk mengantar ke sisi tepian lain.
“Ojek… ojek…” Terbayang tukang ojek agresif menawarkan jasa ketika turun dari bus di terminal.

Laju cepat biduk memang untuk memburu waktu dan menaklukan jarak tempuh. Namun perjalanan ini bukan perlombaan , tiga jam berlalu sudah melalui Sungai Kampar menuju hulu.
Andai tadi pagi menumpang Bang Opik , mungkin siang ini sudah sampai Pekanbaru. Tapi kini baru saja menjejakan kaki di pelabuhan kecil dekat jembatan Pangkalan Kerinci.

Langkah pulang kali ini sedikit membuang uang dan waktu. Mungkin Sila tak habis berpikir mengapa saya rela membayar lebih hanya untuk “jalan-jalan” di sungai. Baginya sungai adalah keseharian, hampir tak ada yang istimewa.
Ketika biduk merapat rasa lapar itu datang , pastinnya ini bukan kebetulan. Ada takdir yang direncanakan agar saya bertemu dengan menu istimewa di kedai dekat jembatan.
Udang sebesar kepalan tangan manusia itu bernama galah. Digoreng atau digulai sama lezatnya, dagingnya lembut menggoda berbanding terbalik dengan karapaknya. Tahukah engka teman? Tiap potong daging lembut itu akhirnya memenuhi lambung saya dengan cepat. Maklum , usai terguncang-guncang di atas speed, jadi kosong mendadak.
Jadi sekarang tahukan alasan sesungguhnya, saya merentang pulang dengan menyusuri sungai Kampar?

Weikk jadi kangen dulu kalo mau ke batam naek kapal dari pekanbaru menyusuri sungai Siak, duh udangnya sexy kak
SukaSuka
Aku pengen tuh kak nyobain batam ke pekanbaru pake kapal…
SukaSuka
Seruu kak dulu klo mau nyingapore naek kapal dulu ke Batam. Bis goler2an pakai kapal kayu
SukaSuka
Waaah cerita nya seruuu.
Jadi berapa harga udang halah itu bang? Seharga tiket kah?
SukaSuka
Hahahah ini ngga semahal lobster kak….
SukaSuka
Wow.. nice post Mas Danan, saya pengen udah galahnya, sungainya, dan suasananya… hemmm!
SukaSuka
Monggo mas maen ke sumatra
SukaSuka
Kalau saya menjadi Mas, pasti saya juga akan mengambil keputusan yang sama :haha. Udang galah itu memang sangat menggugah selera! Saya juga suka pemandangan sungai yang tenang–airnya yang diam membuat pemandangan bercermin, entah, rasanya magis sekali. Memang bukan keputusan yang salah Mas, hanya saja Mas dan Sila mungkin memandang dari sudut pandang yang berbeda :hehe.
SukaSuka
Hahhahahha iyah…. Duh jadi kangen sila
SukaDisukai oleh 1 orang
Ngeliat kapalnya agak deg-deg ser, ngeri kalo terjadi hal-hal mengerikan, penumpang gak bisa keluar >.<
Tapi setuju sama yang komen di atas hahaha, udang galahnya menggoda
SukaSuka
Hqhhqhqh aku kok ngga kepikiran safetnya parah ya
SukaSuka
waah…jadi pengen udang galah, besar sekalii yah?
SukaSuka
kok pada terpesona dengan udang galah ya? *menyimak semua komentar
SukaSuka
Maklum rakus nan.
SukaSuka
ahahhah aku juga rakus, nih skrg banyak review tempat makan juga
SukaSuka
Waduh, itu udang galahnya, minta di santap, guede sekali, sayang sungainya agak keruh ya bang,
www. juhariblog. com
SukaSuka
udangnya montok kayak om danan, semok 😉
SukaSuka
Udangnya ga nahan…digoreng atau digulai sama lezatnya *nelanliur*
Btw seru juga kayaknya perjalanan via sungai
SukaSuka
memang asik banget udangnya kak
SukaSuka
sampe ada kulinernya juga, keren (y)
SukaSuka
hahhaha niatnya kuliner sebenrnya sih
SukaSuka
wah aku jadi pengen nih kayaknya seru ya, cuma perahunya begitu ya, apa arusnya besar
SukaSuka
arusnya besar tapi tetep seru kok
SukaSuka
wah jadi pingin juga, di sunagi musi, i sungai barito sudah eprnah jadi mau juga naik kapal di sungai kampar, kapan ya???
SukaSuka
Jaman gua di Jambi
SukaSuka
wah suka banget ulasannya, seruuuuuuuuuuuuuu…jadi penasaran pengen juga kesana
salam kenal kang
SukaSuka
Salam kenal kembali bunda
SukaSuka