Kisah Kehidupan

Sahabat Sehidup Semati

SAMSUNG CSC

“Bune, kapan pulang. Oh iya lusa. Ehm ayam sudah dikasih makan , kucing juga.” Nada kegugupan bercampur rindu begitu terasa.

“Napa Pak. Kangen aku ya. Abis resepsi aku langsung pulang naik travel malam.” Untuk kesekian kali pertanyaan yang sama dijawab dengan jawaban yang sama.

“O… Ya sudah, nanti aku telepon lagi ya.” Telepon ditutup.

Mata Pak Uyun berputar memandang keliling ruangan, matanya berkejap-kejap berusaha mengingat tugas rumah yang belum dikerjakan.

Begini rasanya tinggal di rumah sendirian. Baru sehari rasanya seperti bertahun-tahun.  Alangkah hebatnya perempuan yang mendampinginya bertahun-tahun. Tanpa mengeluh Bu Uyun tinggal sendirian di rumah ketika dirinya bekerja di luar kota dan Rina , putri tunggalnya kuliah di luar negeri. Tak keluh kesah keluar dari mulutnya. Hari-harinya diisi dengan merawat rumah, memasak dan mengurus hewan kesayangannya. Pintunya selalu terbuka lebar jika ada tetangga yang ingin menitipkan anak mereka.

Gara-gara ada keponakan istrinya yang menikah di luar kota  Pak Uyun harus menjaga rumah. Awalnya dirinya ingin pergi bersama sang istri. Tap rencananya gagal , gara-gara Adit anak tetanga yang biasa dititipi rumah diopname terserang demam berdarah. Cuma Adit yang mengerti bagaimana memelihara hewan kesayangan milik Bu Uyun.

Telepon berderingn wajah Pak Uyun sumringah berharap istrinya yang ada di ujung sana.

“Pak maaf, aku tidak bisa datang ada tugas mendadak.” Suara Rina, yang kini sibuk dengan karir dan keluarga kecilnya.

“Ndak apa-apa nduk, bapak bisa sendiri kok”.

“Yang bener Pak. Jangan telat makan nanti maag-nya kambuh.  Kalau ada apa-apa telepon mas Beno. Soalnya telepon aku bakal mati beberapa jam dan tidak bisa dihubungi, ada meeting.”

“Ooo begitu”

Klik. Telepon mati dan Pak Uyun kembali merasa sendiri. Dirinya tidak pernah merasa sesepi ini. Matanya menerawang jauh mengingat wajah istrinya yang selalu sumringah menyambut kedatangannya dari luar kota.

Tok tok tok. “Bune , aku pulang.”

“Aku tahu Pak” Pintu terbuka dan Pak Uyun melihat mataharinya bersinar terang. Bersama bunga-bunga dan kupu-kupu. Hatinya tetap bergetar seperti kencan pertama. Gairahnya pun memanas setelah berminggu-minggu tak merasakan kelembutan wanita. Beginilah nasib pekerja lapangan, harus  berpisah dengan keluarga. Beruntung istrinya tidak pernah protes.

“Semua sudah ada peran dan bagiannya nduk. Bapak cari makan di luar rumah. Ibu mengurus rumah  di sini. Nah kamu menuntut ilmu. Kalau perlu sampai ke negeri China.” Bu Uyun meyakinkan Rina putrinya ketika akan  melanjutkan studi ke luar negeri.

“Tapi siapa yang menemani Ibu kalau bapak ke offshore.”

“Lah itu peliharaan Ibu.” Bu Uyun menunjuk si manis tertidur pulas dekat aquarium.

Pak Uyun tersenyum membayangkan kejadian 10 tahun yang lalu. Istrinya tidak pernah mau memiliki asisten rumah tangga. Semuanya dikerjakan sendiri.

Kring. Telepon kembali berdering.
“Pak, alhamdulilah ijab kabulnya lancar. Wis , dek Parti resmi punya mantu. Tinggal nunggu cucu saja.” Suara Bu Uyun renyah.

“Sampaikan maafku ke dek Bambang dan Parti ga bisa datang.”

“Iya Pak, kata dek Bambang ga apa-apa, sudah dimaafkan. Dia juga  minta maaf sudah memaksa ibu ke sini. Jadinya  bapak jaga rumah sendiri.” Pak Uyun tersenyum getir, hatinya ciut membayangkan nasibnya yang malang.

Meskipun banyak ruang dan cinta di rumah ini, putrinya memilih keluar mengikuti suami.  Sudah berkali-kali dirinya memohon Bono tetap tinggal,  tapi menantu  menolak. Baginya seorang lelaki harus membangun kerajaannya sendiri. Dan rumah ini kerajaan Pak Uyun bukan dirinya. Lelaki sombong.

“Pak Rina tadi telepon tidak bisa datang. Tapi nak Beno akan datang mengantar makan siang.” Suara Bu Uyun membuyarkan lamunan.

“Iya Bukne, tadi Rina telepon.”

“Ya sudah pak, aku pamit dulu.” Kembali kerinduan datang dalam senyap.

***

Pak Uyun duduk berhadapan dengan Beno , menantunya. Mereka tidak seakrab  dulu . Dirinya  menyimpan kekesalan, pria dihadapannya membuat buah hatinya meninggalkan rumah. Walau masih satu kota Rina tidak berada di sisinya.

“Pak , Rina sudah bilang…?” Beno bertanya berusaha mencairkan suasana.

“Sudah… Dia tidak bisa dihubungi karena ada meeting penting.” Sela Pak Uyun

“Bukan itu Pak… Rina hamil.” Intonasinya melemah nyaris tak terdengar.

“Hah. Sudah berapa lama.” Pak Uyun menyembunyikan kegembiraan.

“Dua minggu.”

“Kamu ini, istri hamil muda dibiarkan bekerja sendiri. Harusnya kamu menemaninya  dan tidak  duduk di sini. Nanti kalau ada apa-apa bagaimana. Sudah diperiksakan ke dokter?.”

“Rina meeting internal perusahaan Pak. Orang luar tidak boleh ikut,  termasuk suaminya. Baru pake testpack. Rencana besok ke dokter kandungan”

“Oh …”.  Kata kata Pak Uyun tertahan teringat  sepenggal kalimat istrinya.

“Rina tidak pergi dari rumah atau meninggalkan kita. Dia menjalankan kewajibannya  sebagai istri. Harusnya bapak bangga, putri kecil sudah menjadi wanita dewasa yang bertanggung jawab. Mampu mengemban tugas mulia sebagai seorang istri, mendampingi suami kemanapun melangkah. Dan mungkin sebentar lagi Tuhan akan memberikan tugas yang lebih besar,  melahirkan dan membersarkan  anak-anak. Tugas kita sudah selesai Pak.” Kata-kata bijak istrinya berputar di kepala, lalu membungkam hatinya mencari kesalahan Bono.

***

Tok tok tok. ” Pak, buka pintunya. Aku pulang”. Suara lembut , mengalun indah dari balik pintu. Pak Unyu berlari sigap bagai jejaka menjemput gadis pujaan. Tangan rentanya membuka pintu dengan cinta.

“Bune, katanya besok baru pulang. Bagaimana dengan resepsinya kan besok.”

“Aku ga kuat Pak, aku kangen.” Tubuh wanita itu ambruk dipelukan suaminya.

“Masuk Bune, ga enak diliat tetangga kaya anak muda pelukan di depan pintu”

“Malu? Kita ini  pasangan resmi Pak bukan pacaran.” Bu Uyun melepas pelukan berjalan ke dalam rumah diikuti suami.

“Tapi Bune kangen dan kasmaran ala gadis remaja, pake peluk-peluk di depan pintu kaya adegan sinetron”

“Pak yang aku rasakan sekarang ini bukan cinta menggebu penuh gelora kaya anak SMA. Tapi cinta yang lebih universal, seperti persahabatan sejati tanpa batas. Jika berpisah ada sesutu yang hilang.”

“O… Sekarang kita cuma bersahabat saja.”

“Sahabat sehidup semati Pak.” Bu Uyun menegaskan.

“Lah kemarin-kemarin Bune sanggup ditinggal bapak berminggu-minggu kerja i laut.”

“Rumah ini amanah atas nama cinta dan kehormatan, aku harus bisa menjaganya dengan baik . Jadi apapun yang terjadi harus tetap ada di sini menunggu belahan jiwa kembali.

“Haduh istriku salah makan apa, tiba-tiba jadi super romantis.”

“Menyaksikan acara ijab kabul membuat aku rindu rumah dan bapak. Aku jangan ditinggal lagi ya.” Mata Bu Uyun nanar menatap suaminya.

“Lah yang pergi dari rumah siapa. Tapi sejujurnya aku tidak bisa tidur karena kangen.” Pak Uyun membalas tatapan istrinya. Seuntai air mata menumpuk di ujung mata.

Kring. “Bu mau dijemput jam berapa.” Rina berbicara kepada ibunya melalui telepon. Pak Uyun mendengar dahinya berkerut.

“Lah katanya ga mau ditinggal, tapi mau pergi lagi.”

“Kali yang ini bapak boleh ikut .” ujar Bu Uyun.

“Terus siapa yang memberi makan ikan, kucing dan ayam.”

“Pak kita cuma pergi  ke dokter kandungan di ujung gang, Rina minta ditemani.” Bu Uyun tersenyum menahan geli.

Pak Uyun salah tingkah. Pria itu terlihat bahagia tapi malu mengekpresikannya. Hatinya berbunga-bunga memandang sahabat sehidup sematinya.

4 tanggapan untuk “Sahabat Sehidup Semati”

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s