Malam semakin dingin. Tak ingin kulepas kehangatan dari sisiku. Kukecup lembut bibir ranum merah jambu terlelap dalam mimpi panjang.
“Itai Lamu, kau adakah.” Suara dari balik dinding lamin membuyarkan rasa.
Tanpa sepatah kata, kuraih mandau. berjinjit ringan membuka pintu. Sekali lagi kupandang tubuh molek kuning langsat bersarung.
***
Angin malam menusuk tulang. Kami para lelaki bersembunyi dibalik rimbun belantara batas desa. Tak ada api hanya sesekali suara napas tertahan. Belaian angin malam membangkitkan rasa untuk menuntaskan
pertempuran tadi malam. Bayangan keindahan menari-nari diimaji membangkitkan hasrat lelakiku.
“Kunyang…Kunyang… ” Jeritan lengking perempuan merayapi rasa sepi.
Sesosok mahluk dengan usus terburai melayang binal menembus pohon dan dedaunan. Tetesan bau anyir darah menyeruak di setiap jejak. Kami berlari mengepung, berarak melambaikan obor dan mandau bagai berburu
burung gagak.
“Dasar mahluk setan, dia menghilang begitu cepat.” Dukun beranak tua berteriak parau ditelingaku. Mulutnya komat-kamit membaca mantra dan matanya memerah. Kunyang telah memperdayainya, menyamai rupa dan
tingkahnya.
***
Rasa nakal kembali menyeruak, desirnya membangkitkan kejantananku. Denyutnya menuntunku untuk cepat kembali ke lamin.
“Sebelum ayam berkokok harus kutuntaskan semuanya…”. Otak ku semakin nakal membayangkan pergulatan fajar.
Kutarik mandau di dalam sarung. Dadaku berdegup kencang. Temaram lampu membuat sosok tubuh mungil makin menggemaskan. Kuterkam nakal tubuh istriku, rasanya ingin kulumat semuanya.
Degup ini semakin kencang. Kulihat Tami, istriku tanpa kepala. Lehernya berongga dengan garis hitam. Kuguncang berkali-kali tubuhnya. Dia tetap diam bagai raga tanpa sukma.
Jendela terbuka. Wajah Tami muncul mengigit daging berdarah segar…
