Jogja tak selalu rindu, bagi bapak Jogja adalah buku yang ia ingin tutup rapat rapat sampulnya . Lembaran kertas bagai bilah mata pisau, jika membukanya bisa saja terluka kembali dan berkali kali. Setiap orang punya luka dan kami setia menanti duka sirna. Setelah dua puluh tahun lebih ia kembali.
Kehilangan adalah titik balik, seminggu setelah kehilangan ibu , adik bungsu bapak di Balikpapan juga berpulang. Adik beradik itu makin paham bahwa sesungguhnya semua hanya menunggu waktu , jika tak sekarang kapan lagi?
Hati yang membeku mulai mencair, mendinginkan perih dan nyeri luka. Mengabaikan sakit hati yang tak perlu. Perlahan namun pasti , rindu menyeruak.
“Gimana Pak. Mumpung ada penerbangan langsung Lampung-Jogja. Jadi nggak capek”, tanyaku berlahan sembari membaca air wajahnya.
“Hayuk Mbah Kung, kita mudik”, timpal ponakanku Fina.
“Kita nyekar aja. Hari pertama terbang, nyekar lalu pulang. 3 hari.”
“Mumpung aku libur belum kuliah. Mbah Kung.Kita ke Jogja.”
“He eh tapi dipikir dulu”, sepertinya rayuan akan berhasil.
“Bapak dah bilang ke Mbah Ti, kalau sekarang dah jadi duda. Langsung pesan ya”, godaku.
“Tanggal berapa?”, tanya Bapak. Uhuy hatiku teriak akhirnya bisa membawa bapak ke Jogja.
“Ini Pak”, ku jembreng kalender dan memperlihatkan deretan hari kejepit bulan Mei.
Meski terlihat sok cool bapak antusias merencanakan mudik bulan Mei ke Jogja. Awalnya hanya tiga hari lalu menjadi 4 hari dan membuat janji dengan adiknya yang di Bumiayu untuk bertemu di Jogja.

***
De ja vu. Rasanya perjalanan ini seperti 7 tahun lalu ketika ibu mengajak mudik ke Madiun dan kita melewati trip paling romantis antara ibu dan anak. Ya perjalanan napak tilas ibu menyambangi teman sekolah dan kerabat. Sepanjang perjalanan ibu berkisah masa remaja yang memang seru , jadi siswi stm listrik dnegan teman mayoritas pria. Drama celana dalam dicuci teman saat kerja praktik di PLTA sarangan. Tapi paling heboh ketika ibu bertemu teman SD nya yang juga gank bermusik saat mereka tergabung dalam kelompok musik pukul bambu.
Hari H Bersama Bapak
Bapak memang tak banyak bertutur tapi aku tahu hatinya buncah. Baju sudah disusun rapih di koper kecil jauh sebelum keberangkatan. Masa produktifnya bapak sering dinas ke luar kota bahkan sampai berbulan bulan , ia sangat paham light pack dan tampil rapih saat berpergian di bandara. Tapi akhirnya semua barang bawaan dirangkum dalam satu koper agar ringkas dan bisa saya jinjing.

19 Mei 2024. Setahun lalu saya sibuk mempersiapkan pwrjalanan ke Jepang bersama rekan, sekarang traveling bersama keluarga ; bapak dan ponakan. Ya tahun ini saya belajar menekan ego, membagi waktu untuk traveling sendiri , bersama keluarga dan mudik lebaran .
Tak menunggu lama akhirnya pesawat yang kami tumpangan mendarat di YIA Kulon Progo, pemandangan laut, sawah, sungai dan pegunungan berpadu indah. Ponakan saya buncah merekam video melalu jendela pesawat.
“Naik kursi roda atau gimana…” menggoda bapak yang berjalan semangat keluar bandara.
Perjalanan panjang terakhir panjang bersama bapak mungkin puluhan tahun lalu . Sejak pensiun bapak lebih memilih menjaga rumah jika kami serumah berencana pergi jalan jalan. Dengan pertimbangan tak ingin melewatkan waktu sholat, beliau pilih menjaga rumah. Salah satu yang membuat bapak setuju penerbangan ini karena tak akan melewatkan waktu sholat.

Bapak itu tipe orang yang tua yang selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anak anaknya terutama saat berpergian. Saat lulus SMA melewatkan momen ke luar kota untuk tes dan mendaftar kuliah tapi berikutnya lebih sering berpergian bersama ibu karena cuti beliau terbatas. Tapi momen saya yang lebih banyak ngambek kalau fasilitas kendaraan dan penginapan tak nyaman. Kalau diceritakan detailnya membuat saya malu , bisa saya sealay itu . Tapi bapak memilih diam kalau saya tantrum berbeda dengan ibu.
Jaga Bapak
Menjadi orang tua adalah proses belajar yang tak pernah usai . Tapi belajar menjadi anak adalah proses yang Nungki kita samara setelah sama sama tua . Mungkin kita yang selama ini hanya menuntut hak anak mulai paham kewajiban. Ya orang tua memang tak pernah meminta tapi sadarkah kita ketika kesehatan mental dan fisik orang tua menurun kita mestinya menjadi lebih paham dan sabar. Ujian demensia , mereka mulai bersikap seperti anak anak atau tantrum, mungkin berat tapi itulah fase kehidupan yang harus mereka hadapi dan akan kita hadapi kellak.
Saat ini saya hanya bisa tersenyum ketika ingat ibu yang tantrum ketika diberikan smart watch yang mematai kemana ia pergi. Atau bapak yang diam diam sengaja menyembunyikan rengginang dan ketan, makanan kesukaan yang jelas jelas dilarang dokter dan bisa bikin penyakitnya maagnya kambuh.

Orang tua tak suka diatur dan dilarang karena mereka merasa lahir lebih dulu dan tahu segalanya. Yang bisa kita lakukan hanya mendengarkan mereka dan merayu bukan melarang dengan keras apalagi menggurui.
Saya ingat betul alasan bapak tak mau berpergian , tak ingin melewatkan waktu sholat di jalan. Pelan pelan saya yakinkan bahwa perjalanan tak mengganggu ibadahnya. Saya mulai memahami andai melewti waktu sholat belajar kebiasaan beliau saat sholat pakaian dalam dan luar harus bersih. Jadi saat traveling selalu membawa pakaian bersih agar ia bisa salin sebelum beribadah.
Ya saat ini yang sulit bukan menjaga fisik tapi hati beliau agar ia tetap bahagia dan tidak stres. Karena stres sekecil apapun pada lansia akan menurunkan kekuatan mental yang berujung kondisi fisiknya.
Sehat sehat ya Pak. Doakan ada rejeki , waktu dan umur. Nanti kita jalan jalan traveling bersama lagi.

Satu tanggapan untuk “Membimbing Hati Bapak ke Jogja”