Curahan, Lomba

Ketika Aku Jatuh Cinta Kepada Hutan

Cinta itu anugrah paling besar dari Tuhan kepada mahluk hidup. Ia bukan kebetulan atau datang dari sebuah keberuntungan. Semuanya telah diskenariokan dengan sempurna oleh Sang Maha Pencipta hingga kita mampu menyayangi tanpa alasan.

Ya begitulah rasa ini kepada hutan nusantara, sehingga rasa ini berubah menjadi rindu mendalam karena sudah lama tak menyambanginya akibat pandemi.

Tulisan perjalanan di majalah National Geography Indonesia.

Hobi traveling dan menulis sejak 10 tahun lalu membawa banyak keberuntungan, salah satunya memenangkan lomba fotografi di fotokita.net dan hadiahnya jalan-jalan ke Bandung bersama tim National Geography Indonesia.

Konon ke Bandung ternyata kami diajak berpetualang.

Hah ke Bandung. Memang ada apa di sana?

Ternyata ini Bandung coret alias kabupaten Bandung, tepatnya di Taman Konservasi Masigit Cikareumbi (TKMC). Setelah melewati dataran tinggi Cimanggung saya baru sadar tempat yang akan kami sambangi sangat spesial. Malam ini kami akan tinggal di atas rumah pohon tanpa penerangan listrik dan sinyal telepon seluler. Lima bangunan rumah kayu menyebar di tengah hutan pinus dan uniknya pilarnya merupakan pepohonan hidup.

Rumah pohon di antara hutan pinus tempat kami bermalam.

Jelang malam kami duduk melingkari api unggun sembari menikmati ubi bakar. Tepat pukul 08:00 WIB, Kang Oz memberikan materi cara bertahan di alam. Tapi siapa yang menyangka jika selanjutnya kami dilepas satu per satu untuk hiking malam.

Ada rasa takut ketika berjalan sendirian di tengah hutan karena mata ini tak biasa dengan cahaya temaram. Namun pengalaman ini mengajarkan bahwa sesungguhnya manusia memiliki intuisi untuk bertahan di kondisi terburuk. Jadi jangan pernah takut menjelajah hutan jika sudah tahu cara bertahan di alam bebas.

Air terjun Cisabuk menjadi tujuan trekking.

Keesokan paginya ada kejutan yang tidak kalah seru, kami kembali diajak trekking menuju air terjun Cisabuk. Diperlukan waktu 3 jam berjalan kaki untuk mencapai air terjun dua larik yang berada di perbatasan kabupaten Bandung dan Sumedang. Walau lelah saya menikmati perjalanan ini seperti: melewati kebun sayur penduduk, menerabas hutan hingga naik turun bukit terjal.

Aktivitas warga di kebun pemandangan saat trekking.

Sekembalinya dari air terjun Cisabuk kami diajak mengadopsi pohon dengan menanamnya di Taman Konservasi Masigit Cikareumbi. Kang Oz berkata bahwa secara rutin kami akan mendapatkan kabar pohon yang kami tanam melalui e-mail. Dan ternyata benar, sejak tahun 2012 hingga sekarang saya selalu menerima informasi pohon adopsi di TKMC. Kabar paling menggembirakan jumlah pohon pohon adopsi di sana terus bertambah.

Sertifikat adopsi pohon di Taman Konservasi Masigit Cikareumbi (TKMC).

Menyambangi Hutan Sumatra
Saya lahir dan besar di Sumatra namun seumur hidup belum pernah menyambangi hutannya yang konon eksotis. Sejak lahir hingga kuliah saya hanya berkutat di kota Bandar Lampung. Padahal jika melangkah sedikit saja bisa melihat hutan tropis di lereng bukit barisan yang berada di Lampung Barat.

Bersama Elyudien di danau Kaco

Keinginan untuk melihat salah satu misteri alam Danau Kaco, akhirnya mengantarkan saya dan teman-teman menyusuri Taman Nasional Kerinci Seblat di propinsi Jambi.

Kaki terperosok ke dalam lumpur.

Kami memulai perjalanan dari Lempur Tengah, salah satu kampung tua di kabupaten Kerinci. Trekking 4 jam dalam gerimis hujan menguji nyali dan kesabaran. Berkali kali saya terperosok ke tanah gambut dan nyaris saja alas kaki menghilang di dalam lumpur. Lebatnya hutan tropis Sumatra membuat sinar matahari sampi ke dasar hutan sehingga tanahnya selalu lembab dan di beberapa bagian ditumbuhi lumut. Tapi tidak tahu mengapa saya menikmati aromanya.

Pohon Meranti raksasa di Taman Nasional Kerinci Seblat.

Di tengah perjalanan kami menemukan pohon meranti besar dengan lingkaran tiga kali rentang tangan orang dewasa. Dan sebelum sampai di Danau Kaco kami harus menerabas sungai berarus deras dengan hutan bambu di sisinya. Malamnya ketika tenda sudah berdiri, hujan turut dengan lebatnya.

Perjalanan melewati derasnya arus sungai.

“Sebetulnya ini trip apa?”, tanya El saat kami duduk melingkari di dalam tenda.

“Setelah berjalan di tengah hutan lalu tidur di bawah hujan.”

“Tahu deh?”, jawab saya ringan.

“Tapi kamu menikmat kan dan akan mengulanginya?”

“Pasti dong!”

“Ha… Ha… Ha… Ya sudah saya ikutan lagi.” Sejak malam itu, kami merencanakan perjalanan lain tak biasa menjelajah hutan Sumatra. Bahkan El punya impian ke kepulauan Mentawai di Sumatra Barat.

Tamu Tandang Suku Anak Dalam

Perjalanan berikutnya kami ingin mengenal mereka yang hidup sangat dekat dengan hutan. Ini bukan obsesi tapi hanya ingin menjawab rasa penasaran bagaimana suku anak dalam (SAD) dapat hidup setia dengan hutan.

Gubuk yang pernah ditinggali suku anak dalam.

Tidak mudah memang untuk mencari kontak orang yang dapat mempertemukan dengan SAD. Bang Roni dari organisasi yang peduli dengan suku anak dalam, berkali kali mempertanyakan tujuan kami. Logikanya belum bisa menerima kalau kami hanya pelancong yang ingin masuk hutan dan melihat dari dekat kehidupan suku anak dalam.

“Abang-Abang ini bukan jurnalis kan?” Pria berusia 20 puluhan tahun bertanya sembari mengemudikan kendaraan four-wheel drive  menuju Kampung Pulau Punjung.

“Bukan.”

“Iya bukan, kami hanya mahasiswa yang hobi jalan-jalan.” Elyudien mengedipkan mata nakal tanda isyarat bohong.

“Masa muka tua begini mahasiswa.”

“Mahasiswa abadi.”

“Tidak apa apa Bang, banyak kok jurnalis dan peneliti ke hutan. Nanti kita bermalam di kedai Kakek Rustam.”

Duduk bersama di warung Kakek Rustam.

Pola hidup berpindah suka anak dalam ternyata menyulitkan kami untuk bermalam bersama mereka. Malam ini kami bermalam di kedai sederhana milik Rustam Efendi. Pria berusia 80 tahun yang sengaja mendirikan kedai di perbatasan hutan untuk membantu suka anak dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Sebelum tidur pria yang pernah menjadi guru di Bukittinggi, berkisah bagaimana seharusnya hubungan manusia dengan alam.

“Kita terlalu banyak ingin mengambil dari hutan tanpa pernah memikirkan untuk menjaganya. Hanya mereka (SAD) yang mampu menjaga keseimbangan alam.”

Saat manusia ingin mengambil lebih dari hutan maka tidak ada yang tersisa.

Saya semakin paham mengapa Kakek Rustam sengaja menghabiskan sisa hidupnya di pinggir hutan bersama sang istri. Di usianya yang senja, mungkin ia tak mampu berdiri lama di depan kelas dan mengajarkan bagimana seharusnya hubungan manusia dengan alam.

Ia ingin dekat dengan alam dan orang-orang yang menjaga hutan. Kepercayaan dan keyakinan SAD mengajarkan bahwa setiap pohon memiliki jiwa hingga kita harus menjaganya dan tidak mengekploitasi berlebihan.

Semangat pagi menyertai langkah kami menerabas hutan Sumatra. Hisapan hewan haus darah yang menempel di kulit tidak kami hiraukan. Ah sepertinya ada yang bucin dengan hutan nih!

Setelah melewati satu bukit terlihat gubuk sederhana, seorang wanita duduk di atas balai-balai. Tangannya sibuk membersihkan jernang buah rotan.

Bu As duduk di balai sembari membersihkan jernang.

Belakangan saya baru tahu bahwa jernang merupakan komoditas hutan bernilai tinggi, harga per kilogramnya satu juta rupiah lebih. Dunia industri mengenalnya sebagai dragon’s blood dan biasa digunakan sebagai campuran pernis, obat-obatan dan dupa.

Bu As dan kedua anaknya.

Berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari Kakek Rustam, wanita itu bernama As. Saat ini suaminya sedang mencari daging (berburu). Kini ia tinggal bersama anak lelaki dan perempuannya. Putrinya yang bernama Bheta pandai berbahasa Indonesia. Bheta berkisah bahwa hutan tidak seperti dulu, kini keluarga dan kelompoknya sulit mencari tempat tinggal. Keberadaan mereka semakin terhimpit seiring berubahnya hutan menjadi kebun sawit. Sejak tahun 1985 lahan hutan tropis di Sumatra berkurang hingga 45%.

Mobil yang kami tumpangi menerabas sungai Batanghari.

Perjumpaan singkat ini mengajarkan banyak hal kepada kami, seharusnya manusia mengambil apa yang dibutuhkan dari alam. Bukan mengambil sebanyak banyaknya menuruti keinginan tak terbatas.

Pohon yang dipenuh sarang lebih di Dharmaseraya.

Selintas pandangan tertuju pada pohon besar yang dipenuhi dengan sarang lebih di tepi sungai Batanghari sambil bergumam. “Mampukah kita menahan diri dan hanya mengambil madu yang dibutuhkan jika melihat puluhan sarang lebah seperti ini.”

Hutan di Batam Kepulauan Riau.

Kini saya bertugas jauh dari tanah Sumatra dan yang bisa dilakukan untuk menjawab kerinduan dengan menyambangi hutan mangrove di dekat area kerja. Terkadang turut serta kegiatan CSR kantor yang berkaitan dengan lingkungan seperti penanaman dan pemanfaatan tumbuhan mangrove. Saat paling membahagiakan adalah ketika perusahaan tempat saya bekerja memberikan pelatihan masyarakat pemanfaatan tuumbuhan mangrove dengan menghadirkan Abdul Latief, seorang pejuang Mangrove asal Indramayu.

Langkah Kecil Bagi Hutan Indonesia
Saya bukanlah manusia berhati emas yang mampu meluangkan waktu dan tenaga untuk melindungi hutan seperti para relawan. Namun saya tetapturut serta menjaga hutan Indonesia melalui tulisan dan kontribusi kecil.

Kini lebih banyak melihat hutan mangrove dibandingkan hutan hujan tropis.

Bagi temen- teman yang ingin turut menjaga hutan nusantara dapat bergabung dengan Hutan Itu Indonesia. Kamu tak harus menjadi relawan namun dengan satu langkah kecil dapat menjaga hutan seperti mengkampanyekan jaga hutan, mengadopsi pohon, menceritakan hutan melalui talentamu atau berjalan jalan ke hutan.

Bingung bagaimana caranya mengadopsi hutan? Mari mengunjungi website Festival Hari Hutan Indonesia. Selain bisa berdonasi kamu juga bisa menyaksikan rekaman perayaan hari hutan Indonesia tanggal 7 Agustus 2020.

Jangan sampai rasa cintamu kepada hutan Indonesia hadir ketika semuanya sudah tidak ada karena penyeselan selalu datang belakangan.

Tulisan ini diikutsertakan Kompetisi Blog Hari Hutan Indonesia yang diadakan oleh Hutan Itu Indonesia dan Blogger Perempuan Network.

13 tanggapan untuk “Ketika Aku Jatuh Cinta Kepada Hutan”

  1. Membaca ini, rasanyaaaa tumplek blek rindu dengan hutan. Pasti mas Danan menulisnya dengan hati terdalam karena berasaaaa banget lhoo… membuat saya juga jadi kangen hutan, kangen aromanya, kangen lembabnya.. kangen teduhnya…
    Terima kasih sudah berbagi cerita tentang hutan di saat pandemi ini termasuk membagikan langkah kecil untuk menjaga hutan. Selalu sehat ya mas Danan…

    Suka

  2. terharu aku bacanya Kak…apalagi tentang suku anak dalam yang mencintai hutan..Semoga kita makin kompak ya bersatu menjaga hutan agar tetap lestari hingga anak cucu kelak bisa menikmatinya

    Suka

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s