Rumah-rumah beratap prisma segitiga desa Rantau Panjang , kecamatan Tabir, kabupaten Merangin, provinsi Jambi berjajar memanjang bagai biduk di tepi sungai. Kajalangko , rumah adat Jambi memang mengadopsi bentuk kapal.
Warga Rantau Panjang dikenal sebagai Suku Batin merupakan keturunan proto Melayu. Diyakini ribuan tahun lalu nenek moyang mereka bermigrasi dari Cina Selatan menuju Indonesia. Menyusuri sungai Batanghari di Jambi menuju hulu. Di Bangko, rombongan ini berpisah. Satu kelompok berbelok menuju Tabir dan yang lainnya terus ke hulu menuju Kerinci.
Adakah kenangan masa lalu dengan kajalengko berbentuk kapal?
***
Isna tertegun di pertigaan jalan. Meski sudah pernah ke Rantau Panjang pria yan bertugas di kantor pajak Bangko tertegun.
“Jalannya berubah jadi pasar. Pilih yang mana?” Saya terdiam di jok belakang motor mengamati kerumunan orang.
“Itu wanita Rantau Panjang kan?” Menunjuk wanita berbaju kurung menggendong keranjang bambu di pundaknya.
“Iya benar. Wanita Rantau Panjang tetap mengenakan baju kurung dan penutup kepala.” Tanpa diperintah, Isna langsung mengarahkan motor ke arah wanita datang.
Tak membutuhkan waktu lama baginya untuk menemukan desa Rantau Panjang, hanya berbelok mengitari beberapa blok lalu ingatan menuntun kami ke Rantau Panjang.
Mesin motor dimatikan , kami memilih berjalan kaki memasuki gang berkelok di antara rumah kayu. Isna mengajak saya memasuki salah satu rumah tua paling besar. Tak banyak berkisah ia memperkenalkan saya kepada pemiliknya.

Iskandar AG (55), pria paruh baya generasi ke 14 pemilik kajalangko tertua dusun Rantau Panjang menyambut. Kami dipersilakan duduk bersila di ruang tengah setelah melewati Pintu Gadang dan Pintu Kecil.
Rumah tua Rantau Panjang memiliki dua buah pintu, Pintu Gadang dan Pintu Kecil. Karena tidak terlalu tinggi, mau tidak mau tamu harus menunduk ketika melintasi pintu ini. Merupakan bentuk penghormatan kepada pemilik rumah. Sesuai dengan pepatah setempat, datang tampak muka pulang tampak punggung.

Rumah warisan yang kini sudah berfungsi menjadi museum , sudah ada sejak tahun 1333. Hal ini dibuktikan dengan uji karbon tahun 1996 yang menyatakan contoh kayu bendul rumah berumur 663 tahun. Pada awalnya hanya ada 19 rumah di dusun ini. Sekarang sudah ada 80 rumah tradisional yang ditempati oleh 140 kepala keluarga. Oleh karena itu masyarakat Rantau Panjang dikenal sebagai orang 19.
Abad ke 14 oleh raja Adityawarman bin Maulawarman memindahkan kerajaan Melayu Lama ke Pagaruyung . Alasannya tidak tahan dengan serangan dari pihak luar terutama dari Datuk Baremban Besi dan Tantalanai (terkenal dengan sebutan raja jin) yang berniat mengawini Putri Selaro Pinang Masak. Penduduk atau orang-orang besar yang tidak mau pindah ke Pagaruyung, pindah ke ke arah ulu sungai Tabir, untuk membuat kerajaan baru. Mereka menyebar ke berbagai wilayah dengan sebaran sebagai berikut:
- Dusun Rantau Panjang dipimpin oleh Depati Bungkuk (Datuk Syamsu Maharaja), dulu dusun Tuo sekarang menjadi Rantau Panjang sebanyak 19 kepala keluarga.
- Dusun Seling di pimpin oleh Datuk Guci, sebanyak 14 kepala keluarga.
- Dusun Kapok, dipimpin oleh Tuan Putri Pembarap sebanyak 9 kepala keluarga.
- Dusun Pulau Aro, dipimpin oleh Datuk Menaho Lebih sebanyak 13 kepala keluarga.
- Dusun Muara Jernih, dipimpin oleh Datuk Pemuncak sebanyak 5 kepala keluarga.
Jumlah 60 kepala keluarga dikenal juga dengan sebutan 60 segalo Batin.
Hukum dan Adat Istiadat
Iskandar berkisah sejak generasi ke delapan , warga Rantau Panjang mengikuti sistem pemerintahan dan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dulunya mereka menganut sistem pemerintah dipati dengan hukum berlandaskan musyawarah mufakat. Untuk mencapai mufakat minimal disetujui oleh dua dusun sebagai batas minimal kuorum.
Menganut sistem kekerabatan matrilinial – garis keturunan ibu – hak waris rumah akan jatuh ke anak perempuan. Namun sebelum mampu mengurus rumah tangga , orangtua akan mendampingi selama setahun. Jika dirasa sudah mampu, maka orang tua akan pindah rumah. Saatnya anak perempuan dengan suaminya mengurus rumah pusako.

Tiang penyangga di tengah ruangan tak dirimbas sempurnah , menyisakan garisan panjang bagai ukiran abstrak. Dua tanduk kerbau tergantung bagai pajangan. Namun ini sebuah kenangan sekaligus peringatan. Di masa silam seorang lelaki yang berniat berzinah , menggoda istri orang diharuskan membayar satu setengah kerbau. Jadilah kerbau betina yang sedang hamil tua dikorbankan di atas bendul.
Ada juga kisah lain , lelaki yang membunuh orang. Setelah menjalani hukuman dan denda menyembelih kerbau jantan. Maka sang lelaki wajib mensucikan tempat terjadinya pembunuhan. Agar tidak timbul dendam dikemudian hari , maka mengikat tali kekerabatan dengan keluarga korban. Dengan simbolis nasi kunyit dan ayam panggang.
Arsitektur
Tak ada paku yang mampu menembus pilar kayu kelat medang. Hanya pasak kayu yang digunakan untuk menautkan kayu ke pelantar. Dulunya bagian atas rumaah ditutup dengan ijuk , namun karena ijuk sulit didapat sekarang digantikan dengan seng.
Pilar rumah tak langsung menghujam ke dalam bumi, ia di landaskan pada batu besar berbentuk kubik. Kata sang empunya , fungsi batu-batu itu untuk meredam jika rumah digoyang bumi atau gempa.
Secara geografis lokasi Rantau Panjang tak jauh dengan gunung Kerinci. Jika gunung vulkanik tertinggi di Sumatra itu batuk maka getarannnya akan mengguncang Rantau Panjang.
Waktu sehari rasanya tak akan cukup mengulik keunikan desa Rantau Panjang. Ketika matahari tepat di atas kepala saya dan Isna meminta ijin untuk berkeliling kampung.
Tepat di belakang desa terdapat makam-makam tua bernisan batu. Meski tak beraura mistis saya memilih untuk keluar dari komplek pemakaman menuju sungai kecil.
Sungai ini memang tak sederas dulu. Tahukah kamu mengapa desa ini dinamakan rantau panjang? Rantau dalam bahasa setempat adalah jeram. Dulunya sungai di sini memiliki jeram-jeram yang panjang. Namun seiring dengan pendangkalan sungai dan musim kemarau. Jeram tak tampak lagi, hanya sungai berwarna kecoklatan.
Rasa penasaran saya masih membuncah tapi saya haru kembali ke Bangko sebelum sore harian . Isna bilang jika saya menuntaskan semua kisah Rantau Panjang maka saya tak akan ingin kembali ke Jambi lagi. Jadi kita sisakan saja kisah hari ini biar ada kisah esok hari yang lebih seru.
Saya memang bukan penghobi sejarah dan budaya. Namun akhirnya perjalanan demi perjalanan mengantar pada kisah peradaban manusia . Rasanya akan sia-sia jika tak menyelami semuanya . Melalui obrolan santai bersama penduduk lokal, sejarah menjadi begitu ringan dan seru.
Hari ini saya duduk takjub mendengar beragam kisah dari mulut Pak Iskandar. Mungkin esok saya akan tertegun membuka lembar demi lembar jejak goresan masa lalu di atas daun lontar.
Jika kali Isna sukses mengajak saya merantau ke Rantau Panjang. Esok kamu akan mengajak saya kemana lagi. Jangan bilang ke pelaminan ya. Berat itu Dek…. 😀
di Aceh ada juga daerah yang bernama rantau panjang, kak danan. sekilas beberPa arsitektur rumah di sana mirip rumah aceh ya
SukaSuka
jangan jangan ada hubungan ya dengan yang di jambi. travelling tuh lama lama seperti arkeologi , menemukan jejak masa lalu lalu mulai merangkai dengan analisa
SukaSuka
Mungkin itu sebabnya ya wajah orang Jambi mirip2 chinese. Ternyata memang ada akarnya
SukaSuka
Dan wajah anak bungsu pak Iskandar pun rada rada chinese 😁
SukaSuka
Jadi, wanita Rantau Panjang itu mengantarkan kalian apa gimana? Keputus tuh kk Danan 😉
SukaSuka
Dia hanya menunjukkan KAK
SukaSuka
benar kata liza, fixed ini mah, filosofi pintu rumah rantau panjang sama dengan filosofi pintu rumah aceh. teknik pembangunannya juga sama. tanpa menggunakan paku. selain karena kayunya keras, sebenarnya teknik ini sebagai Anti Gempa bang. sekuat apapun gempanya, (di aceh sampai 9 sr alhamdulillah amn dan tidak rubuh)
perihal lainnya adalah, kesamaan dalam segi melayu kali bang, rasa2nya sama membaca cerita tersebut seperti saya membaca cerita2 di aceh 😀
SukaSuka
Saya sangat suka wisata sejarah kayak gini, apalagi jika masih ada jejak-jejaknya yang masih dijaga. Berkelana di wisata sejarah mengantarkan pada wawasan peradaban manusia. Pengen juga dong ditemani jalan-jalan sama Mas Isna 😀
SukaSuka
aku bakalan suka sekali kalau diajak mampir ke sini…
rumah2 adat selalu menarik perhatian, mudah2an bisa sampai ke Jambi suatu saat nanti
SukaSuka
wah, ada fotoku disitu hehehe… makasih om Danan.. ralat dikit, yg keturunan ke-14 dari Puyang Bungkuk bukan pak Iskandar, tp istrinya yg bernama Darmis karena suku Batin menganut falsafah keturunan ibu, sama kayak Kerinci, Penghulu, Suku Rimba n Minangkabau
SukaSuka
okeh om terimakasih …. 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
adat istiadatnya masih kental ya, cool!
Adis takdos
travel comedy blogger
http://www.whateverbackpacker.com
SukaSuka
Di Indoensia banyak banget tempat tempat kaya gini , makanya musti bangga dengan negeri ini
SukaSuka
Jadi kamu demen nya yang pake baju kurung gitu yaaa kak ???
SukaSuka
Aku yg pake kutang emas kak
SukaSuka
Keren ini tempat !
SukaSuka
Banget dan sehari ngga cukup
SukaSuka
Ternyata banyak tempat menarik juga di Jambi, ini aja baru Rantau Panjang
Terima kasih sharing ceritanya mas Danan
SukaSuka
Jambi ternyata sungguh luar biasa wisatanya. semoga suatu saat bisa berwisata kesana juga.
SukaDisukai oleh 1 orang
Di Malaysia juga ada pekan bernama Rantau Panjang di sempadan Malaysia – Thailand. Sempadannya Sungai Golok yang cukup panjang & bila diketahui rantau bermaksud “jeram,” ada benarnya pekan itu dinamakan Rantau Panjang juga.
SukaSuka
Wah jadi ingin ke rantau panjang Malaysia
SukaDisukai oleh 1 orang
Wah.. iseng2 cari suku batin rantau panjang, nemu tulisan bagus. Terima kasih ya Mas Danan, sudah menuliskan tentang ini. Saya aja yang dari Tabir (salah satu dari desa yang 5) belum sempat menuiskannya. Hanya berakhir di alam rencana.. 😉
SukaSuka
salam kenal, tulisan lama ini waktu saya tinggal di Jambi, terimakasih sudah membaca semoga bermanfaat
SukaSuka