14 Februari 2014 – Bagi mereka yang jomblo , tidak ada yang lebih kelabu dibandingkan menyaksikan pasangan mesra merah jambu. Namun bagi saya , kelabu itu menyaksikan langit abu-abu ketika menjejakan kaki di Pekanbaru.
“Perjalanan menjelajah Sumatra tidak akan luar biasa tanpa langit biru”, bergumam sembari menggenggam kamera.
Kabut asap di Jambi, tempat saya bekerja , tidak sepekat ini. Bayangkan jarak pandang tidak sampai 100 meter, sepanjang hari langit bagaikan senja. Matahari hanya menyisakan rona bulat jingga, sinarnya tak berpendar sama sekali.
Belum lagi rasa sesak di dada hingga ke paru-paru, jika terlalu sering terpapar dapat menimbulkan ISPA . Tidak mengherankan Pekanbaru seperti kota mati, orang enggan keluar jika tidak ada keperluan. Terkadang jika particulate matter menunjukan angka berbahaya, sekolah diliburkan. Beberapa tahun lalu, cabang kantor saya di Pekanbaru mengevakuasi seluruh karyawan dan keluarganya ke kota Padang.

Show Must Go On. Tidak seharusnya penjelajah gentar dengan faktor x di lapangan. Situasi tidak terduga seperti ini dapat saja terjadi. Baiklah, tanpa mengurangi esensi perjalanan , saya bersama Tim Avanzanation menjelajah kota Pekanbaru yang terkenal dengan landmark dan kulinernya.
Kopi Kimteng menjadi awal yang bagus untuk menyemangati diri anggota tim. Mari menyecap secangkir kopi sebelum menuju Perpustakaan Wilayah Soeman H.S. Bangunan berlantai enam menjulang, arsitekturnya terinspirasi dari alas Al Qur’an. Dindingnya dipenuhi relief ukiran khas Melayu dan informasi bangunan.
Ingin mengulik Melayu disinilah tempatnya, sejumlah literatur yang terkait dengan sastra Melayu ditempatkan dalam satu bilik. Meski hanya sekilas , saya langsung jatuh cinta dengan perpustakaan ini. Dimana tempat , para fakir wifi duduk santai sambil menarik kabel rol panjang.

Menapaki kawasan Stadion Utama Riau yang dibangun khusus untuk PON XVIII, kabut asap semakin pekat. Meski keindahan bangunan yang mampu menampung 44.000 penonton tidak maksimal. kami tetap mengabadikan momen perjalanan.
Jelang malam kami menuju Mal Ska untuk acara pelepasan sebelum esok pagi melanjutkan perjalanan menuju Sumatra Barat. Kabut asap menipis, orang-orang tak segan keluar memenuhi lapangan mall.

Bukan angin yang membawa kami ke ranah minang tapi niatan kuat menjalah bumi Andalas. Kelok sembilan menggugurkan keangkuhan bukit barisan yang memisahkan propinsi Sumatra Barat dan Riau. Dulu orang harus bersusah payah melalui daerah berkontur ekstrim. Kini kami dihibur dengan perjalanan dan pemandangan luar biasa.
Jalan sepanjang 2,5 km berkelok hilir mudik di antara tebing dengan tiang penyangga setinggi 58 meter. Ketika mobil menyusuri jembatan dengan sembilan kelokan, rasanya seperti naik jet coaster di atas naga raksasa.

Sumatra Barat tersambangi ketika roda Avanza melintas lembah Arau. Tapi sayang keindahan tebing dan sawah, terlihat samar bagai lukisan tersapu cat warna abu-abu. Kabut asap memang kejam, mereka yang tak berdosa ikut merasakan dampaknya.
“Kiriman dari Riau nih!”
Teman, jangan buru-buru menyalahkan Riau Sebetulnya aktivitas pembakaran lahan terjadi di seluruh wilayah nusantara. Karena inilah cara paling mudah dan murah membersihkan lahan dari tanaman atau gulma yang tak berguna.
Apesnya , Riau memiliki tanah gambut. Apa hubungannya tanah gambut dengan kabut asap. Baiklah akan saya coba jelaskan *sotoy bener gue*. Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang membusuk. Melalui proses anaerob sisa-sisa renik berubah menjadi materi dengan kandungan mineral tinggi, merupakan proses awal pembentukan batubara. Jadi tidak mengherankan gambut mengandung unsur karbon seperti batubara , jika terbakar sulit padam.
Meski sudah dipadamkan , bagian bawah tanah gambut tetap menyimpan bara api. Jadi jangan pernah mengatakan bahwa pulau Sumatra satu-satunya penghasil kabut asap. Kalimantan dengan 5,7 juta hektar lahan gambut berpotensi menyebarkan kabut asap, jika tanah gambut terbakar.
Ketika sawit menjadi komoditas primadona, siapa yang mampu menghalangi orang membuka lahan perkebunan baru. Cara paling mudah membakar hutan. Dan mereka (baca : oknum) tidak pernah berhitung , kerugian besar dengan membuka lahan dengan cara yang tidak bertanggung jawab.

Maafkan jika artikel ini semakin berat . Mari kembali ke jelajah bumi Andalas. Ternyata Bukittinggi tak kalah abu-abu dibandingkan Payakumbuh. Bagaimana Sawah Lunto? Meski tak sampai di kota batubara itu , seorang rekan mengabarkan berita, nasibnya tak jauh berbeda.


Beruntung kota Padang cerah gemilang, langitnya biru. Menyusuri kawasan Pecinaan kota Padang , berduyun-duyun memarkir mobil di atas jembatan Siti Nurbaya yang tersohor. Tergoda keindahan kabupaten Pesisir Selatan kamipun melaju menyongsong matahari terbenam di Bukit Langkisau.



Keesokan harinya, hampir seharian penuh melalui perjalanan menuju Jambi. Tak ada pemandangan indah, kebanyakan perkebunan sawit. Namun memaknai sebuah perjalanan, tak hanya mengejar kesempurnaan, apalagi keindahan. Terlihat pemukiman dengan jarak rumah jauh , satu dengan yang lain. Sudah dapat dipastikan daerah transmigrasi.
Kesuksesan perantau Jawa di Jambi menjadi petani kebun sawit, semakin menggoda orang membuka lahan perkebunan baru. Baik perserorangan maupun sekala besar. Pernah satu waktu , saya satu pesawat dengan investor negara tetangga (detailnya bisa japri) berniat membeli lahan sawit di Jambi. Ternyata cukup banyak orang asing menanamkan modal di Jambi, bermain di industri CPO. Manisnya sawit memang menggoda, tapi tak banyak yang mau tahu dengan kisah pahit getir di belakangnya.
Jika tiba-tiba , kabut asap menyambangi negeri mereka. Mungkin saja, itu berasal dari lahan yang mereka usahkan menjadi kebun sawit. Tapi tetap, kita sebagai tuan rumah yang disalahkan. Terutama pemangku kebijakan , yang konon tidak terlalu bijak.



Sesampai di Tanah Pilih Pesako Betuah, disambut kembali dengan kabut asap. Sungai Batanghari bagai dilingkupi mendung tak berujung. Dari pagi hingga senja, kelabu menyapa sungai terbesar Sumatra.
“Jangankan kabut asap, hujan sewindu pun kami tetap semangat”, celoteh tim dalan logat Melayu.
Akhirnya saya harus berpisah dengan mereka yang tak gentar di jalanan. Saya hanya separuh jalan saja, maklum kuli yang tak memiliki banyak waktu bertamasya. Jabat erat perpisahan tak akan melupakan journey sepekan melintasi tiga propinsi. Terguncang , menikmati setiap lubang di jalanan, hingga hampir keok , melintasi tebing terjal berundak.
Journey tak akan indah jika selalu mengeluh. Karena sesungguhnya ketidaksempurnaan perjalanan akan menyempurnakan pengalaman hidupmu.
~Tim Sumatera Avanzanation Journey 2014~
Tulisan di atas merupakan posting bersama blogger Batam. Bentuk keprihatinan atas kabut asap yang melingkupi Sumatra, Kalimantan , Malaysia dan Singapura. Simak tulisan lainnya di sini:
Memang kalau lagi ada “maunya” gak ada yang permasalahkan ya. *hiks*
Asik juga sih perjalanannya walau ada masalah asap.
SukaSuka
Tapi sebagai pejalan kita harus siap menghadapi segala kemungkinan di perjalanan
SukaDisukai oleh 1 orang
nggak kalimantan, nggak sumatera, semuanya dikepung kabut asap ya 😦
SukaSuka