5 September 2015 . “Dima Bumi Dipijak Disinan Langik Dijunjung” (Dimana Bumi Dipijak Disitu Langit Dijunjung)
Kutipan falsafah hidup menghiasi sampul depan pamflet Marantau 2015 , program Taman Warisan Melayu Singapur yang digagas komunitas Persatuan Minangkabau Singapura. Bertujuan mengajak masyarakat untuk lebih mengenal budaya Minang di Kampong Gelam , berlangsung dari tanggal 17 Mei hingga 13 September 2015.
Setiap akhir pekan, selama empat bulan penuh, wisatawan dan warga Singapura dapat menyaksikan pagelaran seni,worskhop dan arena kuliner di komplek TWM (Taman Warisan Budaya).

Melengkapi “Marantau 2015” , dua ruang pamer TWM dikhususkan untuk memajang 60 koleksi benda seni yang merupakan sumbangan masyarakat seperti : songket berbenang emas dan beragam jenis perkakas rumah tangga. Nantinya satu ruang pamer yang memuat koleksi pakaian , akan terus diperbaharui setiap bulannya.

Ornamen tiga warna : merah , kuning dan hitam memenuhi segala penjuru halaman TWM. Mungkin banyak yang berpikir, apakah akan ada pertandingan sepak bola melawan Jerman? Bukan. Masing-masing warna melambangkan tiga wilayah adat Minangkabau : Luhak Agam, Luhak Tanahdatar dan Luhak Limopuluah Koto.
Tak banyak yang tahu kalau taman budaya yang diresmikan oleh Perdana Menteri Lee Hsien Long September 2012. Konsisten mengusung atraksi budaya yang berakar pada budaya Melayu. Tahun lalu saya terpesona dengan atraksi kuda lumping di halaman museum dan orkes keroncong.
Mereka yang berpikiran sempit pasti akan berpikir, negara mungil di semenanjung Johor akan mengklaim budaya nusantara . Budaya bukan milik negera , tapi milik manusia yang masih menghargai budi dan akalnya melalui karya seni. Jika ada orang Singapura berdarah Jawa tetap nembang, bukan berarti budaya nusantara dicuri.

Kembali ke Marantau 2015. Ruangan auditorium TWM masih lengang , pengunjung workshop dapat di hitung dengan jari, namun wajah Sang Bundo Kanduang tetap berbinar dan tutur katanya bersahaja.
Puti Reno Raudhatul Jannah Thaib, bukanlah profesor di bidang sosiologi atau budayawan. Wanita yang biasa dikenal dengan nama pena Upita Agustin seorang profesor ahli benih pertanian. Sosoknya mengingatkan saya akan tokoh Amel di novel triologi Tere Liye bertajuk Anak Mamak.
Di balik sosoknya yang sederhana ternyata Raudah merupakan ahli waris ke 33 kerajaan Pagaruyung. Kerajaan dimasa keemasannya memiliki wilayah adminisitrasi Sumatra Barat. Dan kedaulatan diakui di nusantara maupun luar negeri, seperti Malaysia, Filipina, Brunei, dan Thailand.
Dalam sistem kekerabatan Minangkabau , garis keturuan dan harta pusaka jatuh ke tangan perempuan. Dalam sistem itulah melekat peran perempuan sebagai bundo kanduang. Sosok bundo kanduang melambangkan kepemimpinan oleh ibu yang penuh wibawa, arif bijaksana, dan suri teladan.
“Dalam budaya Minang, keputusan tertinggi dipegang perempuan bundo kanduang. lbarat sebuah perusahaan bisa diandaikan owner-nya perempuan, direkturnya laki-laki. Kedudukan itu membuat perempuan harus kuat. Di sisi lain, sistem masyarakat Minang meletakkan posisi perempuan dan laki-laki seimbang, seperti dua sisi mata uang. Bukan mitra sejajar yang tidak pernah bertemu di ujungnya. “, urai Raudha ketika menjawab pertanyaan kesetaraan gender oleh peserta workshop.
Diskusi budaya matrilineal semakin menghangat. Benang merah yang dapat saya tarik, bahwa sejauh apapun orang Minang merantau mereka akan tetap “pulang”. Jika fisik tak mampu sampai di kampung halaman, hati mereka tetap berteguh pada akar budaya leluhur.

Usai menunaikan shalat Maghrib di masjid Sultan, kaki kembali melangkah menuju auditorium. Aroma “minang” terasa, beberapa pengunjung dalam dialek kental saling menyapa. Mungkin hanya saya berdarah Jawa.
Seiring kumandang gendang dan rebana penampil Giring Giring Bambu jalan berderap memasuki panggung. Dengan apik pembawa acara mengisahkan ragam seni budaya bertajuk Tari Sumarak Rumah Gadang.

Empat wanita bersuara merdu berdendang dalam harmonisa tangga nada rendah hingga tinggi, sesekali meliukan nada dalam cengkok berirama Melayu. Musik memang universal sesekali , alunan Minang berpadu dengan kecapi, dalam seni nada bertajuk Tigo Nan Ciek. Seorang penonton sempat berseloroh. “Mirip musuk sunda ya?”

Silih berganti tarian lemah gemulai hingga trengginas menghibur. Menari itu bagai aktor berganti rupa di panggung, sekali mereka menjadi gadis lemah gemulai. Saat lainnya menjadi sosok penuh aksi laga dalam balutan gerak pencak silat.
Aura mistis terurai, dengan hikmad wanita meniup saluang. Bulu kuduk saya berdiri seketika, terasa nuansa magis. Berlahan terbayang ranah Minang dengan sawah ladang menghijau mengguncang kalbu. Ada kerinduan di sana, tentang kampung halaman dan rumah gadang.


Pentas spektakuler ditutup dengan tarian komedi. Rombongan nenek-nenek dalam gerak konyol mengundang tawa berinteraksi dengan penonton di depan panggung.
Dua jam saja, tak terasa waktu bergulir . Sayapun tersenyum menyecap nuansa Minangkabau di negeri tetangga. Sebuah ironi terujar, “Haruskah jauh-jauh kemari untuk menyaksikan kekayaan negeri sendiri?”


aku pernah ke sekolah ISI padangpanjang itu lihat mereka latihan keren
SukaSuka
Pengen lho kesana… Eh akas di batam ketemu guru lulusan isi padangpnjang
SukaSuka
tp u malah lihat pertunjuaknnya di Sing
SukaSuka
Ongkosnya lebih mahal di padang panjang
SukaSuka
Kak … aku siap merantau kehatimu 🙂
jadi kangen singapore nich dah lama banget ngak kesana, kak danan enak yaaa bolak balik mulu
SukaSuka
Ya murah kak , 300 dah pp lebih murah daropada ke jkt. Kalau beli karcis terusan sebulan bisa jauh lebih murah. Tapi aku blm siap ngantor berangkat dari singapur takut dibilang congkak
SukaSuka
Bangga dan merinding lihat negara tetangga malah bikin tempat khusus untuk budaya Minangkabau. Btw naksir piring-piring kuningan ( atau mungkin emas ) di ruang pamer Marantau nya, om. Pingin bawa pulang deh hahaha
SukaSuka
hanya aku yg mas mas … mau bawa pulang aku? makannya banyak lho…
di taman warisan budaya selama bulan suro biasanya banyak pagelaran seni jawa.
di Kuala Lumpur katanya ada museum Kerinci..
SukaSuka
Ahaiiii…yg dari kerinci itu tarian sike rebana 🙂
SukaSuka
Mrk bilang yuk kerinci… Lgsg kangenkerinci dah
SukaSuka
Yuuuuk……. biarpun kostumnya sgt jauh dr kostum tarian khas kerinci 🙂
SukaSuka
Ah! Kerennya… saya yang berdarah minang saja belum sempat belajar tetarian minang.
Setuju dengan kata-kata bung, “Budaya bukan milik negera , tapi milik manusia yang masih menghargai budi dan akalnya melalui karya seni.”
SukaSuka
aku juga belum pernah belajar tari minang tapi suka semua budayanya terutama kulinernya
SukaSuka
minangkabau gokil…. keren abis. budaya nusantara memang tak ada habisnya!!
SukaSuka
keren banget sih. Aku sangat terpesona dg keindahan alam dan kearifan lokal orang minang
SukaSuka
Pertunjukan yang luar biasa.. Kebayang rindunya akan kampung halaman karena saya jugaaa.. Selalu berbeda melihat ini semua saat berada jauh dati tanah air..
SukaSuka
Banget mbak, makanya aku respek bgt kalau ada pertunjukan gini
SukaSuka
waow, belajar minangkabau di negeri singapur. walaupun begitu jejak sejarah minangkabau tetap di indonesia. rumah adat minangkabau ada di singapur?
SukaSuka
ngga ada tapi mereka bikin kaya event marantau selama dua bulan, tiap minggu ada seminar, pertunjukan budaya sampai pameran benda pusako.
SukaSuka
saya ga nyangka dan bangga budaya minang bisa sampai ke singapura. apalagi saya berasal dari suku minang 🙂
SukaSuka
Di Singapura banyak orang Minang dan budaya minangnya sangat terjaga
SukaSuka
gila kerenn banget budaya Indonesia bisa dibawakan di negeri orang
SukaSuka
dan aku sedihnya kenapa ya baru lihat yang kaya gini di negeri orang
SukaSuka
Memyentuh banget yah jika budaya kita mendapat tempat di negeri orang
SukaSuka
bangga lho kak walau saya bukan orang minang tapi budaya negeri sendiri begitu dihargai di sni
SukaSuka
Memyentuh banget yah jika budaya kita mendapat tempat di negeri orang
SukaSuka