Sayap garuda membentang lebar , melayang bebas di angkasa membumbungkan angan yang tersisa tentang pulang.
“Maaf Bu off duty kali ini saya tidak pulang ke rumah.” Sejujurnya tak sanggup mengatakan kalimat ini . Namun akhirnya terujar tanpa jeda. Karena kemanapun kaki ini melangkah harus meminta doa dan restunya.
“Kamu jalan-jalan kemana lagi Le?” Pertanyaaan yang sama mengalun lembut tanpa emosi dan penuh keiklasan. Beliau sadar meski dilarang saya akan tetap pergi. Jadi sesungguhnya tak ada pilihan baginya selain melapangkan hati.
“Madura, Jawa Timur.”
“Hati-hati.” Sekali lagi doa ibu mengantar langkah saya pergi.
Garuda Indonesia di Bandara Sentani
Tidak pernah membayangkan perjalanan ini sebelumnya, memenuhi undangan Cultural Trip. Rencananya kami akan mengunjungi beberapa tempat wisata di Sumenep.
Meski ayah berasal dari Jogjakarta dan ibu dari Jawa Timur. Saya tidak mengenal akar budaya kedua orang tua dengan baik. Lahir dan besar di tanah Sumatra, saya selalu mengaku orang Sumatra. Tepatnya pujakusuma, putra Jawa kelahiran Sumatra.
Sejak berpuluh tahun kerabat ayah dan ibu di Jawa turut merantau ke Sumatra meninggalkan tanah leluhur kami. Lalu lambat laun ritual mudik berubah, dari kota-kota di pulau Jawa , kini lebih sering menuju Jakarta atau Lampung, rumah orang tua saya.
Pernah ada keinginan untuk melakukan napak tilas kehidupan kedua orang tua yang lahir dan pernah tinggal di tanah Jawa. Tapi godaan perjalanan ekstrim menjelajah rimba Sumatra mengubur destinasi impian.

Getaran ringan roda sang garuda menyentuh landasan bandara Juanda membuayarkan lamunan. Pendaratan manis maskapai dengan kenyamanan kelas dunia. Sejak 15 menit lalu pramugari telah mengumumkan pendaratan penerbangan GA 304 Jakarta-Surabaya. Tapi saya masih terbuai dalam lamunan panjang tentang pulang dan tanah leluhur.
“Bu, saya sudah sampai di Surabaya, alhamdulilah penerbangannya nyaman .”
“Sukur Le.” Suara Ibu terdengar jauh tapi selalu terasa dekat. Beliau sempat mengungkapkan kerinduannya akan tanah Jawa. Mengisahkan kenangan masa kecil bersama teman-temannya, Mbah Kakung dan Eyang Putri yang tak pernah saya jumpai karena mereka telah berpulang sebelum saya lahir.
“Bu suatu hari kita akan ke tanah Jawa bersama ke makam mereka.” Lirih hati saya berjanji.
Ikon Pulau Garam
Setelaha tiga jam perjalanan darat sampai di jembatan Suramadu yang menghubungkan pulau Jawa dan Madura. Ternyata jembatan sepanjang 5.438 meter memiliki panjang dua kali lipat Golden Gate di San Fransisco.

Niat menikmati lezatnya Bebek Sinjai dan sambal mangga pedas yang tersohor gagal, karena warung ikon kuliner Madura tutup di hari Jumat. Sebagai gantinya Bebek Songkem Pak Soleh asal Sampang menjadi menu makan siang.
-
Seporsi Bebek Songkem lengkap dengan nasi putih, sambal mangga, dan lalapan
Kuliner ini awalnya merupakan panganan hantaran ketika mengunjungi orang yang dituakan seperti Kyai. Sebelum digoreng, daging bebek dilumuri bumbu rempah dan dibungkus daun sebelum dikukus selama dua jam. Selain rasanya lezat, memasak dengan cara ini diyakini dapat menurunkan kadar kolesterol pada daging bebek.
Batik Gentongan Tanjung Bumi
Bagi pecinta batik tidaklah sulit mengidentifikasi asal kain mori bermalam karena setiap daerah memiliki kekhasan motif. Seperti batik Madura pada umumnya, batik asal Tanjung Bumi menggunakan warna-warna berani, seperti merah, biru , kuning dan ungu.



Keunikan batik Tanjung Bumi terletak pada proses pewarnaannya. Karena setelah dilorot – tahap peluruhan malam – kain batik direndam dalam gentong berisi nilon atau indigofera agar warnanya semakin cerah.


Untuk menarik penjual terkadang bumbui kisah mistis dibalik pembuatan Batik Gentongan. Pak Alim pemilik Zulfah Batik Madura Galery meyakinkan bahwa keindahan Tanjung Bumi lahir dari tangan terampil bukan dari ritual klenik.
Wayang Topeng Tengah Sawah
Siapa sangka pak Bram dari Gelar Cultural Trip mengajak saya melihat pertunjukan Wayang Topeng Madura di tengah sawah. Tepatnya di desa Bunbarat, kecamatan Rubaru , Kabupaten Sumenep.

Sebelum pertunjukan dimulai kami menyelinap ke belakang panggung, menjumpai Pak Merto pemimpin grup Wayang Topeng Rukun Perawas. Melihat pria paruh baya yang juga putra Maestro Topeng Madura , Suparkah mempersiapkan pertunjukan bersama anak didiknya.
Gemerincing suara gonseng (gelang kaki) seirama dengan musik karawitan. Dua pria membawa cermin dan keris kecil melangkah keluar dari balik panggung menari berpasangan. Tari Gambuh Tameng dijadikan pembuka dalam adegan Wayang Topeng Madura.

Babak demi babak berlanjut berkisah tentang kehidupan sarat makna filosofi. Meski wayang topeng bukan ayangan (bayangan) di geber (layar) tetap mengandung sanepan yang menghibur. Meski kini keberadaannya nyaris tergilas jaman, bersaing dengan hiburan moderen.
Keraton Sumenep, Dinasti Timur Madura
Bersama sejarahwan Madura, Tadjul Arifien R menyusuri lorong waktu di komplek keraton. Kami dituntun memasuki kawasan Gedong Koneng yang merupakan ruang kerja Raja Sultan Abdurrahman.


Tanpa lelah pria paruh baya ini berjalan mengelilingi komplek keraton. Tepat di belakang Gedong Koneng kami berhenti sejenak di Keraton Tirtonegoro , bangunan yang difungsikan sebagai rumah penyepen Bindara Saod.
Di sebelah selatan Pendopo Agung berdiri taman indah tempat pemandian putri-putri raja. Taman Sare memiliki tiga buah kolam, konon masing-masing memiliki khasiat seperti mendekatkan jodoh, mendatangkan dan meningkatkan keimanan.



Penjelasan Pak Arifien selama tur membuat saya ingin mengulik buku karangan beliau bertajuk Sumenep Dalam Sejarah. Mengurai penasaran akan dinasti raja di timur pulau Madura.
Masjid Jamik Alkuturasi
Dekat alun-alun beridiri megah masjid yang memadukan budaya budaya Arab China , Madura dan Eropa. Warna kuning dan hijau mendominasi pintu gerbang masjid. Setiap warna dan bentuk ornamen memiliki makna.

Dua lubang tanpa penutup diibaratkan mata yang sedang melihat. Tepat di atasnya terdapat ornamen segilima memanjang ke atas gambaran manusia yang sedang duduk rapih menghadap kiblat menghadap sebuah pintu masjid. Mengisyratkan bahwa bila keluar masuk masjid harus memakai tata krama . Tidak memisahkan dua orang jamaah masjid yang sedang duduk bersama dan imam keluar masuk mimbar tidak melangkahi leher seseorang.

Memasuki masjid bersejarah di Sumenep makin terkagum. Masjid sarat makna dan filosofi dibangun oleh Lauw Piango arsitek asal Cina di era kepemimpinan Raja Sultan Abdurahman.
Keris Aeng Tong Tong
Keris bertahtakan emas , berlian dan bergagang gading dihamparkan di atas kain putih.
“Bukan tampilan luar yang membuat keris bernilai tinggi. Tapi ada tiga unsur yang harus terpenuhi yaitu, dhapur, tangguh dan bilah,”Urai Faturrahman pakar keris asal Aeng Tong Tong Madura.
Dhapur adalah bentuk keris yang menggambarkan identitas dari daerah mana berasal. Tangguh adalah umur keris, biasanya dilihat dari modelnya, seperti fashion model keris menggambarkan era tertentu. Bilah adalah kualitas keris terdiri dari material dan tingkat kerumitan keris dibuat , juga menggambarkan kepiawaian sang Empu yang membuat.
Penasaran saya semakin membuncah melihat, alur pamor di permukaan keris. Kemampuan teknik metalurgi memadu padankan logam diperlukan untuk membuat pamor unik dan keris yang kuat serta tajam.
Keris tidak hanya benda tajam namun merupakan karya seni yang lahir dari ilmu pengetahuan dan teknologi . Sebagai orang Jawa malu rasanya tidak mengenal identitas seni tempa besi.
Bonus Perjalanan
Saat perjalanan pulang menuju Surabaya Pak Bram mendapat kabar bahwa di desa Petiken , Pamekasan sedang berlangsung Petik Laut. Tanpa ragu kami membelokan kendaraan untuk melihat persiapan larung sesaji.
Sesaji baru akan dilarung esok tapi kesibukan persiapan Petik Laut sudah terlihat di desa Petiken, kecamatan Pademewu, Madura. Petik laut merupakan acara larung sesaji sebagai bentuk rasa syukur atas berkah , rejeki dan keselamatan. Tradisi masyarakat nelayan yang sudah berlangsung ratusan tahun.
-
perahu hias yang akan membawa sesaji di Petik Laut
“Kalau tak ada acara ini nelayan tak kumpul-kumpul, mereka terus melaut “, tutur Haji Ibnu (47) kepala desa Petiken. Menegaskan acara ini juga sebagai wadah bersosialisasi warganya.


Tiga puluh perahu pengiring gitik – perahu kecil tempat sesaji – bersolek di pesisir. Warga bahu-membahu menghias kapal, memasang bendera pada tali penopang layar. Lambung dan buritan dicat warna terang dengan ornamen khas Madura. Selain kepala kerbau dan kambing, gitik akan dilarung bersama 41 macam jenis buah-buahan.
Sore hari kembali Sang Garuda kembali membawa kami ke Jakarta. Semua peserta Cultural Trip Madura terlelap dalam senyum. Tidak pernah menduga perjalanan akan seseru ini.
“Le kamu sudah sampai Jakarta. Tidak langsung pulang ke Lampung?”
“Tidak Bu esok pagi langsung ke Jambi. Ada pekerjaan yang sudah menanti.”
“Baiklah . Hati-hati yo Le.” Sekali lagi Ibu menaburkan doa keselamatan. Ada rasa bersalah tak bisa menjumpai dirinya.
Waktu menunjukan pukul 20:00 WIB. Kesibukan terminal 2 bandara Soekarno-Hatta belum redup. Saya duduk menyendiri di salah satu kafe, membayangkan perjalanan luar biasa beberapa hari ini.
Saya memang tidak pulang rumah , tapi saya punya kisah luar biasa. Kembali mengenal budaya leluhur yang hampir terlupa. Tak kuasa rasanya untuk bertemu dengan Ibu berbagi cerita.
Telepon selular saya keluarkan dari balik saku baju.
“Bu , saya mau bercerita… Garuda membawaku kembali…” Sepanjang malam bagai anak kecil saya berkisah kepada Ibu tentang luar biasanya budaya Madura dan tanah Jawa. Dari lezatnya bebek Songkem hingga sejarah kerajaan Sumenep di timur Madura.
~Selesai~
Perjalanan yang manis Mas, melintas batas kembali ke tanah leluhur yang kaya akan benda budaya, tradisi, dan seni. Mantap cerita perjalanannya, saya serasa ikut mencicipi lezatnya bebek, tertawa menonton wayang orang dan merasakan halusnya kain batik dengan jari-jari ini :)). Agenda yang padat tidak membuat lelah soalnya kesenangan yang didapatkan membuat diri ini lupa dengan sekeliling, selain menikmati ciptaan-Nya yang ada di depan mata :hehe.
SukaSuka
terimakasih…
SukaDisukai oleh 1 orang
Sama-sama :)).
SukaSuka
Saya ikut larut membaca tulisannya mas, eh (manggilnya siapa ya ?)
Serasa ikut serta dalam perjalanan yang mas lakukan. Suatu saat saya ingin mencoba seperti yang mas lakukan ini, tapi tentunya dengan rute yang berbeda. Dan saya sudah punya draft-nya…..
SukaSuka
aku pengen balik lagi ke madura nyebrang ke kangean… katanya cakep banget di sana pulauanya
SukaSuka
Apa aja manggilnya asal bukan tante
SukaSuka
bang, nggak coba mandi di kolam yang dalam Taman Sare? yaa kali aja bisa dapat bidadari kayak di cerita jaka tarub 😀
SukaSuka
Lalu aku… Harus nyuri selendang
SukaSuka
jangan, abang bawa aja tas hermes yang asli dan bilang ama cewek2 yang ada disitu, (sambil mandi tentunya) “yang mau nikah ama gw, gw kasih 10 tas hermes gratis tiap bulannya!”
insya Allah berkah bang. amin
SukaSuka
Ikut merasakan haru ketika Mas Danan melintas pulau tanpa pulang ke pangkuan Ibu 😦
Ke Kangean itu tempatnya teman sekampus saya, penyeberangannya lama tapi Kangean dan pulau-pulau sekitarnya cantik 🙂
SukaSuka
pingin banget lho kak kesana…yg sudah dijangkau biasanya indah.
aku memang deket banget dengan ibuku, dari sd sampai kuliah kalau pulang sekolah selau ngobrol dengan ibu, sekarang cuma bisa ngobrol jarak jauh
SukaDisukai oleh 1 orang
Komen susulan nih… Wah Mas Danan emang cocok jd blogger tulen, passion-nya kuat utk jalan2. Alangkah indahnya trip kultural yang Mas Danan kisahkan, saya baru tahu Klo Mas Danan seorang Pujakusuma… mesem 🙂 Kok boleh motret sayap GA 304 JKT-SBY di atas udara, nggak diingetin sama pramugari? hehe 🙂 Btw, semuanya manis kisahnya. Kapan ke Jatim lagi? Malang kaya destinasi loh Mas…
SukaSuka
Matursuwon mas… aku memang udah lama banget pengen ekplore malang dan jatim krn ibuku aslinya orang Madiun. Sepertinya harus diagendakan tahun ini
SukaSuka