
Travelling mengingatkan fitrah manusia sebagai mahluk tertinggi. Dengan akal budinya mampu menentukan nasib bumi beserta isinya, tanggung jawab besar dari Sang Maha Pencipta. Tapi apakah manusia benar-benar mampu.
***
Taman Nasional Kerinci Seblat (25/12/2013). Mata memandang nanar ke langit, pohon meranti seolah terbalik dengan akar bagai ingin menggapai angkasa .
“Kita istirahat sejenak di pos satu.” Suara Bang Dani membuyarkan lamunan. Mata saya tetap tak berkedip memandang pohon besar . Seumur hidup baru sekali melihat pohon sebesar dan setinggi ini.
Kata pohon memang mirip dengan kata memohon dan bukan kebetulan kalau kedua kata tersebut hampir serupa. Penganut animisme di masa silam menjadikan pohon sebagai tempat meletakan sesaji untuk berdoa. Mungkin mereka menganggap pohon yang menjulang ke langit sebagai jembatan penghubung antara manusia dengan Sang Pencipta , di sanalah tempat terbaik untuk memohon.
Sekarang tak banyak orang yang menghargai pohon, hutan dibabat habis tanpa menghiraukan kelangsungan mahluk hidup di dalamnya. Hutan tropis berubah menjadi kebun sawit , sejak cpo menjadi komodtitas primadona dunia. Dan pulau Sumatra tempat saya berdiri sekarang kehilangan 45 persen hutan tropisnya sejak tahun 1985. Dalam kurun waktu tak lebih dari 30 tahun, 12 juta hektar hutan musnah untuk lahan perkebunan dan pembalakan.


Trekking ke Danau Kaca kali bukan sekedar perjalanan fisik . Berkali-kali hati saya terkagum menyaksikan kekayaan alam Indonesia terutama pulau Sumtara tempat saya dilahirkan. Di sinilah tempat bernaung ratusan species hewan dan tumbuhan. Suara hewan terdengar jelas menjelang malam bersama gemericik air terjun kecil di Danau Kaca.
“Bang apakah di sini masih ada harimau ?” Pertanyaan menjelang sisa malam di sisi api unggun.
“Jelas masih tapi mereka tidak akan mengusik manusia jika tidak terancam. Sekarang manusia yang lebih berbahaya bagi harimau .”

Saya langsung teringat Peter, harimau koleksi kebun binatang Taman Rimbo, Jambi . Mati secara misterius akibat keserakahan segelintir oknum. Seolah tak ada tempat aman dan nyaman bagi raja rimba. Tinggal di kebun binatang tak aman apalagi di rimba. Berdasarkan data Greenpeace hanya 400 harimau Sumatra yang tersisa di alam bebas.
***
Dharmasraya (27/12/2013). Kendaraan four-wheel drive menuju Kampung Pulau Punjung menyususri sungai terpanjang di Sumatra , Batanghari. Berkali-kali Roni meyakinkan apakah benar tujuan kami ke Silago kecamatan XI koto hanya jalan-jalan tanpa misi tertentu. Kebanyakan yang mengunjungi suku anak dalam (SAD) adalah awak media atau peneliti.
Kami bermalam di gubuk sederhana milik Rustam Effendi (80), pensiunan guru Agama memilih menyepi di pinggir hutan. Bersama sang istri membuka warung guna melayani SAD dan peladang. Darinya kami mendapat informasi bahwa di dekat sungai ada keluarga SAD pindahan dari daerah Kebulangan.

Embun pagi masih menempel di dedaunan, berkilau-kilau tertimpa sinar mentari pagi. Bersama Pak Rustam memasuki hutan, menyusuri tanah lembab tertutup daun pepohonan tinggi. Langkah kaki tertahan melihat sisa sesudongon , atap plastik tanpa dinding.
“Tempat ini sudah ditinggalkan pemiliknya.”
“Kemana Pak.”
“Tidak tahu. Kita orang awam tak paham jalan pikiran mereka. Tapi pindah tak mudah, lahan hutan tidak luas seperti dahulu.” Pak Rustam berujar.
Suku anak dalam bagai anak tiri di rumahnya sendiri. Ekspansi perkebunan kelapa sawit dan pabrik kertas di Sumatra membuat ruang gerak mereka terbatas.

Setelah mendaki bukit di seberang sungai terlihat lembah besar , bonggol kayu besar dan ranting menghampar bagai telah diterjang badai. Namun potongan kayu besar udah tak ada . Kayu besar berharga pasti telah “diselamatkan” ke sungai Batanghari lalu dilarungkan. Transportasi termurah membawa kayu ke hilir.
“Itu mereka.” Tangan Pak Rustam menunjuk ke gubuk kecil di tengah lembah.


Bu As muncul dari balik bonggol kayu besar bersama anak lelakinya berusia 10 tahun. Wanita dari suku anak dalam menyalami kami. Tak banyak kata keluar mulut dari bibirnya. Dalam bahasa setempat iya menjelaskan bahwa suaminya mencari daging sejak kemarin .

Ibu dua anak mengajak kami masuk ke gubuk . Putrinya Bheta sibuk membersikan jernang, buah rotan . Gadis 13 tahun ini pandai bicara bahasa Indonesia. Darinya kami tahu bahwa suku anak dalam menganut sistem kekerabatan matrilinial, garis keturunan Ibu. Tak banyak cerita dari perjumpaan singkat ini. Awalnya terasa ada jarak namun suasana berlahan mencair dalam obrolan hangat.
Langkah pulang kami diiringi desingan suara gergaji mesin dari kejauhan. “Itu suara apa Pak?”
Pak Rustam terdiam , mata pria itu penuh isyarat. Pembalak liar sedang beraksi menjamah hutan lalu meninggalkan dalam luka terdalam. Hukum mana yang mampu menjamah tempat terpencil seperti di sini. Andaikan mampu, manusia selalu punya cara pembenaran atas tindakannya.
“Adakah polisi hutan di sini?”
Tak ada jawaban lagi. Biarkan benak ini menterjemahkan apa yang sebenarnya terjadi. Sekaligus mengurai pengalaman pribadi tiga tahun di Jambi. Aneh rasanya setiap menjelang hari raya selalu ada kabut asap. Ketika sebagian besar orang sibuk mudik termasuk aparat, hutan terlupakan sejenak. Pencuri selalu pandai kesempatan.

“Lihat itu pohon lebah.” Tangan Roni menunjuk pohon besar di sisi sungai Batanghari. Tiap dahannya dipenuhi sarang lebah menggantung. Luar biasa!
Langsung teringat salah satu scene film Sokolo Rimba , dimana para lelaki SAD mengambil lebah di pohon mengunakan ritual khusus. Saya baru percaya pohon lebah benar-benar ada karena di film hanya ditampilkan dengan animasi. Kira-kira berapa kuntum bunga yang dihisap oleh lebah-lebah ini setiap harinya. Rasanya tak berlebihan jika hutan Sumatra disebut surga dunia , tempat hidup ratusan species hewan dan tumbuhan. Tapi apakah surga ini akan tetap ada.
Let’s Protect Paradise! Palingkan mata hatimu untuk melihatnya. Sadarkah bahwa ada tanggung jawab besar di sana. Mencintai bukan hanya sekedar mengagumi tapi tindakan nyata untuk melindungi. Sebagai pejalan terkadang kita terlalu mudah terpesona akan keindahan alam, tak sadar bahwa alam sangat rapuh .
~ Catatan perjalanan penghujung tahun 2013~
referensi:
http://perbatakusuma-konservasialamsumatera.blogspot.com/2011/05/fakta-tidak-terbantahkan-sumatera.html
http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/reports/Izin-Untuk-Memusnahkan/
***
Dengarkan versi audio perjalanan ini melalui souncloud.
Alam semakin rapuh karena ulah manusia. dan manusia tidak sadar risiko dari perbuatan itu. Pemerintah pun abai. Miris ya kak 😦
SukaSuka
banget… sebetulnya pas perjalanan malem kita iring2an dg mobil pembalak itu mbak, mereka dibackup aparat. tapi siapa yg berani ngaduin, bisa2 pulang ga selamat.
SukaSuka
Itulah…bagaimana mau diberantas mas, jika malah dilindungi aparat. Benar-benar negeri salah urus 😦
SukaSuka
negeri salah kedaden mbak… itu yg anak suku dalam di kuyo2 katanya ga punya hak atas tanak hutan krn ga ada legalitasnya tapi aparat semena2 gundulin hutan. saiki anak suku dalam bingung pindah kemana hutan gundul , berburu susah.
SukaSuka
Terlalu banyak pohon di tebang, trus kalo banjir mau nyalahin jokowow ??? hmmm. Mmg bener sekarang manusia lebih seram dari pada harimau. Semua penuh keserakahan 😦
SukaSuka
Terus macan dijadiin seksi, liat trio macan ga ada serem2nya
SukaSuka
Semoga lulus sampai jantung borneo Mas…
SukaSuka
Aminnnn, doain ya massss
SukaSuka
langkahi saya dulu hahahahahaha “tertawa jahat”
SukaSuka
Mari melangkah bersama… Kan kuota ada tiga
SukaSuka
itu baru cucok hehehehe….. jangan lupa oleh2 dari lampung ya..?
SukaSuka
Aku ga mulih lampung….
SukaSuka
wuiiih
SukaSuka
pohon sialang namanya, kalo om jeli ada pohon sialang juga dekat danau kaco 😉
SukaSuka
Di danau kaco sebela mana
SukaSuka
pos 1 atau pos 2
SukaSuka
Itu yg di atas pos 1
SukaSuka
ke Bali http://www.purinusantarahotel.com
SukaSuka
Miris bgt baca postingan ini!!!
SukaSuka
Ya ini kenyataan di Sumatra…
SukaSuka
Perjalanan yang menarik Mas. Saya belum pernah jalan-jalan di dalam hutan seperti itu. baru sebatas hutan kota saja :). Ternyata memang begitu ya, ada back up dari aparat juga… :(. Tampaknya kita memang harus banyak teriak2 (dlm tulisan, juga aksi) biar semakin byk yg menyadari fakta ini & byk yg peduli.
Salam.
SukaSuka
saya juga baru kali ini mbak , dan ketika melihat kenyataan di lapangan kaget… miris….
SukaSuka
jadi ingat kampung halaman kalau lihat ini.
SukaSuka
Sedih baca ini,
Lingkungan yang rusak, Anak negeri yg terusir kepentingan modal dari tanahnya sendiri,
Tempo hari ada korban, bahkan mati pun masih dlm keadaan terborgol tangan dan kaki,
Ah, betul2 tanah tumpah-darah.
Semoga cerita perih Bung Danan Wahyu mengingatkan semua pihak.
Salam Indonesia
SukaSuka
semoga….
SukaSuka
danau kaca …. indah sekali
tapi untuk mencapai kesana .. bener2 perjuangan
SukaSuka