
Siapa menyangka bekas tambang kaolin di pulau Belitung menjadi objek wisata. Meski tidal dikelola secara profesional danau berair kebiruan dan bukit-bukit kecil bagai gundukan salju kerap disambangi wisatawan. Mereka datang untuk mengagumi keindahan alam, yang mungkin bagi sebagian orang dianggap bencana.

Apa namanya bukan bencana, jika lahan berhumus subur harus digali agar bisa mengeruk kandungan mineral di dalamnya. Lalu dibiarkan terbuka menyisakan danau buatan yang airnya tercemar apalagi dikonsumsi. Belum lagi tanah tandus tak berhumus membuat tumbuhan enggan hidup. Segenggam mineral harus dibayar mahal dengan kerusakan alam dengan tidak menyisakan masa depan dan kehidupan bagi mahluk hidup.

Masa depan memang tidak terduga, lahan tambang yang tidak produktif kini menjadi objek wisata dan menghasilkan pundi rejeki bagi masyarakat sekitar penyedia jasa akomodasi dan transportasi. Secara kasat mata bekas tambang tidak produktif tapi jelas memiliki nilai ekonomis. Mungkin dengan sedikit sentuhan pengelolaan dan pemasaran profesional bisa memberikan nilai ekonomis lebih.

Namun yang membuat saya kembali tertegun melihat bekas tambang timah di Belitung Timur menjadi danau asri lengkap dengan tumbuhan dan mahluk hidup di dalamnya. Meski butuh waktu, alam memiliki kemampuan memperbaiki dirinya sendiri. Belajar dari alam seharusnya manusia mampu mengembalikan fungsi alam seperti semula paska kegiatan eksplorasi dengan mempertimbangkan faktor sosial ekonomi masyarakat sekitar.
Memperbaiki kerusakan alam tidak semudah membalikan telapak tangan, apalagi menyakinkan banyak pihak akan berhasil. Selain membutuhkan waktu dan biaya, rendahnya kepercayaan publik membuat program tidak berjalan lancar. Memang dulu beberapa aktivitas penambangan tidak mempertimbangkan keberlangsungan ekosistem dan masyarakat sekitar tapi jangan berpikiran negatif. Banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum memberikan penilaian awal.
Even domino pertambangan adalah dampak sosial ekonomi baik jangka pendek maupun panjang. Kesenjangan sosial penduduk lokal dengan pekerja menjadi konflik tak terelakan. Karena skill dan kemampuan, pekerja pendatang memiliki kesempatan lebih dibandingkan penduduk lokal, imbasnya kecemburan sosial.

Efek jangka panjang yang harus diwaspadai, ketika lokasi tambang tidak produktif dan alam rusak maka kemiskinan menyambangi penduduk lokal. Memang selalu ada jalan jika mau bersama tapi jika diwaspadai dari awal akan lebih baik. Kita dapat belajar dari Sawalunto , bagaimana kota penghasil batubara menjadi kota wisata. Era kejayaan permata hitam atau batubara membuat Sawahlunto bagaikan gula-gula didatangi banyak pekerja. Namun ketika produksi batubara menurun tajam tahun 1940 jumlah penduduk berkurang drastis, dari 43.576 orang pada tahun 1930 menjadi 13.561 orang pada tahun 1980. Menurunnya jumlah penduduk jelas berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi dan kemakmuran. Gula-gula telah ditinggalkan semut dan Sawahlunto menjadi kota mati.

Beruntung Sawahlunto memiliki putra daerah pandai serta peduli dengan kampung halamanya. Amran Nur, pria lulusan Institut Teknologi Bandung mampu mengubah kota Sawahlunto menjadi kota wisata dalam satu dasawarsa 2003-2013. Angka kemiskinan merosot tajam, dari 17,18 persen pada 2005 menjadi 2,42 persen pada 2009. Belajar dari kesuksesan Sawahlunto semestinya kita yakin , selalu ada peluang dari tanah yang sudah dianggap mati. Peluang bukanlah sekedar keberuntungan yang dinanti tapi harus dicari dan diusahakan sedari awal.
Ini pekerjaan rumah bagi perusahaan tambang di negeri kita, bagaimana membangun peluang agar lokasi tambang yang ditinggalkan tetap bernilai ekonomis dan produktif di kemudian hari. Sehingga masyarakat tetap memperoleh manfaatnya terus menerus. Karena tambang bukan hanya untuk saat ini tapi untuk masa depan dan anak cucu kita.
Agak2 miris kalo liat bekas tambang di belitung ini, cantik sech tapi di biarkan terbengkalai begitu saja 😦
SukaSuka
mustinya dikelola profesional jadi tempat wisata
SukaSuka
Kolong-kolong timah serupa yang ada di Bangka kini ada yg diubah menjadi kebun raya bernama Bangka Botanical Garden. Disebut juga kebun raya dari tai sapi, karena untuk menetralkan air rawa/danaunya menggunakan kotoran sapi dan kapur. Keren sih jadinya. Tapi dana yang digunakan untuk mereklamasi juga gila-gilaan.
SukaSuka
wah seriusan, baru tahu lho infonya… semoga semakin area bekas tambang yang dimanfaatkan
SukaSuka
BBG emang belum populer sih mas, warga lokal pun banyak yang nggak tau. Tapi saya percaya suatu saat itu bakalan jadi tempat yang keren.
SukaSuka
ih pengen banget kesana.. biar tahu konsepnya gimana biar bisa dishare ke daerah lain
SukaSuka