
Mata memang perlu dimanjakan dengan keindahan alam tapi hati perlu dilatih melalui perjalanan. –Danan Wahyu Sumirat–
Siapa sangka perjalanan satu minggu bersama komunitas online menorehkan pengalaman hidup berharga. Semakin meyakinkan saya bahwa selalu ada solusi bagi setiap masalah. Sebuah langkah awal menikmati petualangan tanpa orang tua dan fasilitas berlebih . Jika sekarang membayangkan kejadian waktu itu, semuanya bagai mozaik tersusun indah dalam bingkai kenangan. Dari awal sampai akhir perjalanan selalu ada percikan-percikan kecil adrenalin . Seru menjadi seorang backpacker.
Mengejar Pesawat Delay
Kepanikan menghantui tak kala bus Lampung-Jakarta yang saya tumpangi terjebak perbaikan jalan tol Merak-Jakarta. Seharusnya pukul 17:00 bus sudah sampai di Gambir, tapi sampai pukul 19:30 bus masih merayap di kawasan Kebon Jeruk. Berkali-kali Bono, rekan backpacking menelepon menanyakan posisi saya. Pesawat akan lepas landas pukul 21:00. Saya berinisiatif mengendarai ojek menuju Bandara Sukarno-Hatta tapi kemacetan terjadi di mana-mana, menyelinap di antara mobil dan menerabas trotoar menjadi pilihan. Tepat pukul 20:55 sampai di terminal 2F. Saya sudah pasrah ketinggalan pesawat . Petugas check-in di loket menginformasikan bahwa kebarangkatan pesawat ditunda satu jam. Sayapun terduduk lemas mengatur napas setelah ber-off road ria bersama tukang ojek dan sprint melintasi terminal bandara.
Teman Baru
Orangtua saya bertanya. Bagaimana bisa percaya dengan orang yang baru kenal di dunia maya, bertemu di bandara lalu berjalan bersama satu minggu. Apa tidak takut ditipu. Sayapun menjawab, kalau kita berniat baik , insyaALLAH orang juga baik. Tapi kalau mereka tidak baik , berarti ini cobaan buat saya. Terdengar naif, tapi itu yang saya rasakan. Bagaimana saya begitu yakin dengan teman-teman baru yang saya jumpai di bandara Sukarno Hatta, Jakarta dan Sultan Hassanudin, Makassar. Dan siapa menyangka di Pare-Pare dan Tanjung Bira beberapa teman baru bergabung dan kami berkeliling bersama sampai Selayar.
Tidur di Bandara
Terminal, bandara dan stasiun itu rumah kedua backpacker. Layaknya sebuah rumah dengan mudah bisa meletakan badan , selonjoran lalu tidur nyenyak. Ah masa iya? Setelah melewati penerbangan malam, bersama beberapa rekan tidur di bandara Sultan Hassanudin. Awalnya terasa aneh, berkeliling mencari posisi paling nyaman, lalu menggelar sleeping bag dan merbehkan badan. Inilah salah satu cara menghemat buget dan energi, bisa tidur dimana saja. Sekarang menjadi menu wajib bulanan sebelum melakukan penerbangan subuh Jakart-Jambi . Sekaligus mempertegas aliran khusus backpacker saya, spesialis ngemperpacker.
Camera dan Kehilangan Momen
Jalan-jalan tanpa kamera rasanya mustahil. Bukannya narsis, selain untuk keperluan dokumentasi dan foto kenang-kenangan paling murah yang bisa dibawa pulang. Khusus untuk backpacking pertama , saya membeli kamera saku bekas dari seorang mahasiswa Indonesia yang baru pulang dari Jepang. Karena terlalu bersemangat meng-capture momen di perjalanan . Sampai di Kete Kesu baterai kamera habis dan tidak membawa cadangan. Ketika orang asik mengabadikan keunikan bangunan di Toraja saya hanya bisa terdiam meratapi kebodohan.
Indahnya Dunia Bawah Laut
Ketika kuliah seorang rekan menawari bergabung klub selam . Peralatan dan biaya lisensi ditanggung oleh kampus. Kewajiban anggota menanam dan merawat terumbu karang di pulau Tegal, Teluk Lampung. Pertimbangan takut mengganggu kuliah saya tolak. Belakangan saya menyesal kenapa tidak mengenal dunia bawah laut sejak dulu. Pertama kali snorkeling di dekat pulau Liukang Liu , Tanjung Bira . Dan langsung jatuh cinta dengan laut. Setelah satu tahun backpacking keliling Indonesia, baru tahu bahwa di Lampung banyak spot snorkeling dan diving bagus. Terumbu karang di seberang lautan tampak, ikan nemo di kampung sendiri tidak nampak.
Menghormati Kepercayaan Setempat
Penyebrangan 3 jam Tanjung Bira-Pamatata, Selayar menjadi luar biasa ketika menyaksikan rombongan ikan paus berenang melintas. Tapi ternyata ini bukan firasat baik, nakoda berkata jika hari ini melihat paus atau lumba-lumba dapat dipastikan besok akan ada badai besar. Dan benar saja, keesokan hari kami mati gaya di Pulau Selayar. Pagi-pagi bergerak menuju pelabuhan Patumbukkang untuk menyebrang ke Takabonarate. Tapi pelabuhan ditutup karena laut tidak bersahabat. Begitu juga dengan pantai di sebalah barat Appatanah dan Baloiya. Ombak dan angin besar memporak-porandakan impian kami mengintip dunia bawah laut Selayar.
Belajar Sejarah
Karena badai angin barat kami memutuskan mengunjungi wisata sejarah di Selayar. Gong Nekara terbesar di Asia Tenggara yang ditemukan oleh warga setempat bernama Pao pada tahun 1868 di daerah Papan Lohea. Setelah melewati bandara perintis Aroepala sampailah kami di desa Bontosunggu Kecamatan Bontoharu. Berada di tengah perkampungan nelayan untuk bisa melihat Jangkar Raksasa milik seorang saudagar China bernama Gowa Liong Hui. Berdasarkan kisahnya Gowa Liong Hui mengadakan pelayaran menggunakan kapal besar dan singgah di Padang pada akhir abad XVII. Sampai suatu saat kapal dagang milik Cowa Liong Hui ini rusak hingga tidak dapat lagi digunakan untuk berlayar, kemudian jangkar kapal diamankan oleh penduduk setempat yang dikemudian hari menjadi bukti sejarah. Ternyata wisata sejarah sangat mengasyikan , padahal dulu semasa sekolah tidak memiliki minat terhadap mata pelajaran ini. Hikmah badai besar, akhirnya belajar sejarah.
Rencana Fleksibel
Obrolan Rani – rekan backpacking asal Jakarta – dengan pengelola wisma PKK Tanadoang pagi ini mengubah rencana perjalanan. Seharusnya pagi ini kami menuju Tanjung Bira dengan penyebrangan pertama. Wanita yang berprofesi pegawai dinas pariwisata setempat menginformasikan bahwa di bulan ini pantai barat kerap terkena badai sebagai alterantifnya wisatawan bisa mengunjungi pantai Jameeng di sebelah timur. Rencana jelajah kota Makassar dibatalkan, digantikan tinggal satu malam lagi di kota Benteng, Selayar. Walaupun tidak sampai ke Takabonarate, hasrat melihat keindahan dunia bawah laut Selayar tetap ada.
Tuhan Sayang Backpacker
Kami pergi ke dinas pariwisata Selayar untuk memperoleh informasi penyewaan kapal dan meminjam peralatan snorkeling. Kebetulan salah seorang pegawai akan melakukan inspeksi ke resort dekat pantai Jameeng. Kamipun difasilitasi menyewa kapal dengan harga murah dan dipinjamkan peralatan snorkeling gratis. Kapal yang kami tumpangi diberi kesempatan merapat ke Dive Resort untuk bersenorkling, menyaksikan ribuan ikan-ikan besar yang sengaja dipelihara pengelola. Konon tarif menginap di sini poundsterling, tapi karena bersama petugas dinas pariwisata tidak membayar sepeser pun alias gratis. Ternyata selalu ada kemudahan dibalik kesulitan, Tuhan sayang backpacker. 😀
Ujian Terkahir
Pagi-pagi kami antri kapal di pelabuhan Pamatata , Selayar. Tiba-tiba beberapa mobil berplat merah mencuri antrian di depan. Walhasil mobil kami berada jauh di belakang dan tidak mendapat tempat di kapal. Petugas mengatakan kapal kedua akan berangkat pukul 14:30, rasanya tidak akan terkejar penerbangan Makassar-Jakarta pukul 19:30. Kami berinisiatif meninggalkan mobil dan Pak Latief, lelaki paruh baya yang telah mengantar kami berkeliling Sulawesi Selatan. Lalu melanjutkan perjalanan dari Tanjung Bira ke Makassar dengan angkutan umum. Setelah peluit tanda keberangkatan berbunyi tiba-tiba dek bagian bawah terbuka. Petugas mengisyaratkan masih ada satu tempat untuk kendaraan, Pak Latief dan mobilnya dipersilakan masuk.
Perjalanan seminggu mulai dari Makassar, Toraja, Tanjung Bira , Selayar dan kembali ke Makassar lagi memberikan presepsi baru tentang Indonesia. Banyak keindahan alam tersembunyi dan keunikan budaya di negeri ini. Rasanya seumur hidup tidak akan cukup untuk menjelajah satu per satu. Tapi kalau tidak sekarang, kapan lagi mulai mengenal negeri ini.
Perjalanan juga bukan ego mengkoleksi berapa tempat yang sudah disambangi. Tapi tentang menghargai diri sendiri dengan menghargai orang lain. Mengenal toleransi yang sesungguhnya, bukan teori yang ada di dalam buku pelajaran sekolah atau diktat kuliah. Berada di titik terendah , jauh dari kenyamanan membuat kita bisa lebih bersyukur dan empati. Mata memang perlu dimanjakan dengan keindahan alam tapi hati perlu dilatih melalui perjalanan.
Kamera ilang….
SukaSuka
saya tahun kmrn kamera pocket kesayangan ini kelelep di laut… nyesek bener, berasa ditinggal pacar… udah bertahun2 nemenin kemana2
SukaSuka
Nda ikut nyebur sekalian hehehe… kan nda tenggelam hehe
WAh kalo poket punya saya juga sudah jadi terumbu karang di pulau tengah Karimunjawa. Betoool sangat nyesek, karena poket pertama saya…
SukaSuka
Paling suka kata-kata “Tuhan sayang backpaker”
hihihi, selalu ada keajaiban untuk backpaker ya bang 😀
SukaSuka
iya Tuhan selalu sayang bpc, selama ini semua perjalanan dipermudah meskipun ada kerikil2 kecil di tengah jalan
SukaSuka
jadi lebih baik punya diving license ya bang kalau mau jelajah seminggu ke makassar dan sekitar?
kurang rasanya kalau hanya snorkling saja?
SukaSuka
bener ga nendang kalo senorkling doank… next trip nih
SukaSuka
selalu ada pelajaran yang bisa didapat dari sebuah perjalanan 🙂
SukaSuka
wlpn bikin hati cenat cenut pengalaman dalam perjalanan kaya candu…
SukaSuka