Curahan

Ketika Menulis Tidak Membuat Bahagia

Banyak yang terjadi dengan kita saat pandemi, termasuk Mbak-Mbak dan Mas-Mas Blogger yang kehilangan hasrat untuk menulis. Termasuk saya! Logikanya kalau tidak traveling selama hampir dua tahun, masa mau menulis halan-halan. Nanti dibilang hoax alias ngibul.

Lagian saat pandemi, siapa sih yang butuh informasi traveling. Wong syarat perjalanan aja segambreng, belum lagi berubah tanpa bisa ditebak.

Kemampuan dan Kemauan Literasi Menurun

Sejak kita dimanjakan oleh konten-konten video dan audio, kemampuan dan kemauan kita untuk mengulik konten literasi menurun. Orang cenderung lebih suka konten pendek, instan dan menarik. Dibandingkan tulisan panjang.

Banyak blogger ganti haluan menjadi vlogger bahkan konten kreator video, karena cakupan pasarnya lebih luas. Sekarang, sayapun pribadi lebih sukamembuat konten video dibandingkan menulis di blog. Karena sejujurnya menulis yang baik butuh nutrisi otak dan wawasan yang luas agar tulisan menjadi bernas. Nah nutrsi otak bisa didapat dengan banyak membaca.

Konten blog lebih abadi dan google friendly. Ketika mencari topik tertentu maka yang muncul adalak konten tulisan bukan konten di media sosial. Walau secara engagment mungkin lebih tinggi, konten-konten di media sosial lebih cepat populer tapi lebih cepat dilupakan orang. Jadi ketika membuat konten video maka saya tetap akan membuat konten tulisan walapun isinya embeded video.

Menulis Untuk Healing

Saya tidak pernah sadar bahwa sesungguhnya kemampuan menulis muncul karena proses healing. Ini bukan healing-healing tahu kucing ala jaman now. Tapi kondisi mental terendah karena kehilangan seseorang .

Kehilangan itu tidak mudah, dan ini yang pernah dirasakan oleh Bapak B.J. Habibie ketika ditinggalkan oleh istrinya tercinta Ibu Ainun. Sang dokter memberikan 4 pilihan agar jiwa dan raganya tetap sehat yaitu: dirawat di rumah sakit, tetap di rumah dalam pengawasan dokter, curhat dengan orang terdekat atau menulis. Bersyukur akhirnya ia menulis buku Ainun & Habibie yang akhirnya diangkat ke layar lebar.

Tahun 2008 momen paling berat di hidup saya. Setelah kami merangkai banyak mimpi akhirnya takdir memisahkan untuk selamanya. Meski di luar saya kelihatan baik-baik saja, sesungguhnya saya tidak baik-baik saja. Setiap malam selalu menangis dan meminta Tuhan untuk membawa saya pergi jauh . Meski pada akhirnya Tuhan mengabulkan doa tapi butuh perjuangan dua tahun untuk menerima kenyataan.

Salah satu hal gila yang saya lakukan waktu itu adalah mengirim e-mail. Menganggap pemiliknya masih hidup dan secara rutin bercerita. Dari satu kalimat, dua kalimat, satu alenia, dua alenia hingga menjadi sebuah tulisan panjang. Saya tak sadar kemampuan literasi saya muncul yang berasal dari bahasa tutur. Hingga setelah dua tahun saya sadar bahwa dia memang sudah tidak ada , emailnya disuspend oleh yahoo karena tidak pernah dibuka oleh pemiliknya yang berada di alam baka.

Tulisan Traveling Mewujudkan Mimpinya

Setelah emailnya ditutup, Tuhan mewujudkan keinginan saya untuk pindah kota. Seperti membuka lembaran baru, kehidupan saya di propinsi baru berubah. Anak rumahan menjadi backpacker. Setelah bekerja dua minggu di lapangan, bebas menggemblok ransel kemana pun saya mau.

Ajaibnya Tuhan mengantar ke tempat impian kami berdua. Dengan semangat saya menuliskan semua kisah perjalanan ke dalam blog, berharap dia membaca dari surga. Setelah seminggu melewati perjalanan maka dua minggu di lapangan saya akan menceritakan semua perjalanan. Itulah momen terindah dalam hidup saya. Mungkin itu yang dinamakan menulis dengan hati. Walau aslinya tulisan saya masih amburadul , tak sesuai kaidah EYD.

Saya yang benci membaca karena dyslexia, lambat laun menyukai buku dan belajar menulis. Mimpi saya menjadi besar, tak hanya bercerita tapi membuat dokumentasi perjalanan terbaik untuknya.

Menulis dan Uang

Selama 4 tahun saya tidak pernah menyangka bahwa menulis bisa menghasilkan pundi, yang nilainya sebanding dengan gaji Mas-Mas kantoran. Keinginan resign semakin besar, untuk mewujudkan impian menjadi travel blogger bahkan penulis profesional. Tapi orang tua , terutama ibu tidak pernah mengijinkan.

Ada momen semua rejeki yang datang diambil karena konon pamali menolak rejeki. Tapi menulis bukan lagi menjadi aktivitas yang menyenangkan apalagi healing. Saya seperti terjebak di industri, dikejar target, deadline, brief bahkan keinginan orang yang saya tidak tahu.

Saya tidak perlu mood untuk menulis, semua seperti sudah diprogram dan cepat walau jika diulik lebih dalam, terasa kosong. Ya tulisan saya tidak dari hati, tapi demi mengejar uang.

Saya tidak pernah lagi menulis untuknya.

Menulis & Kebahagiaan

Hal yang paling berharga saat pandemi adalah tetap sehat dan bahagia. Ketidakpastian dan kehilangan orang dicintai membuat hidup makin hampa. Bayangkan kabar kepergiaan datang hari ini padahal dua hari yang lalu masih asik bersenda gurau di media sosial dengannya. Corona yang pernah tidak diyakini tiba-tiba mendekat dan menjadi mimpi buruk yang nyata.

Mental saya benar-benar jatuh ketika kedua orang tua rekan kerja meninggal mendadak karena Corona. Pikiran saya langsung ke rumah membayangkan kedua orang tua.

Semua rutinitas yang tak membuat bahagia, satu per satu dilepaskan , termasuk aktivitas menulis yang tak membuat bahagia. Mohon maaf pemberi kesempatan dan rejeki yang diabaikan, ini bukan soal nominal. Jika jiwa tak sehat rasanya tak mampu untuk menulis.

Setelah semua musibah ini, saya mengambil jeda. Melakukan hanya yang membuat saya bahagia.

Tapi nyatanya berdiam tak membuat jiwa ini tenang, saya butuh pelepasan. Kadang menulis itu seperti berdialog dengan Tuhan, menumpahkan rasa yang tak bisa kita ucapkan.

Bagian Sejarah Dunia

Setelah semua rasa kesal ditumpahkan kepada Tuhan dan situasi, pada akhirnya manusia sadar. Ada hikmah di balik peristiwa.

Saat pandemi saya tidak menjadi manusia “super”, apalagi setelah diserempet omicron dan harus tinggal di rumah sakit selama 10 hari.

Kita semua yang hidup di saat pandemi adalah bagian sejarah dari siklus dunia yang konon terjadi 100 tahun sekali. Pandemi memang bukan hal baru di muka bumi. Tapi ini jelas pengalaman baru bagi uman manusia jaman now.

Daripada meratapi hidup yang tak selalu sesuai keinginan, mungkin ini saatnya kembali menulis untuk bahagia. Tanpa target, tanpa deadline, tanpa berpikir SEO apalagi opini dan komentar orang lain.

Coretan ini bukan untuk siapa-siapa tapi untuk membuat saya bahagia.

6 tanggapan untuk “Ketika Menulis Tidak Membuat Bahagia”

  1. Lebih gampang mulai menulis kembali kalau sudah sering menulis sebelumnya dibandingkan kalau belum pernah menulis sama sekali. Bingung apa yang mau ditulis. Saya sudah punya blog sejak tahun lalu tapi isinya baru satu artikel berupa artikel perkenalan.

    Suka

  2. Saya sepakat dengan ide menulis untuk bahagia, tanpa terlalu memikirkan aspek teknis. Tulisan di blog bisa menjadi salah satu sarana pengingat perjalanan hidup penulisnya yang kelak ketika membacanya lagi dapat terbayang kenangan yang berkesan dan seru, menyenangkan, maupun yang bisa menjadi pelajaran.

    Suka

    1. usia blog ini sudah hampir 12 tahun dan rasanya ketika membaca halaman demi halaman seprti naik jetcoaster, bahagia tapi kok naik turun ya.

      Seolaj tak ingin kehilangan momen , saya setiap mendokumentaskan hal yang terjadi saat pandemi di sini 😀

      Suka

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar