Papua itu Indonesia
Lomba, Papua, Travelling

Habema Sebuah Pesan Dari Tanah Papua

Papua adalah sebuah mimpi bagi kami yang tinggal di ujung barat Indonesia. Untuk mencapainya harus melewati seperenam lingkar bumi. Jauh? Tidak. Karena sesunguhnya Papua itu Indonesia masih bagian dari nusantara dan tempat saudara kami tinggal. Raja Ampat adalah sebuah nama yang membawa Papua dikenal dunia. Padahal teman saya bilang banyak keindahan di Papua yang orang belum banyak tahu seperti gunung dan hutannya.

Senyum Papua yang selalu saya rindukan.

Untuk saat ini keinginanan saya menyambangi Raja Ampat tapi Tuhan memberikan yang terbaik yaitu Wamena. Sebuah kota di Lembah Baliem yang dilingkupi oleh gugusan pegunungan Jayawijaya. Sejujurnya tadi malam saya tidak bisa tidur ketika pemandu berkata bahwa kita akan melihat salju di puncak Trikora dari danau Habema.

“Ya Tuhan, saya tidak pernah bermimpi melihat salju di negeri sendiri”, lirih dalam hati.

“Bukankah seharusnya salju hanya ada di negara empat musim?”, ah saya simpan rasa penasaran hingga melihatnya sendiri.

Pemandangan Wamena dari pesawat terbang.

Sebelum ke Habema

Pak Edison sang pemandu menempatkan itinerary Danau Habema di hari ke tiga, ia ingin membangun klimaks dari kisah perjalanan ini. Setelah kami melalui perjalanan panjang ke desa Kilise dengan melewati jalur trekking terindah di Indonesia, Kurima. Tiga jam kami berjalan kaki menyusuri jalan tanah hingga bukit terjal. Dari atas desa Kilise tampak sungai Baliem meliuk indah bagai naga besar melingkari kaki bukit hijau.

Sungai Baliem merupakan sumber kehidupan di Wamena.

Malam ini kami akan tidur di honai, rumah tradisional suku pegunungan Papua. Dalam remang malam diterangi api tungku, kami bercengkrama bersama beberapa pria di Palemo. Berkisah panjangnya perjalanan saya dari Sumatra, Jakarta, Jayapura, Wamena dan kini berada di Kilise. Keladi ungu (Ipomea batatas poiret) ditemani kopi panas menjadi kudapan malam hingga larut tidak terasa.

Mobil yang kamu tumpangi berhenti di sini dan trekking dimulai.

Rencananya besok kami akan menyaksikan tari perang yang sengaja dibuat oleh warga Kilise. Ini bukan tari perang biasa yang biasa dipertunjukan saat hari Kemerdekaan di kota . Tapi sebuah tari perang yang dengan latarbelakang pemandangan lembah Baliem. Sebuah teatrikal perayaaan kemenangan yang membuat para penggemar fotografi tak mampu berpaling.

Tari perang warga Kilise dengan latarbelakang lembah dan sungai Baliem.

“Tuhan anugerah apa ini? Sebuah pertanyaan usai mengucap rasa sukur sebelum tidur. Aku inginkan satu tapi kau berikan begitu banyak.” Malam itu saya bermimpi berjalan di atas awan lalu terbang tinggi sambil menari-nari diiringi tifa.

Malam ini kami tidur di honai.

Danau Habema

Pukul tiga pagi Pak Edison membangunkan kami agar segera bersiap, mobil-mobil dengan 4 penggerak roda sudah dinyalakan. Jangan tanya berapa suhu pagi itu, yang jelas begitu duduk di atas kendaraan saya langsung kembali tidur. Guncangan kendaraan dan pendakian nyaris tak terasa karena badan ini benar-benar lelah sepulang trekking dari Kilise kemarin.

Gerimis di danau Habema.

Cahaya jingga menembus jendela kaca mobil membangunkan lelap. Samar saya melihat padang rumput luas dengan danau menghampar.

“Ke timur… Tra… ” Suara Pak Edison dari handy talkie berkomunikasi dengan pengemudi.

Embun air di kaca saya bersihkan dengan tangan lalu keindahan danau Habema dan puncak Trikora terlihat dibalut kabut tebal. Tak lama kendaraan kami berhenti.

Berpose di danau Habema dengan latarbelakang puncak Trikora.

“Brrr…” Udara dingin menyeruak membuat saya kaget.

“Oh iya, jaket dan wind breaker dipakai. Kalau pagi seperti ini suhunya di bawah 8 derajat celcius”, jelas Pak Edison.

“Kok tadi di mobil hangat?”

“Itu karena mobilnya pakai heater bukan AC.”

“Berbeda ya dengaan mobil-mobil di Jakarta.”

Puncak trikora dengan salju di atasnya.

Barulah kaki akan melangkah lebih jauh tiba-tiba buliran air jatuh satu per satu. Kami kembali lagi ke dalam mobil menanti gerimis reda. Tapi siapa yang menyangka tiba-tiba mendung tersapu angin lalu sang surya mengintip dari balik puncak Trikora. Gurat salju terlihat di puncak Trikora terlihat jelas, kami berhamburan keluar mobil menikmati keajaiban alam.

Fenoman langka: salju di negara tropis.

Seorang fotografer Jepang yang telah lama tinggal di Wamena berkata, “You are sangat lucky“. Biasanya jika matahari secerah ini maka es di puncak Trikora tidak terlihat karena es mencair. Tapi sekarang berbeda, matahari bersinar tapi es di puncak Trikora terlihat sempurna.

Setiap hari fotografer Jepang ini melakukan birding (pemantauan burun) di Habema.

“Lima tahun lalu saya masih merasakan hujan es di sini tapi sekarang tidak. Pemanasan global mengubah dunia termasuk Papua”, kisah sang fotografer.

“Lalu apa yang terjadi 20 tahun mendatang”, tanya saya.

“Mungkin kita tidak akan es di atas sana. Jadi nikmatilah hari sempurna ini.”

Saya tersenyum getir, membayangkan anak cucu kita tidak dapat melihat semua keindahan ini.

“Nan turun yuk ke danau”, suara Bayu rekan perjalanan saya membuyarkan lamunan.

“Iya ke sana. Tapi sebelumnya kita harus melewati padang rumput basah. Gulung celanamu biar tak kotor.”

Berjalan melintasi padang rumput basa menuju danau.

Danau Habema merupakan bagian Taman Nasional Lorentz dan tercatat sebagai Taman Nasional terluas di Asia Tenggara dengan luas 224,35 hektar. Sedangkan danau Habema yang berada di ketinggian 3.225 m di atas permukaan laut merupakan danau tertinggi di Indonesia.

Bagi masyarakat Dani, Danau Habema disebut Yuginopa dan dianggap keramat karena menjadi sumber kesuburan dan kehidupan. Nama Habema sendiri diambil dari seorang perwira detasemen militer Belanda, Letnan D Habbema, yang mengawal ekspedisi pimpinan HA Lorentz di kawasan tersebut tahun 1909. Ekspedisi itu bertujuan mencapai Puncak Trikora atau yang dulu disebut Puncak Wilhelmina.

Hutan di atas puncak Trikora.

Taman Nasional Lorentz perwakilan dari ekosistem terlengkap untuk keanekaragaman hayati di Asia Pasifik. Kawasan ini juga merupakan salah satu di antara tiga kawasan di dunia yang mempunyai gletser di daerah tropis.

Jenis tumbuhan yang ada di sini sangatlah unik baik dari bentuk maupun warnanya. Saya tertinggal jauh di belakang teman-teman karena keasikan mengabadikan aneka bunga warna-warni dan hewan-hewan kecil yang bersembunyi di dalamnya.

“Hey… Ada sarang semut nih”, teriak saya memanggil rekan-rekan yang jauh berjalan di depan. Mereka tak kembali hanya membalas saya dengan lambaian tangan lalu menghilang ke arah danau.

Ketika teman-teman sudah menceburkan diri ke danau saya masih asik berkutat dengan beragam tumbuhan dan mahluk-mahluk kecil di padang rumput basah.

Sebuah Pesan

Saya bukanlah aktivitas lingkungan atau pecinta alam tapi sangat menikmati perjalanan menyusuri hutan. Semuanya berawal dari perjalanat menjelajah Taman Nasionak Kerinci Seblat untuk sampai ke Danau Kaco. Aroma tanah, daun dan ranting basah membuat saja jatuh cinta berkali-kali dengan alam dan makin menggagumi penciptanya.

Keindahan Wamena yang sulit untuk dilupakan.

Kini saya sadar mengapa Tuhan membawa saya ke Wamena bukan Raja Ampat. Ia ingin menitipkan pesan bahwa semua keindahan ini akan tetap terjaga jika kita peduli dengan alam. Kita boleh mengambil sesuatu dari hutan, namun ketika serakah yang hilang bukan hanya hutan tapi keindahan alam lainnya. Bumi semakin panas maka salju di puncak Trikora dan puncak lain di Papua hanya tinggal kenangan.

Pemandangan saat penerbangan Jayapura ke Wamena.

Perjalanan satu minggu di Papua terasa begitu singkat. Sesungguhnya tanah yang terberkati ini memiliki potensi wisata hijau luar biasa. Namun karena keterbatasan informasi dan akses tidak banyak orang tahu. Saya berharap dari kisah ini dapat memberikan inspirasi kepada orang lain untuk menyambangi wisata hijau Papua.

Video perjalanan ke danau Habema

Tulisan ini diikutsertakan dalam Blog Competition Wonderful Papua yang diadakan oleh Econusa dan Blogger Perempuan.

13 tanggapan untuk “Habema Sebuah Pesan Dari Tanah Papua”

  1. Indahnya Papua. Semoga suatu saat bisa menginjakkan kaki di sana. Itu mobilnya udah macam di luar negeri ya, Mas, pakai heater, bukan AC. 😀

    Suka

  2. Can’t say anything lah kl liat pemandangan wilayah timur, apalagi kl dr ketinggian semidal foto dr pesawat terbang yg Mas take itu. Kapan y bs main kesana..

    Suka

  3. Gak kebayang deh kalau bisa berkunjung ke Papua. Pasti seru sekali karena bisa melihat langsung keindahan alam yang jarang di temui di bagian manapun di Indonesia. Terlebih di Raja Ampatnya dengan surga bawah lautnya.

    Suka

  4. Terima kasih sudah menulis artikel ini, Danan. Saya berharap suatu hari nanti saya bisa melihat sendiri keindahan Tanah Papua 🙂

    Suka

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar