Sayang tapi tak cinta Kompasiana
Curahan, Lomba

Sayang Kompasiana Tapi Tak Cinta

Terkadang hidup dan segala dramanya terasa melelahkan, tapi yakinlah itu bagian proses agar kita menjadi pribadi yang lebih baik. Begitu juga rasa sayang dan cinta, dulu ketika belia dengan mudahnya mengungkapkan perasaan ini dan berucap, “Aku sayang kamu… Aku cinta kamu… Mau nggak jadi pacar aku… Miliki aku selamanya.”

Apakah cinta seperti itu. Apa bedanya dengan roman picisan yang membuai para pembacanya lalu dengan berjalannya waktu semua akan berlalu begitu saja dan terlupakan.

Cinta tak sedangkal itu teman apalagi jika kamu benar-benar sayang. Sayang memang terasa lebih tulus dibandingkan cinta karena tidak ada tedensi dimiliki atau memiliki. Sayang tidak pernah serumit cinta yang bagi masyarakat tertentu harus dikukuhkan di hadapan Tuhan bahkan disyahkan oleh negara.

Hidup nggak sedrama itu teman.

Baiklah agar tidak semakin rumit, saya memilih sayang saja, konon rasa sayang itu lebih universal tak mengharapkan pamrih. Kompasiana hadir untuk disayang bukan untuk dicinta. Rasanya berbahaya jika ia dicintai dan dimiliki oleh orang lain, nanti nasibnya tidak berbeda dengan media lain, kehilangan idealisme. Biarkan ia bebas menjadi kanal para jurnalis warga untuk berkarya dengan jujur dan lugas.

Jatuh Cinta

Awalnya Kompasiana hadir untuk jurnalis Kompas yang ingin ngeblog tapi tidak mau dipusingkan dengan coding dan CMS. Para kuli tinta butuh tempat untuk menyalurkan buah pikiran yang tidak selalu dapat ditulis di media cetak.

Acara CSR kantor yang yang akhirnya menjadi tulisan di Kompasiana.

“Tidak semua berita lolos di meja redaksi. Sayang kan sudah riset habis-habisan, liputan ke lapangan dan mengejar nara sumber sampai ujung dunia. Eh beritanya nggak jadi naik…”, curhat teman saya seorang jurnalis.

Walau pada awalnya Kompasiana ini menjadi “tempat terakhir” artikel yang tidak tayang di surat kabar. Tapi pada perkembangannya menjadi wadah jurnalis warga untuk berkarya. Blogger yang tidak memiliki ilmu jurnalistik dan hanya curhat receh di Kompasiana, berlahan namun pasti mulai menulis opini dari apa yang dilihat dan dirasakan dengan lebih bernas.

Memenangkan lomba menulis di Kompasiana lalu diajak keliling Sumatra bersama Avanzanation.

Saya bergabung Kompasiana tahun 2011 setelah 2010 gagal menjadi blogger fiksi. Ternyata menulis yang baik itu tidak semudah yang saya bayangkan. Setelah gagal di kelas online menulis cerpen, saya mencari tempat lain untuk belajar. Jika pada akhirnya Kompasiana menjadi tempat belajar karena cara cepat belajar menulis dengan mengamati artikel yang sudah ada lalu mulai menulis sendiri dan membuka diri terhadap kritikan orang lain.

Beberapa kompasianer menjadi panutan saya dalam berkarya dan belakangan saya tahu bahwa mereka jurnalis. Saat paling membahagiakan adalah ketika tulisan pertama diapresiasi dengan dikomentari kompasianer lain. Komentar tidak selalu positif karena sesungguhnya kritikan yang membuat tahu kekurangan dan terus belajar.

Berlahan namun pasti cinta kepada Kompasiana muncul. Ada keinginan lebih dan lebih lagi untuk bisa memilikinya dan menaklukannya. Menulis di Kompasiana seperti menjadi sebuah target, apalagi ketika tulisan dimuat di kolom Freez Kompasiana.

Salah satu tulisan yang mejeng di Kompasiana Freez.

Bayangkan seorang pemuda dari pedalaman Sumatra yang tidak pernah belajar jurnalistik secara formal, tulisannya terpampang di harian nasional. Kisah manis lainnya berkesempatan keliling Sumatra bersama Avanza dan mendapatkan Macbook dari selembar tulisan yang tidak lebih dari 1000 kata.

Ya begitulah ketika cinta semakin dalam dan nikmat, kita jadi lupa diri dan semakin enggan untuk melepaskannya.

Kompasiana menjadi tempat belajar ilmu jurnalistik.

Break Sejenak

Begitu banyak kisah bahagia bersama Kompasiana hingga tahun 2014 tapi ketika suhu politik Indonesia memanas, saya memilih break sejenak. Jujur, saya tidak suka artikel politik yang terlalu vulgar bergentayangan di Kompasiana. Bagi beberapa orang ini adalah bentuk demokrasi dan kebebasan berekpresi tapi saya merasa ada yang hilang di sini (nunjuk dada).

Nongkrong Kompasiana berbagi ilmu melalui kongkow dan ngeblog.

Keasikan menulis diselingi komentar lucu dan kopi darat santuy dalam suasana kekeluargaan yang hangat seolah menghilang. Semua orang menjadi sensitif, tidak jarang kolom komentar menjadi ajang debat kusir tak berujung. Masing-masing kubu seolah terbenam dalam perang kata yang tak pernah usai.

Tiba-tiba saya merasa semakin asing di Kompasiana dan tidak mengenalnya.

Terkadang rasa cinta yang terlalu dalam membuat kita menjadi egois, menginginkan ia menjadi seperti yang kita mau. Jika ia tidak bisa menjadi seperti yang saya harapkan lebih baik berpisah.

Wajah Baru Kompasiana

Setahun saya tinggalkan Kompasiana dalam perenungan dalam hingga akhirnya lebih memilih untuk sayang daripada cinta. Biarlah ia berubah menjadi apa yang diinginkan banyak orang bukan keinginan saya.

Berlahan namun pasti Kompasiana bermetamorfosis dan saya sempat tergagap melihat tampilannya yang baru. Akun lama saya sempat tidak bisa login. Apakah dia benar-benar ingin memutuskan hubungan?

Reuni bersama kompasianer di Lagoi Bintan.

Jangan baper Mas, Kompasiana masih dalam proses upgrade server. Kini dia bukan hanya situs blog keroyokan tapi ada visi yang lebih besar. Program afiliasi konten diperkenalkan kepada anggota yang ingin mendapatkan penghasilan dari ngeblog. Mereka yang karyanya bagus dan diapresiasi oleh penghunjung akan mendapatkan K-rewards.

Blog Trip Bintan bersama Kompasiana.

Program afiliasi komunitas juga diperkenalkan untuk menghubungkan pihak komunitas dengan pihak ke tiga (brand) yang ingin menyelenggarakan kegiatan campaign.

Sebagai jurnalis warga yang pernah mencintai Kompasiana, saya semakin bangga dengan sosoknya kini yang tak hanya menjadi wadah jurnalis warga tapi juga beragam komunitas yang selini dengan aktivitas jurnalis warga.

Makin Sayang

Pemilu 2019 memang lebih panas dari 2014, namun kini para kompasianer lebih bisa mengendalikan diri. Sadar ataupun tidak semua peristiwa yang kita lewati di tahun 2014 membuat jurnalis warga menjadi lebih dewasa dalam berkarya. Perbedaan pandangan politik bukanlah hal tabu tapi yang paling penting adalah menyikapi perbedaan itu tanpa perlu saling menyakiti lewat opini.

Tapi tunggu dulu, kisah rasa sayang itu belum tuntas. Tahun ini saya agak terkejut ketika Kompasiana memiliki kanal khusus video. Sekitar dua tahun lalu saya pernah menuliskan harapan agar Kompasiana memiliki ruang bagi videografer jurnalis warga dan kini menjadi kenyataan. Walau belum pernah menyisipkan video saya di sana tapi saya berjanji tahun depan akan lebih rajin membuat video blog untuk Kompasiana.

Blogger kini bermetamorfosis menjadi vlogger.

Kini jurnalis warga bukan hanya mereka yang piawai menulis opini dan berita di kanal online tapi juga mereka yang mampu merekam peristiwa melalui kamera lalu menyajikannya menjadi video jurnalistik warga.

Saya tidak pernah membayangkan bahwa Kompasiana akan berkembang sedinamis ini bersama jurnalis warga yang dulu dianggap sebagai hobi bukan profesi.

Berharap Kompasiana memiliki tempat jurnalis warga untuk bercuap-cuap.

Jika ditanya apa harapan di hari jadi #11TahunKompasiana, saya ingin Kompasiana memiliki kanal khusus podcast yang memberikan lebih banyak pilihan kepada masyarakat untuk menikmati jurnalistik warga yang berimbang dan lugas tanpa harus membaca.

Wah kompasianer beneran #BeyondBlogging nih! Setelah membuat tulisan dan video, kini harus mampu bercuap-cuap layaknya penyiar radio.

Artikel ini diikutsertakan blog competition #11TahunKompasiana.

8 tanggapan untuk “Sayang Kompasiana Tapi Tak Cinta”

  1. Bang Danan, sepertinya saat tim Kompasiana naik boat di Lagoi Bintan itu ada gambar saya 🙂
    Salam kangen sobat, katanya pembaca kece selalu meninggalkan jejak komen!

    Suka

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar