Myanmar, Travelling

Masihkah Keren Bagan Tanpa Balon Udara?

Bulan Oktober hingga Maret adalah waktu  terbaik jalan-jalan ke  Old Bagan, Myanmar. Selain udaranya dingin-dingin manja, di bulan-bulan itu angin berhembus lembut dan  stabil  hingga  mampu membumbungkan balon udara. Bayangkan  kamu melayang di atas balon udara sambil menyaksikan ribuan candi. Tapi sayang saya bertandang ke Bagan bulan Mei, saat musim kemarau dan suhu udara 40 derajat celcius.

Lalu ke Bagan mau lihat apa?

Tenang gaes, Bagan masih cantik seperti gadis-gadis Myanmar yang berjalan malu-malu sambil mengenakan longji. Meksi sebagian wajahnya ditutupi bedak thanaka, kami para pria tahu ada kecantikan di sana. Meski wajah mereka tak selalu mengumbar senyuman dan keramahan seperti orang Indonesia, orang Myanmar adalah orang-orang baik. Selama perjalanan kami banyak menerima kebaikan walau dengan wajah tanpa ekpresi atau bahasa Inggris yang membuat teman saya Rina mendadak pusing.

Meski selama di Myanmar kami hanya tiga kali  tidur hotel tapi dua hotel memperbolehkan check in lebih awal dan memberikan sarapan gratis. Sarapan yang menunya membuat saya sebagai anak kos berlinangan air mata. Duh kapan terakhir kali makan di meja dengan makanan menghampar seperti ini :((.

Drama Menunggu Taksi

Setelah melewati perjalanan darat Inle – Bagan dengan bus yang sebagian besar penumpangnya wisatawan mancanegara sebuah drama terjadi. Dengan badan  yang rasanya terisi separuh jiwa kamu harus turun bus dan mengangkut tas besar.

“Kita sudah sampai di Bagan?”

“Bukan… Di pemberhentian bus…”

“Eh Bagan ding… Tuh lihat tulisan Bagan.” Rina menunjuk huruf  latin bertuliskan  Bagan disela huruf keriting.

Mendadak terminal  ramai tapi sepertinya lebih banyak supir taksi dibandingkan penumpang. Mereka sibuk menawarkan jasa yang harganya tak masuk akal. Untuk perjalanan 6-7 km kami diminta membayar sekitar 200 ribu rupiah. Saya dan teman-teman langsung mundur lalu memilih duduk di warung kopi untuk melihat situas.  Beberapa wisatawan juga mancanegara juga ikutan duduk dan pria bersarung tetap semangat menawarkan taksi tapi tetap kami tolak.

Dua jam sok jual mahal akhirnya kita menyerah dengan harga 100 ribu per mobil alias 25 ribu per orang. Tapi pada akhirnya kami masing-masing harus merogoh dompet lebih dalam karena sebelum masuk ke kota Bagan wisatawan mancanegara dikenakan tiket masuk 20 USD. Tahu gini tadi kita pakai longji lalu puasa ngomong.

Keberuntungan Pagi

Petugas hotel tidak mengijinkan kami masuk kamar lebih awal tapi dia mempersilakan kami untuk sarapan dan ini gratis. Sepertinya orang Myanmar gampang iba kalau melihat wajah kelaparan, di hotel sebelumnya kami juga mendapatkan pengalana yang sama.

Usai sarapan kami memutuskan untuk jalan-jalan santai di sekitar hotel berharap dapat lokasi untuk berfoto manja. Kami mendapat hotel di daerah Nyaung U Town yang tidak terlalu ramai dan juga sepi. Kota ini cukup nyaman untuk berjalan kaki

Untuk mengisi waktu sebelum check in  kami berkeliling sekitar hotel, menyusuri jalan Lanmadaw 3 lalu mengambil jalan shwezigon  lalu masuk ke dalam pemukiman dan menemukan beberapa pagoda kecil.

Selamat datang di kota seribu candi, setiap sisi kota ini memang selalu ada candi atau pagoda yang membuat pengunjung terkagum. Bagi mereka penghobi sejarah dan budaya dijamin akan terpukau sekaligus penasaran namun pagi pemenuh hasrat foto akan berujar, ” Candi lagi?”

Bagi saya Bagan adalah surganya pecinta fotografi jalanan, selain ribuan candi dengan pemandangan memukau, kamu dapat merekam jejak budaya manusia melalui aktivitas dan ritual keagamaan. Meski orang Myanmar tidak pandai berbasai basi dan mudah tersenyum seperti orang Indonesia, mereka adalah  pribadi  yang baik dan terbuka dengan pendatang. Sebelum memfoto mereka sebaiknya meminta ijin walau dengan bahasa isyarat dan seulas senyum.

Bonus pagi ini saya dan beberapa teman perjalanan menemukan pagoda pertama kami Thatthe Mokgu Hpaya dan sebuah museum Tanaka yang ternyata gratis. Di museum yang dibuka tepat pukul 08:00 waktu setempat kita dapat belajar membuat Tanaka.

Apa sih Tanaka? Tanaka itu nama sejenis kayu yang biasanya dijadikan bedak dingin bagi orang Myanmar untuk melindungi kulit dari sengatan sinar matahari. Jadi jangan heran jika di tengah jalan kamu melihat pria / wanita dengan wajah coreng moreng.

Untuk dapat dipergunakan sebagai bedak dingin kayu tanaka digerus dengan air di atas batu ceper hingga sari patinya keluar. Nah cairan putih tepung ini kemudian dioleskan di wajah. Namun jika kamu tidak ingin repot ada versi instannya di warung dengan harga sekitar Rp 5.000 sampai Rp 10.000.

Jalan-Jalan Sore di Bagan

Setelah check in pukul 12 siang kami memutuskan untuk tidak keluar hotel karena suhu udara mencapai 40 derajat celcius. Bukan hanya wistawan saja yang enggak keluar rumah tapi penduduk lokal memutuskan untuk berhibernasi di dalam kamar agar tidak dehidrasi. Memang sih ada beberapa wisatawan mancanegara  nekat yang tetap menjelajah kota Bagan dengan sepeda motor tapi sepertinya menanti satu dua jam, Bagan akan jauh lebih asik untuk berjalan-jalan.

Sebenarnya tujuan kami sore ini mencari pasar tradisional, maklum  cewek-cewek dapat pesanan longji tapi sayangnya jelang sore pasar sudah tutup dan hanya beberapa toko yang buka. Karena tidak banyak pilihan longji kami memutuskan jalan-jalan santai dan singgah di sebuah warung kopi.

Tapi baru saja setengah perjalanan dari kejauhan kami menyaksikan arak-arakan panjang seperti mengarak pengantin sunat. Beberapa anak kecil menunggang kereta kencana yang ditarik oleh seekor sapi. Lalu di belakangnya diikuti orang-orang mengenakan pakaian tradisional sembari diiringi tabuhan musik.

Setelah bertanya kepada beberapa penduduk ternyata ini acara penabisan anak-anak untuk dibawa ke biara. Ketika memasuki usia tertentu anak-anak di Myanmar akan belajar agama, acara ini sebagai wujud rasa syukur, pengharapan dan doa orang tua.

Salah satu yang menarik dari iringan ini adalah setelah rombongan pria dan wanita maka berikutnya para waria yang berdandan cantik. Keberadaan waria di Myanmar memang diakui, seperti halnya di Thailand, budaya Myamnar tidak hanya mengenal dua jenis kelamin tapi ada beberapa seperti : pria, wanita, transeksual, bisex, lesbi dan gay.

Mereka tidak pernah mendiskriminasikan orientasi seksual  yang berbeda tapi meyakini  bahwa manusia yang lahir saat ini menjalani karma di kehidupan sebelumnya.

Dan sore ini kami juga menyaksikan beberapa warga yang asik bermain sepak takraw di lapangan kampung. Ternyata Bagan bukan hanya tentang balon udara dan ribuan pagoda, tapi tetap kami tidak sabar untuk menyaksikan sunrise pertama di Bagan.

Berburu Mentari

Saya dan Rina tidak pernah mengira bahwa perburuan matahari terbit akan sedramatis ini. Kesalahan terbesar kami adalah tidak survei lebih dahulu  dan hanya mengandalkan GPS ponsel gratisan. Kompleks Old Bagan itu luas teman, dalam suasana temaram tak mudah mencari Pagoda Shwezigon yang konon tempat terindah menyaksikan sunset. Beberapa biksu yang kami jumpai menunjukan pagoda yang salah, mungkin karena salah pengucapan terjadi salah paham dan informasi.

Baiklah, rasanya kita perlu mencari petunjuk lain dengan mengikuti wisatawan. Tanpa sengaja kami bertemu seoang wisatawan yang diantar penduduk lokal untuk melihat sunsrise di “secret place”. Sebuah pagoda kecil dengan pemandangan yang relatif terbuka karena tak banyak bangunan besar di sekelilingnya.

Untuk sampai di atap pagoda kami harus masuk ke pintu kecil tersembunyi yang ukurannya pas dengan badan.  Lalu menapaki tangga bata memutar yang jaraknya ke langit-langit rendah sekali. Sesekali saya harus berjongkok dan merayap dalam temaram dinding pagoda. Tak ada yang mudah untuk menyaksikan keindahan ini.

Setelah melihat semua keindahan ini kami takjim lalu hikmad menikmati momen sakral saat matahari berlahan muncul di ufuk timur. Semua orang nyaris tak bicara hanya terdengar jepretan suara kamera mengabadikan momen. Alangkah indahnya jika ada balon-balon udara yang mengambang di angkasa.

Matahari semakin meninggi kamipun kalap berswafoto seolah tak ingin kehilangan momen indah. Man teman, kalian sadar nggak sih kalau sebetulnya kita berada di atap pagoda, tempat suci yang seharusnya tidak dijamah banyak orang seperti ini. Selain puncak pagoda merupakan tempat yang suci, tempat ini tidak aman untuk dipijak banyak orang. Apalagi kita batu bata di sini terlihat tua dan rapuh , bisa saja longsor.

Baiklah untuk menghargai umat beragama saya tidak akan menayangkan foto di atap pagoda yang mungkin bisa menyakiti beberapa pihak atau menimbulkan pro dan kontra.

Bagi pecinta wisata sejarah dan keindahan panorama, tak akan cukup menyambangi Bagan dalam 1-2 hari. Meski beberapa candi dalam perbaikan (restorasi), Bagan tetap asik untuk disambangi. Saya sempat mengobrol dengan turis Jerman yang sudah berada di Bagan sekitar satu bulan. Hampir setiap hari ia mencari tempat yang berbeda untuk menyaksikan sunset dan sunrise. Duh Mas bule, ceritamu itu bikin aku jelous.

O iya untuk memudahkan aktivitas dan taransportasi kami menyewa e-bike , sepeda motor listrik yang harganya 120 ribu rupiah. Lumayan kalau dishare berdua sudah bisa jalan seharian. Karena ini pengalaman saya pertama menunggang motor listrik rasanya agak aneh, memacu cepat kendaraan tapi tidak ada deru suara mesin.

Jelang sore perburuan matahari memang tidak kalah seru namun tidak sedramatis pagi hari. Sejak pukul 4 sore kami sudah stand by di Pagoda Shwesandaw. Karena masih dalam perbaikan pagoda ini jadi tidak begitu cantik untuk difoto tapi pemandangan dari atas sini juara banget.

Gugusan candi candi di sekitarnya membuat saya berimajinasi sedang berada di sebuah kota tua. Dan keinginan untuk naik balon udara kembali menggoda, konon harganya lumayan dalam mengguncang isi kantong sekitar 3,5 juta rupiah. Bayangkan Bro biayanya hampir sama dengan biaya semua perjalanan ini ( Jalan-Jalan ke Myanmar seminggu) tapi tidak apa-apa untuk seumur hidup sekali.

Traveling ini terasa begitu singkat sekali, ketika matahari terbenam sempurna kami bergegas kembali ke hotel untuk menanti jemputan bus ke Yangon dan lagi-lagi malam ini bermalam di atas bus.

Meski tanpa balon udara Bagan tetap memesona dan pastinya saya akan kembali lagi saat musim balon udara tiba.

Tulisan ini tayang dharian Batam Pos, 24 Februari 2019

26 tanggapan untuk “Masihkah Keren Bagan Tanpa Balon Udara?”

  1. cantik2 fotonya..ngak bisa lagi ke sana..suatu hari nanti ya..itu dimukanya bedak dingin ke?seperti pernah melihat pagoda tu dalam beberapa movie..

    Suka

  2. I no go there before, but this place looks nice. Love the photos you are sharing here, Indonesia went once only when I was teenager time followed my parents to go.

    Suka

  3. Nice entry to share here. Hoping to go there one fine day with family. Nice shot of view. So beautiful. It suh a wonderful and great moment to be there. Thanks for sharing ! Atleast I have new knowledge and know about another country’s place

    Suka

  4. Cantik benar photo kamu. Aku pingin jalan-jalan oversea. Tapi jalan dalam negeri pun ngak bisa lagi. Hehe. Aku layan cerita travel kamu pon puas hati sudah

    Suka

  5. Menarik juga pemandangan di sini. Rasanya kalau pergi ke sini, banyak yang boleh saya belajar tentang culture di sini. Memang berbeza dari tempat saya

    Suka

  6. Masa mula2 baca tajuknya, puas sy memikir apa itu Bagan. Rupanya nama tempat di myanmar. Udah lama teringin melawat ke sana. Ramai yg kata waktu musim belon udara adalah waktu yg cantik utk dilawati.

    Suka

  7. Such a beautiful place and there are beautiful photos U have! U captured evvery moment and makes me feel like I’m there myself. I’ve never been to Myanmar and u make me feel like going.

    Suka

  8. Aduhhhh! videonya keren banget kak! Tak pernah lagi aku terfikir mau ke sini. Wisatawan yang menarik sekali bila dapat lihat gugusan candi yang masih lagi kukuh berdirikan. Moga suatu hari nanti aku dapat ke sana juga 😀

    Suka

  9. Sis dah pernah ke Myanmar..memang seronok melihat tempat orang..macam-macam boleh kita pelajari dan lihat kisah kehidupan satu2 negara tersebut. Bila kesini melihat kehidupan mereka..terasa beruntung hidup di negara kita sendiri..

    Suka

  10. Lia belum pernah ke Myanmar lagi. Teringin juga nak ke sana nak rasa sendiri & belajar budaya masyarakat negara ini. Harap sangat dapat melawat salah satu negara di Asia Tenggara ini.

    Suka

  11. Inilah kehidupan. Kalau masa menginzinkan, menjelajahi ke setiap tempat dan merasakan pengalaman hidup yang berlainan mmg byk membantu kami dari segi pemikiran dan jugak “problem solving skill”. Selamat mencari pengalaman hidup!

    Suka

  12. Banyak banyak gambar dalam entri you ni, i terbuka luas yang part mak tukar pampers anak tu, semoga mereka baik baik aja… tempat ni nampak cantik dan sangat menepati kehidupan realiti.. bagusnya dapat travel ke sana ke sini untuk melihat sendiri kehidupan di serata dunia kan…

    Suka

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar