Jejak masa lalu itu bernama kenangan, ia tak akan abadi jika tidak tercatat dengan baik di dalam hati .
Warga desa Tenganan Pegringsingan menyakini bahwa nenek moyang mereka adalah prajurit. Terlahir dari garis keturunan kesatria pemuja Dewa Indra mereka teguh berpakem pada awig-awig.
Tata ruang desa pun menganut konsep jaga satru (berjaga dari serangan musuh) dengan bukit sebagai benteng alam. Empat pintu gerbang desa atau lawangan masing-masing menghadap arah mata angin seolah bersiap dari serangan musuh.
***
Matahari belum terlalu tinggi ketika saya menjejakan kaki desa Tenganan Pegringsingan , kecamatan Manggis , kabupaten Karangasem. Patung dua pria berlaga perang pandan mengingatkan kekayaan ragam budaya bela diri nusantara.
Namun bagi masyarakat Tenganan, perang pandan bukanlah sekedar adu kekuatan. Ritual ini merupakan bentuk pemujaan kepada Dewa Indra dan bakti kepada leluhur atau ngayah. Tak ada dendam usai petarungan sengit berdarah, yang tersisa hanya bahu membahu mengobati luka dan menyeka peluh atau darah yang mengalir. Sikap kebersamaan, gotong royong dan sportivitas memanglah ciri seorang prajurit sejati.
Waktu seolah berputar lambat ketika melangkah lebih jauh menyusuri jalan desa. Atap ijuk dengan tiang kayu mendominansi hampir semua banguan di sini. Namun yang paling menonjol bale agung. Bangunan memanjang terbuka tanpa dinding merupakan balai pertemuan bagi warga yang sudah menikah. Bagi mereka yang belum menikah ada bale truna dan bale dahe.
Ranting pohon kamboja di halaman pura menjari seolah menggapai angkasa, ia tinggi-tinggi mencuat di antara dahan besar. Tak ada pernah dahan atau ranting yang dipaksakan patah.
Belumlah sempat pertanyaan ini terujar lebih jauh di antara obrolan bersama pria di atas bale. Seorang pria dengan wajah bersahaja menyalami saya, memperkenalkan diri sebagai Ketua Adat Desa Tenganan. Menilik wajahnya , usia Ketut Sudiasdika mungkin baru mencapai kepala empat. Di usia semuda itu ia sudah menjadi pemimpin desa yang teguh memegang adat.
Alam dan Orang Tenganan
Awig-awig mengatur hubungan manusia dan alam dengan sangat baik . Filosofinya manusia boleh memiliki segalanya namun hanya diperkenankan mengambil secukupnya. Sebagai contoh hanya ranting pohon yang sudah jatuh di atas tanah yang dapat dipergunakan untuk kayu bakar. Jadi sudah dapat dibayangkan bagaimana sulitnya menebang pohon di sini. Ya benar, harus ada ijn dari semua warga melalui musyawarah bersama.
Ada juga beberapa jenis tanaman yang hanya bisa dimanfaatkan jika sudah jatuh ke tanah seperti durian, kemiri, kluwak dan treep, dan uniknya siapapun dapat memanfaatkannya meski bukan pemilik tanah.
Jenis tanamanya berbeda aturannya pun berbeda , seperti tidak diijinkan mengambil dua kelapa dari pohon yang sama atau dua bambu dari rumpun yang sama. Semua peraturan bertujuan agar manusia senantiasa menjaga keseimbangan alam tanpa mengekploitasi berlebihan.
Pernikahan dan Rumah Tangga
Bagi saya yang jomblo (baca : belum menikah) bahasan tentang pernikahan adalah hal yang menarik. Meski menganut sistem indogami, hanya diijinkan menikah dengan orang yang berasal dari Tenganan saja. Namun tradisi inilah yang membuat adat istiadat Tenganan tetap bertahan. Karena status pernikahan berhubungan dengan status adat orang Tenganan.
Ritual pernikahan Tenganan tidak mengenal mas kawin . Konon memberi mas kawin bagi mempelai perempuan merendahkan kaum hawa. Mereka sangat menjunjung tinggi kesetaraan gender antara pria dan wanita. Sehingga dalam hukum waris perlakuan antara anak lelaki dan perempuan sama.
Poligami dan percerain juga tidak diperkenankan di sini karena melanggar awig-awig. Namun yang membuat saya terkagum adalah, jika ada pasangan muda yang baru menikah dalam kurun waktu tiga bulan belum memiliki rumah. Maka adat akan memberikan tanah untuk didirikan rumah.
Misteri Kain Gringsing
Langkah saya tak hanya jauh ke dalam desa tapi memasuki rumah rumah warga berdaun pintu kembar. Pemiliknya jelas masih kerabat Pak Ketut, karena semua orang di desa ini bersaudara bukan?
Kain panjang menjuntai hampir memenuhi seluruh sisi tembok. Di sisi lain tergantung benang panjang yang belum dipintal. Inilah gringsing, kain khas Tenganan yang dibuat dengan teknik dobel ikat. Konon hanya ada tiga di dunia yang menggunakan teknik ini yaitu : Tenganan , India dan Jepang. Entah ada hubungan apa antara desa Tenganan dan India. Sepertinya bukan kebetulan jika kain sari mirip dengan kain panjang yang sering dikenakan oleh gadis di sini.
Tenganan merupakan imigran dari India kuno. Imigran tersebut kemungkinan membawa teknik dobel ikat melalui pelayaran dari Orrisa atau Andhra Pradesh (sumber : Clothing, Ritual and Society in Tenganan Pegeringsingan Bali, Urs Ramseyer – 1984)
Secara etimologi , gringsing berasal dar kata gring yang berarti ‘sakit’ dan sing yang berarti ‘tidak’, sehingga bila digabungkan menjadi ‘tidak sakit’. Meski orang luar menganggap gringsing memiliki aura mistis, orang Tenganan menganggapnya sebagai perlengkapan ritual keagamaan.
Butuh waktu bertahun-tahun untuk membuat selembar kain gringsing. Teknik pewarnaannya hampir mirip dengan batik Gentongan Madura. Benang yang berasal dari kapas terbaik diwarnai dengan pewarna alami seperti minyak kemiri, kulit akar mengkudu dan nilam selama berhari-hari, bahkan sebulan lebih. Semakin lama perendaman maka kain akan semakin kuat dan lembut
Motifnya kebanyakan terinpirasi dari flora dan fauna yang membentuk ornamen-ornamen simetris. Pak Ketut bilang, pola simetris ini melambangkan keseimbangan antara manusia, alam dan Tuhan.
Jangan heran jika kebanyakan motif kain gringsing kuno mengusung warna merah, putih dan hitam. Masing-masing warna ini mewakili tiga dewa utama Brahma , Wisnu dan Siwa.
Sayang hari itu saya tidak melihat langsung proses pembuatan kain gringsing. Berharap satu saat dapat kembali ke sini dengan jeda waktu yang lebih panjang dan melihat proses pembuatan kain tenun yang konon termahal di Indonesia.
Empat Jiwa Indonesia
Tenganan bagai sebuah fragmen Jejak Mahakarya yang mencerminkan empat Jiwa Indonesia. Bagaimana lelaki Tenganan harus merasakan kegigihan berjuang di arena Perang Pandan. Para wanitanya dengan kesabaran tinggi membuat kain gringsing dengan teknik tenun paling rumit di dunia. Semangat gotong royong dan kebersamaan yang tercermin dalam banyaknya bale-bale desa. Namun semua ini tak akan bertahan tanpa keteguhan hati warga Tenganan untuk menjalankan awig-awig. Seperti prajurit yang teguh berlaga di medan perang hingga titik darah penghabisan.
Foto-foto, narasi, dan deskripsi ceritanya selalu cetar. Btw, kenapa ikut lomba lagi? Bagaimana kalau menang lagi? Bukannya cuti dah habis? Hibahin ke aku ya hadiahnya haha.
SukaSuka
Lomba KAn ngga selalu hadiah dan menang. Gereget ya aja KAK bikin tulisan sesuai kriteria orang
SukaSuka
Kain tenun di mana-mana emang mahal ya, soalnya dibuat dengan cinta #eaaa #uhuk
SukaSuka
Cinta wakkakaka apa itu
SukaSuka
lukisan telurnya keren bangetttt…
ehh itu telur mateng apa mentah apa gak ada isinya??
SukaSuka
Ngga ada kan cuma untuk pajangan aja kak
SukaSuka
Tulisannya bagus… foto2nya juga keren. Bali memang selalu keren ya… sayang belum sempat ke Tenganan
SukaSuka
Ayo KAK ke Tenganan destinasi wajib nih
SukaSuka