Lampung, Travelling

Piknik Mudik – Liwa in 24 Hours

Kapan ya terakhir piknik di tanah kelahiran Lampung? Sepertinya tahun lalu ke Pulau Pasaran bersama Om Yopie @kelilinglampung dan Mas Teguh @lampungheritage.

Perjalanan yang saya rencanakan bersama Bang Yopie tahun ini nyaris batal. Ya sudahlah , mungkin memang belum berjodoh melihat pesta Topeng Sekura. Sekarang saya  tidak terlalu memaksakan diri untuk sebuah perjalanan. Apalagi jauh-jauh hari ibu sudah mengingatkan agar bersilaturahmi ke semua rumah sanak saudara.

“Jangan lupa, setelah tempat Mbah Ni hari ini , besok tempat Mbak Leli , sekaligus juga tempat… bla… bla… Banyak-banyak silaturahmi untuk membuka pintu rejeki dan jodoh.” Ya tetaplah kembali ke  pambahasan itu lagi

Kabut di Liwa
Kabut di Liwa

Semua “tugas negara” selesai di hari ketiga Idul Fitri dan tiba-tiba Bang Yopie @kelilinglampung menghubungi untuk piknik yang nyaris gagal. Rencananya  pukul 11 malam berangkat ke Liwa untuk menghindari macet. Sampai di Liwa pukul 04:00 WIB lalu tidur dua jam sebelum hunting sunrise di Bukit Bawang Bakung.

Siang harinya menyaksikan Pesta Topeng Sekura dan ke Danau Ranau. Lalu jelang tengah malam kembali ke Bandar Lampung. Minggu pagi sudah sampai di rumah :D. 24 jam saja. Dan hari minggunya ada kesempatan belanja oleh-oleh, kongkow cantik bareng kaskuser Lampung dan packing.

Dedek-Dedek ini jauh-jauh dari Kotabumi untuk hunting foto
Dedek-Dedek ini jauh-jauh dari Kotabumi untuk hunting foto

Meski ponakan paling besar sempat protes dan mengajukan keberatannya langsung ke Mbah Putri. Alasannya, Omnya yang ganteng ini pulang setahun sekali tapi kok malah kabur ke jalan-jalan.

“Oom butuh gerak dan  olahraga. Selama di rumah kerjanya cuma makan tidur kan nggak sehat.”

Alasan memang bisa dicari . walau berniat nekat pergi tapi tetap minta ijin dan doa restu. “Siapa tahu di Liwa menemukan jodoh Bu.” *Ciaattttt jurus pamungkas dikumandangkan*

Gunung Seminung tertutup kabut
Gunung Seminung tertutup kabut

Setelah melewati jalanan lengang bersama Bang Yopie dan keluarga akhirnya sampai di kota Liwa. Dan bermalam sejenak di homestay milik Eka Fendiaspara, fotografer kondang  Liwa. Usai melepas lelah dua jam saja kami bergerak Bukit Bawang Bakung.

Bukit Bawang Bakung

Jika di Magelang ada Punthu Setumbuk, Liwa memiliki Bukit Bakung dengan pemandangan tak kalah eksotis. Jangan berpikir foto di bawah ini hasil editan dua foto. Jika beruntung kita akan melihat segaris kabut tipis seolah memisahkan hutan di atas gunung dan  sawah hijau.

Namun hari ini kami kurang bernuntung , kabut sangat tebal jadi gradasi pepohonan tak dapat tertangkap kamera dengan baik.

Jelang siang kabut memang memudar tapi langit sudah berganti dengan warna biru sehingga aura mistis Geredai yang tersohor itu tak tampak.

Bawang Bakung, bukit yang dipopulerkan oleh Eka Fendiaspara melalui fotonya yang viral di dunia maya, kini menjadi salah satu tujuan wisata Liwa. Jelang akhir pekan biasanya penghobi fotografi dan instagram dari luar kota ramai menyambangi bukit yang berada di Pekon Negeri Ratu .

Duo Dedek Gemes ini setia menanti kabut menghilang
Duo Dedek Gemes ini setia menanti kabut menghilang
Akhirnya kabut menghilang disapa langit biru
Akhirnya kabut menghilang disapa langit biru

Pesta Topeng Sekura

Pada hari ke 4 bulan Syawal , pesta Topeng Sekura terasa lebih spesial dibandingkan  hari-hari sebelumnya. Perayaannya   berlangsung di halaman rumah raja Skala Brak,  PekonBalak kecamatan Batu Brak. Jika sang raja pulang kampung maka di akan ada panjat pinang khusu bagi anak-anak yang buahnya amplop berisi uang. Namun jika sang raja tak mudik, maka hadianya hanya barang-barang saja.

Sekurai kamak yang tidak baik hati
Sekurai kamak yang tidak baik hati

Tradisi Sekura lahir di abad ke 9 dan masih berahan hingga saat ini merupakan bagian sejarah masuknya agama Islam di Lampung Barat.

Pada masa lalu penganut animisme pimpinan Ratu Sekerumong melawan penganut Islam pimpinan Maulana Penggalang Paksi Bersama empat putranya, Maulana Nyerupa, Maulana Lapah Diwai, Maulana Pernong, dan Maulana Belunguh.

Para prajurit masing-masing paksi yang ternyata masih memiliki hubungan kerabat mengenakan topeng saat  berperang agar tak dikenali. Maka tidak mengherankan wajah  yang ditampilkan tidaklah seindah  topeng pada umumnya. Konon semakin buruk rupa topeng maka semakin saktilah sang empunya.

Menanti pertunjukan sebelum berubah menjadi sekurai betik
Menanti pertunjukan sebelum berubah menjadi sekurai betik

Pada perkembangannya Sekura menjadi acara budaya silaturahmi dan dilaksanakan berpindah-pindah dari desa ke desa setiap harinya.

Bukan orang dewasa  saja yang dilibatkan  dalam acara ini tapi juga anak-anak. Hingga akhirnya sekarang ada dua jenis sekura yaitu sekura kamak dan sekura betik.

Sekura kamak biasanya dipakai oleh orang dewasa. Sesuai dengan bahasa Lampung, kamak berati kotor atau buruk maka topeng jenis sekura ini mengenakan topeng buruk rupa. Sedangkan asesorisnya daun-daun kering, ijuk dan pakaian compang-camping. Dan sering mempresentasikan sifat jahat manusia , tak mengherankan terkadang sekura kamak suka jahil menggoda.

Sekurai betik , baik hati dan tika sombong
Sekurai betik , baik hati dan tika sombong

Sedangkan sekura betik mempresentasikan jiwa-jiwa yang bersih dan biasanya dikenakan oleh pemuda atau anak-anak. Topengnya terbuat dari kain yang dilipat khusus lalu sang pelakon mengenakan kacamata hitam. Pakaian yang dikenakan bersih dan rapih.

raja Sekala Brak memberikan sambutan
raja Sekala Brak memberikan sambutan
penonton sekurai
penonton sekurai

Danau Ranau

Jelang siang bersama Om Yopie sekeluarga bergerak ke utara, tepatnya ke Danau Ranau. Danau terbesara ke dua di Sumatra ini dapat disambangi dari propinsi Lampung dan Sumtara Selatan.

Kira-kira dari kota Liwa membutuhkan waktu sekitar dua jam perjalanan dengan pemandangan perkebunan sayur dan pemukiman penduduk.

Danau Ranau dan Gunung Seminung
Danau Ranau dan Gunung Seminung

Kami lebih banyak duduk di pinggir danau memandang keindahan danau dengan ornamen gunung Seminung. Sesekali mengabadikan nuansa danau yang terasa lebih damai dibandingkan di kota besar.

Waktu seolah berjalan lambat di sini. Tak ada bising kendaraan , hanya suara hembus angin atau riak ombak beradu ringan dengan bibir pantai.

Andai memiliki lebih banyak waktu akan tinggal satu malam di salah satu penginapan. Namun apa boleh dikata, jelang tengah malam nanti kami harus kembali ke Bandar Lampung.

15

Ya akhirnya, waktu kembali berjalan cepat. Setelah beristirahat sejenak di rumah Eka Fendiaspara, Liwa. Bang Yopie kembali menggas kendaraan menuju Bandar Lampung. Tepat jam tiga pagi saya sampai di Natar.

Terimakasih untuk Bang Yopie sekeluarga, menemani perjalanan 24 jam  Liwa yang mungkin tak akan saya lewati tahun ini. Karena cuti tahunan sudah tak ada lagi. Terimakasih juga untuk Bang Eka Fendiaspara yang sudah memberikan tumpangan istirahat dan berkisah tentang Sekura.

 

 

Penginapan di Liwa
Hotel Sindalapai, Jl. Raden Intan No. 001 – Liwa (0728-21750)
Hotel Permata, Jl. Raya Way Mengaku – Liwa (0728-21022)
Hotel Pesagi, Jl. Raya Sebarus – Liwa (0728-21252
Homestay Piknik Liwa (082186409723)

 

58 tanggapan untuk “Piknik Mudik – Liwa in 24 Hours”

  1. ah kirain ibu sekarang udah sering ngingatin “danan, ingat umur.. ibu kangen menggendong cucu dari kamu”
    kirain loh bang.. kirain… 😀

    Suka

  2. aiiih..bener deh kalau mudik itu susah mau jalan2 ya..
    Liwa itu dulu selalu dilewatin kalau mau ke Bengkulu, kenapa nggak pernah mikir mampir di situ ya
    catet ah…, lain kali pasti ngubek posting ini lagi kalau mau ke Liwa..

    Suka

      1. belum fix om, harus bagi hari antara singapur, batam, tanjung batu
        ke singapurnya 16-17 yuk, sorenya pulang ke batam
        kalo 17an mayan dapet nasi rendang di kedubes sg :p wkwkwkw

        Suka

      1. Kalo balik lagi ke sana ajak aku ya mas Danan. Waktu ke Liwa bulan April lalu bareng mas Yopie, kami ga lihat kabut. Pagi-pagi masih di Danau Ranau 😀

        Pesta Sekuranya menarik. Pingin lihat langsung seperti apa acaranya.

        Suka

  3. Keren!
    Emang sebenarnya kalau mau berburu kabut di Liwa harus tinggal beberapa hari biar dapat, saya sendiri yang tinggal di sana jarang bisa dapat suasana kabutnya, ditambah lagi karena sayanya yg agak susah buat bangun pagi-pagi, hahaha

    Kapan kapan main ke Liwa lagi ya mas Danan, senang bisa berkenalan langsung 😀

    Disukai oleh 1 orang

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar