Kepulauan Riau, Travelling

Mengurai Dosa di Durai

Hati-hati dengan rasa penasaranmu. Jika kau tak mampu mengendalikannya dengan baik , ia akan membawamu jatuh dalam dosa. Dosa yang mungkin akan kau sesali seumur hidupmu.

Durai bagai mimpi yang lepas dalam genggaman. Kami sudah merapat di balik bukitnya, bermalam di sisi pulau batu  yang airnya berlinang jernih. Bayangkan di malam purnama kau dapat melihat ikan berenang bebas di dasar laut.  Bagaimana dengan siang hari? Libido travelling saya sejenak bangkit lalu lemah membayangkan badai yang menyapu perjalanan pertama ke Durai (baca di sini)

mendaki bukit untuk sampai di pantai
mendaki bukit untuk sampai di pantai

“Lekaslah kalian berangkat ke Durai , jika tak ingin tersapu badai”, wanita paruh baya pemilik penginapan menyarankan. Mie kuah lezat yang baru saya nikmati sececap  nyaris terlontar seolah memburu waktu. Makan siang menjadi secepat kilat hanya menyisakan rasa kenyang. Tanpa rasa nikmat.

Ini hari kami ketiga di Anambas . Setelah mengurai semua keindahan pantai dan kabupaten Anambas, rasanya tak lengkap tanpa Durai. Pulau itu memang tak seelok Penjalin. Tapi destinasi wajib yang harus dikunjungi jika. Setiap malam setidaknya tiga indukan penyu meletakan telurnya di sana.

pondokan di pulau Durai
pondokan di pulau Durai

Dan kembali biduk fiber mengantar kami ke Durai. Kali ini nakodanya bernama Udin. Dia  lebih piawai dari nakoda kami sebelumnya, nekat lebih tepatnya. Gegara kisahnya yang tak pernah surut tentang Durai, kami kembali menyambangi pulau penyu itu.

“Sudah sampai ke Anambas, masa tak sampai Durai. Sia-sialah…” Celoteh itulah yang membuat jiwa petualang kami panas. Meski awalnya berkobar-kobar karena nafsu ingin melihat keindahan alam. Namun pada akhirnya nyali  menciut.  Ombak setinggi dua meter menghadang di depan. Manufer pertama sang nakoda piawai mengelak, namun berikutnya. “Byur…!!!” Ombak pertama sukse menembus   geladak.

penangkaran penyu kosong
penangkaran penyu kosong

Kami terdiam dalam khawatir, tak ada yang bersuara apalagi gaduh. Semua orang diam-diam melantunkan doa. Mungkin doa perpisahan, penyesalan atau doa terakhir.

“Tuhan… Aku…. Byur!!!” Air masuk ke dalam kabin lagi , memporak-porandakan keberanian yang dikobarkan sesaat. Tapi nakoda tetap tegar dan bersemangat, apalagi ujung Durai terlihat mengurai dari balik ombak. Bukit hijau menyembul.

keluarga kucing penunggu pulau Durai
keluarga kucing penunggu pulau Durai

Lega rasanya mencapai daratan. Hey tapi jangan senang dulu. Ternyata tak mudah menyandarkan kapal di Durai . Salah perhitungan kapal akan terhempas ke dinding karang lalu semua kisah ini usai man.

Tak ada pilihan selain berlabuh di belakang pulau. Tepatnya di dekat bukit batu tempat kami berlindung beberapa hari lalu. Dan epiknya , untuk sampai ke bagian depan pulau kami harus hikking menyebrangi bukit.

“Nanjak  kan ngga masuk itinerary perjalanan?”

“Engga ini , cuma bonus.”

“Oke fine bonus tapi, niatnya mantai tetap nanjak kakak.”

“Duh cerewet bener.”

“Engga kak , aku lelah aja bawa barang segini banyak pake nanjak”

matahari tenggalam di Durai
matahari tenggalam di Durai

Durai memang tak seperti  yang diceritakan banyak orang di internet . Konon di sini ada warga yang setia menjaga penyu  . Nyatanya, Durai tak lebih dari pulau sunyi. Hanya beberapa  kucing setia mendiami pulau berpasir putih.

“Tapi siapa juga kak yang mau tinggal di sini dengan musim seperti ini.”

“Iya juga sih. Siapa yang mau terjebak badai berminggu-minggu di sini.”

“Jadi yang salah bukan mereka. Tapi yang salah waktu berkunjung.

“Agustus bukanlah waktu yang tepat bertamsya ke Anambas.”

“Tidak ada orang tidak apa, asal ada penyu.”

“Betul Kakak : D”

malam menyapa pulau Durai
malam menyapa pulau Durai

Dan sore itu kami dimanjakan dengan pesona matahari terbenam dan rona jingga. Serasa berada di pulau pribadi. Enggan rasanya bangkit melakukan aktivitas pagi.  Tapi kami harus makan malam dan bersiap mengintip penyu bertelur.

penyu tidak jadi bertelur , dosa gua di Durai
penyu tidak jadi bertelur , dosa gua di Durai

Tabir malam memang baru dibentangkan tapi temaram terasa mencekam di sini. Tanpa sumber penerangan listrik kami melewati ritual makan malam bersama.

Tak banyak aktivitas dilakukan kamipun bergegas kembali ke pantai, berharap bintang berkelip meriah di angkasa. Tapi rasanya suara riak air dan angin lebih meriah.

Jejak-jejak itu berkilau diterpa cahaya bulan. Ia datangnya dari arah pantai bercampur dengan air laut.

“Woi ada jejak penyu, baru lewat nih kayaknya.”

Bagai detektif kami menyusuri jejak basah ke arah dart . Sepertinya empunya menuju bukit pasir kecil di dekat pohon kelapa. Nanar sinyal senter berkedip-kedip mengubah gelap jadi hingar cahaya.

“Tuh penyunya lagi bertelur.” Hewan bercangkang lebih dari dua meter menggelepar. Menggerakan keempat kakinya membuat lubang pasir besar.

“Sssttt… Diam!”

Kami hening dalam diam tapi lampu flash kamera bertubi-tubi menghujani sang penyu. Mahluk lamban itu terlihat panik  lalu bergegas kembali menuju laut.

Sekali lagi kami diam tapi tanpa cahaya. Hanya rasa bersalah menggelayuti sanubari. Ya kami bersalah. Bayangkan  induk penyu yang akan bertelur harus mengurungkan niatnya dan kembali mencari tempat aman sambil menahan rasa sakit.

selamat pagi Durai
selamat pagi Durai

Karena kejadian ini, kami mengurungkan niat mengintip penyu bertelur lalu kembali ke pondokan. Tidur lebih awal tanpa kata. Semua orang menyadari kesalahannya.

kakak ini menyesal bangey lho
kakak ini menyesal bangey lho
kami yang nista karena dosa di Durai
kami yang nista karena dosa di Durai

Alam pun murka.  Malam itu badai  menyapa Durai  bagai peringatan dari yang Maha Kuasa. Bukan, bisa jadi ini azab. Bagaimana jika badai ini tak berhenti hingga besok atau lusa.

Dalam lelap kami berdoa sekaligus meratapi dosa di Durai. “Tuhan ampuni dosa-dosa kami… Rasa bersalah ini mungkin tak akan hilang seumur hidup.”

Rasa penasaran terkadang  menghilangkan hormatmu pada alam dan mahluk di dalamnya.  Mungkin ini pelajaran berharga bagi pejalan alay seperti kami.  Travelling bukan hanya untuk memenuhi ego pribadi. Mencari tempat terbaik atau mahluk terunik lalu berselfie sepuasnya.

lihat terumbu karangnya keren kan. sayang gelombang tinggi
lihat terumbu karangnya keren kan. sayang gelombang tinggi

Durai tak semurka yang kami kira. Di pagi hari anginnya lembut membelai. Namun bukan itu yang membuat hati lega. Lubang pasir yang semalam kami lihat ternyata sudah tertutup dan menyisakan jejak basah baru. Induk penyu kembali lagi dan meletakan telur-telurnya di sini.

Ya rasa bersalah itu kini tak begitu dalam. Rasa dosa di Durai sudah mengurai tapi tak akan hilang karena ini perjalanan berharga.

Perjalanan kadang tak selalu mulia. Jika ada pengalaman nista,  beranikah kamu mengkisahkannya. Ini dosaku sebagai pejalan yang tak sempurna. Bagaimana dengan perjalananmu?

12 tanggapan untuk “Mengurai Dosa di Durai”

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar