Kepulauan Riau, Photography, Travelling

Lalu Lalang Belakang Padang

Jika hatimu resah karena rindu tanah di tapal batas Tumasik . Bertandanglah kemari, keelokan masa lalu dan kini berpadu dalam satu waktu. Gedung pencakar langit dan kelong kayu tua  seolah berdampingan tanpa jarak di sini

Puluhan tangki minyak besar di  Sambu menggambarkan betapa  jayanya dulu pulau depan  Belakang Padang. Sejak zaman Belanda (1897) pulau Sambu menjadi basis pengepul  minyak dan BBM. Posisinya yang strategis menjadikannya  terminal pemasok BBM ke berbagai daerah di Indonesia termasuk  bahan bakar bagi kapal tanker yang berlayar di Selat Malaka.

pulau Sambu menyambut pertama kali menjejakan kaki di Belakang Padang
pulau Sambu menyambut pertama kali menjejakan kaki di Belakang Padang

Namun kejayaan itu telah berakhir dengan hadirnya primadona baru ,  pulau Batam. Jika dibandingkan negeri tetangga waktu seolah berhenti di Sambu . Tak ada pembangunan infrastruktur berarti di pulau seluas 150 hektar.

Pulau Lengkana dengan latar belakang Singapura
Pulau Lengkana dengan latar belakang Singapura

Bagaimana dengan Belakang Padang?

Perekonomian  pulau itu tetap menggeliat tapi tidak  seperti dulu. Sejak dulu kaum muda penghuni Belakang Padang memilih merantau. Tak mengherankan beberapa kali saya bertemu warga Singapura  leluhurnya berasal Belakang Padang.

perairan Singapura tak pernah sepi
perairan Singapura tak pernah sepi

Sesuai julukannya “Pulau Penawar Rindu”, pulau terluar nusantara  kini benar-benar menjadi penawar rindu bagi perantau. Jelang hari raya agama Islam atau  imlek , Belakang Padang ramai didatangi  pemudik .  Mereka bertandang untuk   sekedar melepas kerinduan dengan sanak saudara dan  mengunjungi makam leluhur.

ujung Lengkana dan kehidupannya
ujung Lengkana dan kehidupannya

Dari atas bukit di pemakaman China saya berdiri, melongok pemandangan tak biasa . Jika kebanyakan pelancong terlena dengan kuliner lezat dan bangunan tua tempo dulu. Saya tergoda dengan lalu lintas kapal besar.

kapal tua sandar di Belakang Padang
kapal tua sandar di Belakang Padang

Bangunan mirip kapal Marina Bay Sands terlihat jelas dari Belakang Padang. Dulu orang-orang di sini tak perlu paspor untuk keluar negeri. Namun sekarang berbeda, mereka yang ingin ke Singapura harus menuju pelabuhan Feri Internasional  Sekupang terlebih dahulu.

kapal kapal besar di Selat Philips
kapal kapal besar di Selat Philips

“Hati-hati kalau sudah minum air  Belakang Padang. Kamu pasti akan kembali ke sini lagi karena rindu”, celoteh teman jalan saya Mahbub alis Bob.

Apa yang dikatakan Bob tak sepenuhnya salah. Konon dulu ada  perantau  Bugis bernama Daeng Demak. Ia menemukan pulau kosong tak berpenghuni dengan dataran luas. Padang ilalang menghampar luas di balik pepohonan lebat. Maka dinamakan pulau tersebut Belakang Padang.

Akhirnya pulau tak berpenghuni disambangi banyak orang dari seluruh nusantara. Suatu saat Daeng Demak kembali ke tanah kelahiran di Sulawesi.

Bak telah meminum air di Belakang Padang, ia merasakan kerinduan untuk kembali ke Pulau Belakang Padang sehingga terciptalah sebuah julukan “Pulau Penawar Rindu”.

Belakang Padang dan Sambu dari atas bukit
Belakang Padang dan Sambu dari atas bukit

Nisan-nisan berjajar memenuhi punggung bukit. Beruntungnya mereka yang tertidur abadi di sini, tiap waktu dapat melihat keindahan tersembunyi Belakang Padang.  Sambu dan  Lengkana bukanlah nirwana  namun keelokannya mampu membuat saya dan Bob bertahan lama di sini.

Makam cina di atas bukit Belakang Padang
Makam cina di atas bukit Belakang Padang

Saya dan Bob tak bergeming. Kami masih terkagum  melihat  spot tak terduga. Tak ada rencana panjang hanya mengikuti langkah kaki dan naluri.

Nelayan mencari ikan
Nelayan mencari ikan

Suara adzan memanggil kami ke tepian pulau, menuju masjid dekat pelabuhan. Tak tahu berapa banyak air yang kami tenggak, udara panas memang memancing dahaga.

“Masa sih kita jauh-jauh ke sini cuma untuk minum es “, seloroh Bobo sambil cengar-cengir.

“Eh kita ke sini kan mau hunting.”

“Kalo hunting nggak sebentar-bentar makan dan minum.”

10

Belakang Padang memiliki kuliner lezat wajib coba. Tapi sayang karena saya dan Bob datang kesiangan,  warung-warung  sudah tutup. Kita berjanji akan datang dan menginap di sini lain kali.

Kembali kami menyusuri dermaga dekat pasar , menyaksikan kapal lalu lalang. Negeri Singa semakin terlihat jelas dari sini. Andai  tak ada larangan menyebrang langsung kesana, kami akan langsung ke Singapura.

tangki besar pengepul minyak pulau Sambu
tangki besar pengepul minyak pulau Sambu

Sambu tetap terlihat hening tanpa aktivitas, berbeda dengan perairan Singapura yang selalu dipadati kapal-kapal besar.

Seutas pertanyaan pun terbesit. Kira-kira apa yang dipikirkan orang-orang yang tinggal di gedung pencakar langit sana ketika melihat kemari?

Nyingapur yuk dari sini :D
Nyingapur yuk dari sini 😀

Ah , abaikan. Mereka tak memiliki waktu untuk memikirkannya. Sesunggunya kehidupan di sana tak sesantai di sini. Di sana, tak ada yang berjalan sesantai kita. Apalagi duduk  berjam-jam  di atas kelong sambil menerawang.

antrian pancung penumpang ke Batam
antrian pancung penumpang ke Batam

Suara Bob membuyarkan lamunan saya.  Sohib travelling yang baru saya kenal beberapa bulan mengingatkan hari sudah sore, saatnya kembali ke Batam.

Sepanjang perjalanan pulang saya pun masih merenung. Sesungguhnya esok nasib kami tak jauh dengan mereka yang ada di gedung pencakar langit sana. Duduk di depan PC berjam-jam sambil bergumam. “Libur panjang datanglah… aku butuh kamu.”

pulau Sambi dan sisa kejayannya , perhatikan ada rumah besar di belang sana
pulau Sambu dan sisa kejayannya , perhatikan ada rumah besar di belang sana
Kelong tempat saya duduk berjam-jam
Kelong tempat saya duduk berjam-jam

 

Bagaimana ke Belakang Padang?

  1. Datang saja ke pelabuhan Rakyat Sekupang. Ingat pelabuhan rakyat ,  bukan  pelabuhan Feri Internasional.
  2. Biasanya setiap setengah jam ada pancung umum dengan tarif 20 ribu sekali jalan.
  3. Kalau  menyebrang  berkelompok bisa menyewa pancung.
  4. Tranportasi darat murah meriah Batam Center-Sekupang menggunakan bus umum (trans Batam ala-ala) dengan ongkos 6 ribu rupiah.
  5. Bus terakhirTrans Batam pukul 17:00 WIB.
  6. Penyebrangan Sekupang-Belakang Padang sekitar 15 menit.
  7. Jangan menyebrang terlalu sore atau malam , ombak tinggi.

 

 

31 tanggapan untuk “Lalu Lalang Belakang Padang”

  1. Aku suka banget kalimat pembukanya, diikuti kalimat pendek-pendek mengalir lembut. Ciamik Mas Danang. Moga tak ada lagi resah gelisah, seperti awal kisah “Lalu Lalang Belakang Padang…” Nice!

    Suka

  2. Hebat ih, selalu nemu aja sisi baru dari Batam dan sekitarnya yang menarik untuk diulas. Jujur lho mas, di mataku selama ini Batam itu gak menarik-menarik amat. Tapi kalau baca tulisan-tulisanmu, kok kayaknya jadi menarik untuk dipertimbangkan. Nah travel blogger yang begini ini yang dibutuhkan di masing-masing daerah. *ngingetin diri sendiri*

    Btw, kayaknya ada masalah entah dengan lensa atau sensor kameramu ya mas. Itu spot-spot kotornya obvious banget.

    Suka

    1. hahah iya nih lensa kamera kena jamur dan baru sadar beberapa bulan ini. eh tapi ternyata filternya dink . Ketahuan orangnya jorok ya jarang bersih bersih.

      Saya juga dulu sempat galau sih dipindah ke Batam. Awalnya juga mikir Batam ngga ada yg menarik kecuali wisata piijit (eeh).

      Disukai oleh 1 orang

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar