cerpen, Curahan

Kasir Nomor Tiga

Saya tak pernah segemulai ini, melentikan jari di atas keyboard berangka , hingga pixel bermunculan membentuk angka   dilayar. Tersenyum ramah kepada setiap orang lalu melontarkan  kata terimakasih di akhir pertemuan. Dengan cekatan memilah barang lalu memasukan ke dalam kantong plastik.

Sebelum bekerja menaburkan  bedak di wajah serta perona agar terlihat segar sumringah. Tak lupa gincu merah meronakan bibir agar senyum semakin menawan.  Rasanya memang agak kaku ketika komestik   melukis wajah memadati pori-pori wajah.  Tapi inilah cara termudah wanita tampil sempurna , ketimbang operasi yang mahal dan menyakitkan.

“Hayo senyum yang natural, jangan kaya abis makan uler githu”,celoteh wanita bertubuh tambun dengan blazer ketat bertuliskan supervisor di dada kiri.

“Saya malu Mbak.”

See. Aku gendut, pendek ngga putih tapi tetap menawan kan?” Lisa berputar lincah di atas high heels dengan rok mini , dua jengkal saja dari pinggang. Menjaga  keseimbangan di atas sepatu berhak 10 cm, sambil menyandarkan diri ke meja.

“Baiklah kamu tidak perlu memaksakan diri tampil cantik. Tugas utamamu menghitung belanjaan , pastikan tak ada salah hitung. O… Iya pilah barang, jangan sampai makanan tercampur dengan bahan pembersih.” Sambil menjentikan jari, kembali Lisa mengumbar gaya anggun sambil  mengibaskan rambut pirangnya.

***
“Kamu yakin mau jadi kasir. Dengan ijasah dan nilaimu ini bisa menjadi Engineer di kantor pusat.” Pria berkepala plontos menajamkan pandangannya sembari membenarkan letak kacamata.

“Saya mau mencoba sesuatu yang baru.”

“Kerjaan ini bukan untuk dicoba-coba. Kalau hanya dua tiga bulan, kamu merepotkan saya. Harus mencari orang baru, mewawancarainya lagi. Ah, sudahlah pulang saja kamu. Saya yakin ini akan buang buang waktu, ” cerocos kepala HRD retail bersemangat , hingga dahinya berkeringat.

“Kalau perlu menandai surat perjanjian, saya tidak akan resign dalam tiga bulan,”

“Setengah tahun atau tahun depan siapa yang tahu.”

“Paling sebentar tiga tahun atau selamanya.”

“Hah saya makin tidak mengerti dengan pikiran kamu. Tolong berdiri.” Pria itu beranjak mencoba mendekatkan wajah. Pandangannya seolah mencari sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan logika.

“Baik kamu akan diterima kalau besok bisa merubah penampilanmu lebih manusiawi. Tidak ada celana panjang. Tidak ada rambut acak-acakan dan tak ada wajah berminyak tanpa bedak.”

Saya diam berpikir mencari alasan, tapi ini bukan saatnya untuk berargumen. Diam atau kehilangan kesempatan emas.

“Jangan lupa besok bawa kertas segel dan materai. Kita buat perjanjian. Saya mau meyakinkan apakah kamu masih mau menjadi kasir di sini.” Sekilas senyum culas setengah mengejek terlintas, tapi saya memilih kalah untuk menang.

***

Kehadiranmu terasa sangat dekat. Ada ataupun tiada , tak ada yang berbeda. Kurasa hadirmu di sini. Mencium aromamu. Merasakan gerakan tubuhmu dan  gemulai jemarimu. Aku di sini untukmu…

“Nah , gini kan cakep”, celoteh Lisa. “Ini nomor berapa ya. “Memperhatikan wajah saya seksama.

“Sepatu saya, 39 Mbak.”

“Bukan… Beb. Maksud aku nomor lipstick kamu. Ah lupain deh.”

Saya tetap diam, masih tak mengerti apa arti nomor lipstick. Cepat atau lambat pasti tahu karena ada yang membimbing.

“Lin makan yuk. Sudah ditutup dulu.”

“Oke kasir nomor tiga istirahat, tolong di back up”, teriak Lisa kepada kasir nomor satu dan dua.

“Yuk…” Lisa menarik lengan saya penuh tenaga, hingga saya tak kuasa menolaknya.

Tapi baru beberapa meter. “Eh sebentar, handphone ku ketinggalan. Tunggu di sini ya.” Wanita bertubuh tambun itu lari ke toilet setelah melepaskan genggaman di pundak.

Saya masih terpaku di pintu swalayan, memandang meja kasir nomor tiga. Melihat sosoknya yang tak pernah beranjak, tekun teliti menekan angka keyboard sambil memilah barang.

Senyumnya masih seperti dulu, manis bermadu dan bersahaja. Begitupun cinta kami,  tetap merekah dan manis,  seperti saat pertama kali bertemu. Meski jasadnya kini tak kasat mata, tapi jiwanya selalu ada di sana, menemani saya yang terlanjur jatuh cinta.

Kini saya hadir untuknya, karena kami adalah satu. Dua wanita yang saling mencintai.

15 tanggapan untuk “Kasir Nomor Tiga”

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar