Travelling

Dwilogi – Pertanda dan Arwah

Saya tak pernah mau membuka diri untuk berkomunikasi dengan mereka yang berbeda alam. Meski semua indera sudah ditutup nyatanya mereka menyapa melalui pertanda dan benda.

Kepekaan itu saya lepaskan satu persatu tanpa sisa. Saya tak pernah iklas ,ketika Bunda berkisah seorang cenayang meramal putranya akan menjadi dukun ketika kelak dewasa.

Harusnya kamu bangga dianugerahi kemampuan itu.

Sebagai insan beragama , rasanya terlalu naif terbuai permainan alam gaib yang seharusnya tidak dilihat oleh manusia, hanya untuk mendapat julukan orang pintar.

Yakinilah keberadaan mereka tapi jangan manjakan nalurimu untuk merasakan kehadiran mereka. Karena itu akan memupuk rasa takut berlebih yang pada akhirnya membuatmu lemah imanmu.

Teluk di Lampu ini terkenal indah , tapi siapa yang menyangka kalau.... (ah lupakan)
Teluk di Lampu ini terkenal indah , tapi siapa yang menyangka kalau…. (ah lupakan)
~ Pertanda~

Sekarang mereka  tak pernah terlihat di pandangan ataupun terdengar, hanya  alam yang memberi pertanda.

Malam itu seharusnya saya tertidur lelap, setelah melewati perjalanan melelahkan luar biasa. Seharian penuh mengendarai sepeda motor. Logikanya ketika bertemu bantal dan kasur langsung terlelap. Tapi malam ini, kantuk tak kunjung datang.

“Om Danan ngga tidur”, tanya Ragil , teman perjalanan , seorang wanita berdarah Banten.

“Belum Gil. Aneh aku ngga ngantuk sama sekali.” Melirik teman-teman lain sudah jatuh tersungkur nikmat di atas kasur.

“Ya udah Om , aku tidur duluan . Pintunya aku tutup takut anginnya masuk.” Ragil masuk ke pondok dan saya masih duduk di serambi di tepi laut.

Angin  berhembus kuat membuat saya  was-was takut pondok yang kami diami rubuh terbawa angin. Beruntung pondok ini memiliki tiang-tiang penyangga yang kokoh.

Akhirnya malam itu saya tidak tertidur sama sekali.

perhatikan bulatan putih di sebelah kanan, konon itu citra dari energi mahluk yang tak kasat mata
perhatikan bulatan putih di sebelah kanan, konon itu citra dari energi mahluk yang tak kasat mata

“Pagi banget om bangunnya” Ragil keluar dari pondokan, menemani saya duduk di pelantar.

” Gil , aneh banget, gua sama sekali ngga bisa tidur.”

Sekilas mahasiswa tingkat akhir itu tersenyum misterius.”Om ngga tahu kalau semalam di atas sana rame banget?”

“Rame apaan, anak-anak kan pada tidur.”

“Mahluk halus. Ketika badai mereka berkumpul di sana.” Ragil menunjuk atap pondokan.

“Om tahu nggak. Beberapa dari mereka mengikuti kita selama perjalanan. Tadi motor Encip jatuh di dorong oleh salah satu dari mereka.” Celoteh ragil saya abaikan, memilih masuk ke pondok untuk sholat subuh.

Mungkin memang takdirNya jika pada akhirnya,  perjalanan ini penuh cobaan. Dari 10 motor , hanya satu motor yang tidak terkena musibah. Saya sendiri , jatuh tersungkur ketika melewati turunan dekat karang Pegadungan. Menyisakan luka bakar di betis akibat  tertimpa mesin motor panas

Saya tak pernah merasakan kehadiran mereka, tapi alam yang memberi tahu bahwa mereka ada. Panca indra , tetap saya tutup rapat-rapat untuk mereka yang tak kasat mata.

~ Selesai ~
siapa menyangka , petaka datang bertubi di hari kedua
siapa menyangka , petaka datang bertubi di hari kedua

~Arwah~

Mereka yang telah tiada bukan berarti tak ada. Meski sukma sudah meninggalkan raga, naluri melindungi anak cucu tak hilang.

Dalam hikmat kami duduk menghadap para tetua  dalam Mbaru Tembong, menanti upacara Wa Lu’u dimulai. Tak ada yang berani berkata, hanya terdiam memendam kata. Sesekali saling melempar pandang , memainkan ekpresi wajah untuk berkomunikasi.

Setiap tamu yang akan tinggal  di Wae Rebo wajib menjalani ritual Wae Lu’ u , prosesi yang akan menabiskan setiap pendatang menjadi orang Wae Rebo. Kami tidak  hanya diterima secara fisik , namun secara budaya dan spritual. Jika belum melewati prosesi maka masih  dianggap orang luar dan  tidak  diijinkan melakukan aktivitas , seperti  mengambil foto dan berjalan keliling desa.

Saya tidak tahu apa yang dirapal para tetua, doa atau mantra. Namun gemanya  seolah menembus dimensi,  menggetarkan hati. Menyapa mereka yang tak kasat mata. Para tetua yakin arwah nenek moyang hadir di sini , menabiskan kami menjadi anak-anak Wae Rebo.

Meski bibir terkatup rapat tak bersuara, tangan saya tak sanggup berdiam, menyaksikan  eksotika terbalut  suasana sakral.  Sesekali mengintip dari balik  lensa dan tanpa sengaja menekan  shutter

“Cret” Lampu flash kamera menyala, sekelabat ruang gelap menjadi terang benderan. Seorang tetua berhenti merapal doa, lainnya terdiam sejenak lalu melanjutkan ritual. Lirikan tajam  teman seperjalanan , langsung menghujam ke mata saya.

“Maaf…”, berujar lirih. Merasa tak enak kamera   saya masukan ke dalam tas, hingga upacara selesai.

 

tetua Wae Rebo memimpin upacara Wa Lu'u
tetua Wae Rebo memimpin upacara Wa Lu’u

Usai jamuan makan malam penuh kehangatan, satu persatu kami merebahkan diri di atas tikar pandan . Dinginnya malam sudah coba ditawarkan dengan selimut tebal, tapi mata nyatanya saya tak merasa nyaman hingga mata tak mampu terpejam.

Sejam, dua jam, tiga jam , rasa kantuk tak kunjung datang. Mbaru Niang telah temaram, petromak berganti dengan  nyala dian kecil. Teringat perkataan Pak Yosef, entah mengapa malam ini generator set tak mau hidup, padahal olinya baru diganti. Mungkin malam ini , kami ditakdirkan merasakan gelapnya Wae Rebo. Toh lebih alami begini, batin saya berseloroh.

Putus asa menanti kantuk yang tak kunjung daatang, saya mengeluarkan kamera dari tas.  Berniat mengambil gambar bintang, tapi dinginnya malam terlalu mengigit.

Kembali memasuki Mbaru Niang , lalu bersandar pada tiang utama.  Tanpa sengaja tangan menekan tombol on di layar kamera. Terlihat beberapa foto perjalanan seminggu terakhir di bumi Flores. Tiba-tiba bulu kuduk merinding melihat beberapa gambar ritual Wa Lu’u tadi sore. Rasa kantuk memang belum datang, tapi kembali menyelinap di selimut antara , pilihan tepat menawarkan rasa takut dan dingin

bayangan perempuan berambut putih di belakang tetua
bayangan perempuan berambut putih di belakang tetua

Aroma kopi dan keindahan pagi di Wae Rebo menawarkan rasa takut semalam. Dalam semai kebahagiaan khas pelancong kami turun, berencana melanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo.

“El kemaren pas upacara Wa Lu’u ,  tetuanya lelaki semua kan.” Saya membuka  percakapan.

” Ya iyalah Danan, kalau perempuan itu namanya tetuwi”, jawab El bercanda.

“Yakin?”

“Ngapain sih nanyain wanita tua?.”

“A… Aku meyakinkan  saja kalau mata aku ngga salah lihat?”

“????” El menatap saya bingung.

“Kira-kira ini foto siapa?”  Menunjukan foto  bayangan perempuan tepat di belakang salah satu tetua.

El menghentikan langkahnya lalu memperhatikan dengan seksama. “Oke kita bahas setelah kita sampai di Labuan Bajo”, ucap El sambil mempercepat langkahnya.

Sayapun mengangguk setuju, namun nyatanya sampai trip usai,  kami tidak pernah membahas ini. Tapi saya yakin ketika upacara Wa Lu’u berlangsung tidak ada perempuan kecuali Rosi, Evi dan Lucy.

Jadi siapakah sosok perempuan berambut putih di belakang tetua?

~Selesai~

Elyudien teman perjalanan Wae Rebo
Elyudien teman perjalanan Wae Rebo

49 tanggapan untuk “Dwilogi – Pertanda dan Arwah”

  1. Jadi siapa itu kak, SIAPA???

    Jadi inget waktu temenku merekam video di sebuah hotel kuno di Bukittinggi. Kami menonton beramai-ramai video itu untuk kemudian menyaksikan… ada sosok prajurit Belanda melayang cepat melintas di depan kamera. Kejadiannya beberapa detik, dan bikin kami yang nonton langsung shock!

    Suka

  2. Ping-balik: Melihat Hantu
  3. Foto nenek it ad bayanganny,,g spt foto pertama hny sekelebat samar,,klo sy ngalemin di rumah dinas sy di mataram,,rumah dengan luas 500m2..bangunan sndr seluas 300m2..bagian depan terasa hangat,,tp masuk ke posisi dapur terasa yg berbeda,dingin,,pdhl angin g kenceng masuk ke ruang ini,,horor kejadian bertubi2 istri sm anak alami,,smp bonyok nginep, n bokap lg tidur di mimpiin oleh ratu dgn baju putih kotor tanah kuburan, bermahkota kerajaan di ikuti anak buahny yg banyak dgn titip pesen ke bpk”sy dan anak buah pamit dr rumah ini, hny ad 1 anak buah saya g mau ikut, posisi di kamar mandi trkadang di pohon mangga belakang”..

    Deg,,deg,,cerita ke saya pas sy sdh 4 bln tgl disana,,dimana /selama 3 bln sy sndr tnp ad kel menemani,,stlh bkp prgi plng ke jkt,,aman rmh tnp ad gngguan brarti,,

    Suka

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar