Lomba, Sumatra Barat, Travelling

Menolak Gravitasi Ranah Minang

Bagaimana rasanya jika kaki tidak menyentuh  bumi. Menakutkan atau luar biasa, batin saya berujar. Dalam terawang jauh  mengagumi gunung Merapi dan Singgalang dari balik jendela kabin. Tiba-tiba jantung berdegup kencang memicu denyut nadi semakin cepat. Ada rasa takut sekaligus penasaran setelah melihat ke bawah.

Gunung Merapi Sumatra Barat
Gunung Merapi Sumatra Barat

Sesungguhnya saya tidak terlalu suka ketinggian. Ketika kecil lebih memilih duduk di bawah pohon ketimbang memanjatnya. Saya tidak tahan dengan rasa nyeri di kaki , tak kala memandang benda terlihat kecil dari ketinggian. Bagaimana jika gaya gravitasi menarik saya ke bawah?

Berparalayang, melawan rasa takut dan gaya gravitasi
Berparalayang, melawan rasa takut dan gaya gravitasi

Rasa takut itu anugerah , agar manusia tetap waspada dan mawas diri. Tapi kalau berlebihan itu namanya paranoid. Akankah selalu dilingkupi perasaan yang seharusnya tak perlu ditakuti seumur hidup.

Jika burung di udara mampu terbang di angkasa  dan mengontrol diri agar tak jatuh , maka manusia sebagai mahluk berakal budi seharusnya bisa.

Baiklah, impian saya tahun ini , melawan gaya gravitasi tapi tidak  di kabin pesawat. Agar hidup lebih berwarna, terkadang harus ada batasan yang harus dilanggar. Let’s Cross Over the limit! Saatnya beraksi bukan hanya unjuk gigi di imaji.

Paralayang, terjun payung atau bungy jumping , hiburan akhir pekan untuk mendobrak rasat takut.

Impian berparalayang di bukit Gado-Gado
Impian berparalayang di bukit Gado-Gado

Jika akhirnya memilih Bukit Gado-Gado di kota Padang sebagai tempat paralayang , bukan tanpa alasan. Memanfaatkan liburan akhir pekan, melarikan diri sejenak dari kehidupan kaum urban. Kebetulan yang manis jika Jum’at sore ada penerbangan ke Padang. Lalu Minggu sore kembali ke Batam dengan penerbangan terakhir.

“Bang besok jadi mencoba paralayang kan?”, tanya Rico sahabat saya , seorang atlet gantole.

“Memang bisa dengan berat badan mendekati tiga digit?

Riko tidak menjawab dengan kata-kata,  tapi  senyum sekilasnya  membangkitkan rasa tidak percaya diri. Malam itu saya hampir tak bisa tidur memikirkan paralayang dan gaya jatuh ke bawah yang lebih besar. Menghitung percepatan dikalikan ketinggian dan 100 kilogram. (F =m*g*h)

Hari yang mendebarkan itu tiba, bersama teman dan kerabat diantar menuju bukit Gado-Gado , di selatan kota Padang. Setelah melewati jembatan Siti Nurbaya mobil yang saya tumpangi  menuju  bukit  yang masih sederet dengan bukit Sentiong.

Untuk mencapai Bukit Gado-Gado kami harus berjalan kaki  , menapaki bukit di sisi pantai Air Manis. Tak lama berjumpa  dengan padang rumput luas menghampar dengan pemandangan laut biru. Di ujung selatannya  terlihat pelabuhan Teluk Bayur  di balik gugusan bukit hijau.

Pemandangan dari bukit Gado-Gado
Pemandangan dari bukit Gado-Gado

Meski bukan pertama kali menyambangi bukit Gado-Gado saya selalu terpukau melihat deretan pulau di Samudra Hindia. Sumatra Barat memang mempesona. Bukit Barisan dan  pantai di pesisir barat Sumatra memang pasangan serasi.

“Mas,  ini Bang Heri yang akan membawa Mas terbang.” Rico memperkenalkan pria berperawakan sedang. Saya menjabat erat tangannya. Sekali lagi , keraguan menyambangi. Mampukan pria ini mengendalikan parasut , bertendem membawa penumpang yang lebih berat dari tubuhnya.

Kecemasan akhirnya tertawarkan menyaksikan beberapa atlet paralayang dan gantole unjuk kemampuan. Hati saya berdesir tak kala melihat pria paruh baya melayang dengan parasut menuruni tebing. Tak lama angin membawa  tubuhnya ke atas lalu berputar-putar di angkasa. Luar biasa!

persiapan paralayang - mengenakan body hardness dan helm
persiapan paralayang – mengenakan body hardness dan helm

“Oke Bang. Setelah ini Abang ya.”

“Hah?” Tanpa sempat  menjawab,  saya menurut ketika  beberapa  rekan  mengenakan body hardness dan helm. Rupanya angin sedang berhembus kencang , Bang Heri dan kawan-kawan tidak ingin melewatkan kesempatan baik. Dalam hitungan menit ,  tubuh saya dan Bang Heri sudah bertandem  dengan parasut.

“Nanti berlari ke ujung tebing sana. Tapi ingat jangan melompat, hanya berlari. Jangan melompat “, berkali-kali saya diingatkan.

“Oke! Semua bersiap!” Bang Heri , memberikan kode tanda siap lepas landas.

“Wusssh….” Saat angin berhembus , parasut terkembang ke udara. Seorang pemandu menarik tubuh saya ke tebing untuk lekas berlari. Sejenak ada keraguan, akankah semua berjalan sempurna?

Ditarik agar berlari menuju tebing
Ditarik agar berlari menuju tebing

“Go… Go… Go….”

“Sret…” Saya jatuh terpelanting ke tanah. Seketika arah angin berubah dari  arah belakang, berbelok ke kiri. Beruntung Bang Heri berinisitif membelokan haluan. Dalam hitungan detik kami melambung ke udara, melesat terbawa angin.

akhirnya melayang terbawa angin
akhirnya melayang terbawa angin

“Huaaaaa…” Saya berteriak sekuat tenaga. Merasakan kaki tak menyentuh tanah,  menolak gravitasi. Rasa takut teramat sangat , berubah kebahagiaan luar biasa. Rasanya hormon andrenalin sedang bekerja maksimal.

Bang Heri berkata bahwa kami beruntung, angin bertiup sangat bagus di kisaran 15-20 knot , sehingga bisa bertahan lama di udara.  Dan benar saja kami berputar-putar di angkasa bagai burung garuda. Benar-benar  sesuai dengan impian saya selama ini.  Lambat laun angin melambat,  membawa kami ke muka bumi mendekati garis pantai.

indahnya Teluk Bayur dalam pandangan burung
indahnya Teluk Bayur dalam pandangan burung

Ready… Oke kita mendarat.” Bang Heri memberi komando sebentar lagi akan mendarat. Lingkaran besar di atas pasir menjadi titik pendaratan.

“Tahan-tahan.”

“A….. Srettt…!!!”

“Brak!” Pendaratan mulus tapi karena tak siap parasut mengembang  dan  angin kembali menyeret kami berdua. Meski tak ada yang cedera, agak terkejut juga terjerembab beberapa meter di atas pasir. Bagaimana kalau sampai ke lautan?

Bang Heri menjabat tangan sebelum berpisah. Baginya paralayang kali ini luar biasa.Pengalaman pertama kali membawa penumpang berbobot hampir 100 kg. Dia juga tak menyangka, kami dapat bertahan di udara hingga 20 menit lebih.

Bang Heri - Pengalaman pertama membawa passenger berbobot hampir 100 kg
Bang Heri – Pengalaman pertama membawa passenger berbobot hampir 100 kg

Bagi saya , pengalaman ini bukan sekedar pencapaian impian. Tapi sebuah pembuktian bahwa rasa takut sesungguhnya datang dari diri sendiri. Jangan pernah gentar mencoba sesuatu  dan  melangkah maju. Jika kamu memiliki impian menggapai puncak tertinggi atau berkeliling dunia. Lakukanlah.

How Far You Will Go? You Decide! Ingat keputusan ada di tanganmu, bukan orang lain.

Video di atas pengalaman pribadi penulis paralayang di bukit Gado-Gado, Sumatra Barat.

Tulisan ini diikutsertakan lomba blog Cross|Over , How Far You Will Go? You Decide! Untuk informasi lomba silakan  mengunjungi situs http://www.neversaymaybe.co.id.

Flyer CROSSOVER

31 tanggapan untuk “Menolak Gravitasi Ranah Minang”

  1. Siap melawan rasa takut mas hihi… kalau saya apa ya? Sepertinya kurang percaya diri saat berbicara di depan orang. Jadinya saya belajar perlahan2 dan bisa lebih baik. Kemarin lihat beginian, pengen nyoba sih 😀

    Suka

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar