Riau, Travelling

Menanti Sang Hantu Bono

tepi sungai Meranti, Riau
tepi sungai Kampar , Riau

Biduk tua terdampar di tepi sungai Kampar.   Saya teronggok di atasnya membunuh waktu  menanti sang Bono. Tujuh gelombang  yang kini dinanti peselancar penggila adrenalin. Bagaimana bisa air setenang ini mampu beriak tinggi melambungkan papan selancar .

“Bang sudah pukul dua belas, makanlah dulu nanti kita bergegas ke pantai Ogis.”  Suara   Sila dengan logat Melayu kental  berpadu di antara riak air.  Gadis asli desa Teluk Meranti melambaikan tangan dari halaman rumah.

“Ayah dan Adik tak bisa menemani, kita makan berdua saja.” Mengajak saya masuk ke rumah.  Jelang Festival Bekudo Bono hampir semua masyarkat desa Teluk Meranti sibuk. Para pria memandu tamu dengan perahu. Sedangkan kaum hawa mempersiapkan makanan untuk panitia festival.

Tanpa diingatkan, usai  makan siang  saya   bergegas menuju pantai Ogis berjarak 2 kilometer dari balai desa. Waktu menunjukan pukul 13:00 kerumunan manusia sudah menyemut  di pantai.

Meski tersedia anjungan kebanyakan warga   tetap berdiri di tepi pantai sambil tetap waspada karena tingginya ombak kadang tak terduga. Sila berkisah ketika ia masih kecil percikan  ombak Bono bisa  mencapai dahan tertinggi pohon karet.

“Nanti kalau air sudah datang kita bergegas pulang .” Meski tak saya hiraukan Sila tak bosan mengulang  pesan ini.

“Hah kenapa? Saya masih mau berlama-lama mengambil gambar di sini.”

“Kita bisa terjebak air kalau tak segera pulang.”

“Terjebak?” Abaikan… Bukankah semua orang di sini menjebakan diri , ingin melihat ombak besar.

pantai Ogis tempat penduduk menyaksikan Ombak Bono
pantai Ogis tempat penduduk menyaksikan Ombak Bono

Hati  kecut melihat langit tak bersahabat. Kemana langit biru penuh hingar bingar kecerian. Ini pesta rakyat, mengapa awan hitam  makin merapat memuntahkan rinai kecil. Membuat kami lari tunggang langgang mencari perlindungan.  Anjungan kuning beratap limas menjadi satu-satunya tempat berteduh kini bagai biduk di tengah lautan.  Ramai dan basah.

mendung datang menyambangi pantai Ogis
mendung datang menyambangi pantai Ogis

Gemuruh pertama  air bah berkumandang pertanda sang Bondo datang. Anak-anak  berlarian ke tepi pantai melemparkan papan selancar mainan sambil menyipitkan mata.  Berharap dengan mengecilkan pupil pengelihatan sampai ke ujung seberang. Tapi gelombang hanya terlihat bagai garis horison.

anak kecil menyongsong air bah pertama
anak kecil menyongsong air bah pertama

Ombak tinggi berduyun-duyun saling berkejaran menuju pantai.   Suara gemuruhnya  air  mirip tsunami seolah siap  menerjang desa-desa di  pantai.  Tanpa ragu saya kembali ke bibir pantai meninggalkan anjungan padat tumpah ruah. Sekali lagi Sila berpesan sebelum ombak terakhir sampai di pantai agar bergegas pulang.

ombak Bono mulai muncul
ombak Bono mulai muncul

Peselancar berlompatan dari boat menerjang Bono, mengejar sang hantu menari lincah di antara jilatan air.  Suara gemuruh tak menggetarkan hasrat mereka untuk menaklukan gelombang.  Terlihat seekor ular berenang ke pantai,  nalurinya menuntun menghindari marabahaya. Namun manusia  selalu punya alasan logis akan tindakan gilanya.

panitia Festival Bekudo Bono berjaga
panitia Festival Bekudo Bono berjaga

Jelang festival seperti sekarang kapal peselancar dan awak media berbaur di antara gelombang besar. Resiko saling tabrak atau kehilangan keseimbangan sangatlah mungkin. Oleh karena panitia festival bersiaga di sepanjang arena selancar .

kapal media dan peselancar kembali ke pantai
kapal media dan peselancar kembali ke pantai

Bono merupakan   gelombang pasang yang terjadi di antara pertemuan sungai dan lautan .  Karena bentuk   teluk Meranti mirip tutup botol membuat arus pasang menjadi besar .  Saat bulan besar arus pasang yang dipengaruhi gravitasi bulan memang paling tinggi.  Musim hujan saat yang tepat menyaksikan ombak Bono karena debit air paling besar. Jadwal  lengkapnya bisa dilihat di sini.

ombak terakhir Bono
ombak terakhir Bono

Saat ombak terakhir menyentuh bibir pantai Sila memanggil saya berkali-kali.  Air  sudah setinggi betis. Saya mengerti tatapan matanya tanpa dirinya berkata. Kami saling berisyarat lalu berlari menuju parkiran  dan  memacu sepeda motor sekencang-kencangnya. Menerjang air yang mulai meluap  ke jalan di antara rumah warga.

Terjebak…

“Terus Bang jangan sampai mesin mati.” Air berwarna kecoklatan menerjang roda tanpa ampun.

anak-anak bermain di air pasang Bono
anak-anak bermain di air pasang Bono
sang peselancar cilik
sang peselancar cilik

Merasa aman di dataran lebih tinggi saya meminta Sila pulang ke rumah lebih dulu dengan sepeda motor.  Diam-diam saya memendam rasa, ingin bermain air seperti anak kecil.  Teringat  dulu  ketika banjir datang langsung menceburkan diri ke air dan membuat perahu dari batang pisang.

Beruntung saya  mengikuti saran Sila agar tidak memburu Bono dengan Boat. Kabarnya beberapa kapal awak media saling bertabrakan hingga salah satu kapal lambungnya pecah. Tak ada korban jiwa tapi pasti ada korban kamera. Bayangkan  kamera bermoncong panjang tanpa casing underwater tergulung ombak Bono.

air sudah meluap di jalan
air sudah meluap di jalan

Di bulan November  ini Festival Bekudo Bono 2013  berakhir.  Esok berganti dengan air pasang biasa. Namun tak perlu menunggu seribu purnama untuk bertemu sang Bono.  Cukup satu purnama saja, tujuh hantu teluk Meranti akan kembali.

Anda berminat mengadu nyali di Teluk Meranti?  Konon ombak besar bukan satu-satunya tantangan. Predator air,  buaya dan ular perlu diwaspadai ketika terjebur ke sungai Kampar. Jeng… Jeng…

akhirnya sampai di rumah Sila
akhirnya sampai di rumah Sila

 Catatan Festival Bekudo Bono 2013. Simak juga kisah Warna-Warni Perahu Jong  Teluk Meranti.

44 tanggapan untuk “Menanti Sang Hantu Bono”

  1. Festival untuk ombak. Menggentarkan memang, tapi unik sekali.
    Dan ombaknya mesti datang dalam 7 gelombang, begitukah? Selalu 7 gelombang? *penasaran*

    Suka

    1. sekarang malah tinggal 6 konon yang satu mati karena tertembak Belanda… Ini pernah jadi lokasi iklan djarum itu lho.

      sayang tahun 2014 kmrn festivalnya ngga ada lagi tapi tetep jadi destinasi favorit peselancar dan fotografer

      Suka

      1. Iklan Djarum yang saya tahu itu cuma yang semacam selancar yang ditarik sapi (atau kerbau?), dan saya bahkan tidak yakin itu Djarum atau bukan.

        Yep, dari foto-foto yang Mas ambil, tidak heran kalau tempat itu jadi destinasi favorit. Tapi kenapa berhenti ya, Mas? Kurang dana?

        Suka

  2. sedih ga sih sampe skrg ga kesampean buat kesana?? padahal gw tinggal di Pku. Nyesek kadang liet org2 pada bisa cerita tentang Bono dan gw cuma bisa terhanyut dalam cerita mereka. tapi Alhamdulillah…setidaknya ada gambaran sebelum kesono hehee, gw berharap bisa kesana suatu saat nanati. aziik…pejuang mahasiswa rantau

    Suka

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar