Curahan

Mudik, Rindu Rumah

penampakan Natar (kampung halaman) dari atas pesawat
penampakan Natar (kampung halaman) dari atas pesawat

Aroma mudik kembali menyeruak sejak H-2 lebaran, menghamburkan lalu lalang manusia di bandara, stasiun, terminal dan pelabuhan. Kini saya terseret menjadi bagian dari mereka, mendorong troli besar berisi oleh-oleh untuk sanak saudara di kampung.  Berhimpitan mengantri di loket  tanpa tata krama lalu menyelonong masuk memotong garis.

“Dasar udik” Nurani mencibir diri sendiri. Kalau penerbangan dua jam lagi kenapa harus buru-buru check-in sampai menyerobot antrian.

“Cape bro puasa. Mending ngadem  di Lounge daripada di sini” Terdengar suara di kepala.

Lelah, sejak semalam tidak bisa tidur , alibinya beres-beres kamar dan packing tapi kenyataannya  rasa   bahagia terlalu besar dan rindu mendalam. Kepulangan kali ini berbeda dengan sebelumnya. Empat bulan lebih tidak bertemu orang tua . Mutasi dan perubahan pola kerja  tak memberikan kesempatan menjejakan kaki di kampung halaman setiap bulan.

“Kamu nggak kangen?” Suara hati memancing rasa.

“Tidak…”Ego lelaki memuntahkan logika tanpa rasa. “Apa yang harus saya rindukan, jika tiap detik  bisa berkomunikasi melalui ini.” Menunjuk ponsel cerdas pengobat semu  rindu para perantau.

Tiba-tiba layar ponsel cerdas berkedip cepat mendengungkan nada panggil. Sekali lagi bapak memastikan saya jadi pulang hari ini. Meski tak terdengar khawatir , ada kewaspadaan dan doa di sana. Kini saya mengerti mengapa  bapak yang pendiam selalu rajin menelepon kami anak-anaknya. Tiap satu jam menanyakan, “Kamu di mana?”

“Pertanyaan yang sama?” Logika lelaki menyindir. Senyum saya kecut teringat kejadian bertahun lalu ketika pertama kali menjelajah nusantara.  Bapak panik karena tak satupun pesan dan telepon dibalas karena kehabisan baterai.

“Harusnya bapak tahu kamu baik-baik saja dari laman facebook. Bukankan tiap 30 menit kamu memperbaharui status.” Saya abaikan logika berterbangan di kepala berkonsentrasi mendengarkan pengumuman penerbangan.

Suhu di dalam bandara semakin pengap tak nyaman, rasanya pendingin udara tak mampu mengalahkan hawa panas kota Batam, atau mungkin terlalu banyak orang di sini. Beringsut masuk ke lounge bandara mencari suasana lebih dingin dan tenang plus wifi gratisan.

“Mustinya kita sudah sampai Singapura memulai overland menuju Thailand.” Suara itu datang kembali memecah keheningan. Saya mencoba diam tak mendengarkan logika , menutup sebagian wajah dengan majalah.

“Kamu sebagai lelaki terlalu lemah, kalah dengan rindu. Dasar anak Emak!” Ucapannya memanaskan hati hingga naik ke ubun-ubun.
Hawa panas seolah melingkupi seluruh bagian tubuh. Angin pendingin udara terasa tajam menyayat kulit. Punggung tangan menyentuh kening berlahan, sepertinya demam.

Penerbangan Batam-Jakarta terasa sangat tidak  nyaman, tekanan udara di dalam kabin pesawat membuat suhu tubuh semakin tinggi.

“Bro snacknya dimakan saja, nanti sakitnya tambah parah.”

“Saya puasa, saya harus buka bersama di rumah.” Momen langka belum pernah dirasakan pada  ramadhan tahun ini.

***

Bandara Sukarno-Hatta terlihat dua kali lebih sibuk dengan pengamanan lebih ketat. Setiap melewati pintu pemindai penumpang wajib menunjukan kartu identitas tanpa  pengecualian. Baru saja tombol on dinyalakan, ponsel kembali berpendar meski sudah dibungkam dengan silent mode. Kembali Bapak bertanya , “kamu  dimana?”

“Sukarno Hatta Pak.” Tanpa berbasa-basi berlebih lalu  obrolanpun terputus tak sampai satu menit.

“Mudik memang repot, tak dapat tiket direct Batam- Lampung  sekarang harus berputar ke Jakarta lalu transit tiga jam di sini.” Suara itu kembali mengeluh.  Mencoba mengaibakannya dengan  menyandarkan diri pada sofa panjang di lounge bandara.

Ponsel melompat-lompat, getarannya bertenaga menendang dinding saku lalu mendobrak mimpi tentang kebun buah ibu dan sawah bapak. Sekali lagi terlonjak melihat nama di layar ponsel.

“Ibu?” Membalas salam suara perempuan di ujung sana.

“Ada pesan dari bapak, kamu dimana?”

Terdiam tak mampu menjawab leher tercekat rasa sakit tak mampu bicara.”Bu… Aku sms aja nanti.” Suara penuh iba. Jujur pertanyaan kamu dimana kadang mengganggu.

Ujian puasa hari ini sungguh sempurna. Terjebak di bandara tiga jam dengan demam dan radang tenggorokan memuncak. Belum lagi aroma roti di kedai sebelah merongrong rasa lapar sekaligus iman.

“Sudah buka saja, kan musafir. Tuhan pasti maklum.” Melirik tiga wanita berjilbab  makan dengan lahapnya tanpa sungkan. Saya memang musafir tapi tidak melalui perjalanan ribuan kilometer dengan berjalan kaki atau naik onta. Duduk manis di atas pesawat dengan udara berpendingin.

“Makanan di lounge ini gratis bukan.” Suara itu makin kencang menggoda. Tiba-tiba ponsel kembali bergetar tapi sejenak, sebuah pesan masuk. “Jangan lupa sholat”, pesan dari ibu membungkam suara penuh godaan hawa nafsu.

***

Lega melewati penerbangan 21 menit Jakarta-Lampung. Sebelum bapak menelepon saya kirimkan pesan singkat. “Pak aku naik taksi nggak usah ditunggu di depan Sitara, sepertinya pesawatnya delay.” Tak tega rasanya  jelang magrib membiarkan bapak menunggu di pinggir jalan. Sejak pensiun bapak selalu menjemput anak-anaknya pulang. Meski kami sudah naik taksi atau ojek , bersama motor kesayangannya duduk setia di pinggir jalan sambil berkali-kali menelepon atau sms. “Kamu dimana?” Mungkin ini caranya menebus kebersamaan yang tak pernah kami miliki karena kesibukannya bekerja dulu.

Beduk magrib bertalu keras bersama langkah pertama di bandara Branti, Natar.  Suara itu menghilang tak muncul. Lega rasanya memenangkan puasa hari ini. Seteguk air coba saya masukan ke tenggorokan , meski rasanya sakit tercekat  radang tenggorokan parah.

“Pak sudah buka?” Saya sodorkan sepotong roti kepada supir taksi. Raut wajahnya mengingatkan bapak di rumah. Pria tua dengan alis dan rambut memutih duduk bersandar di jok kanan depan.

“Terimakasih , sudah tadi.” Sambil menunjuk kantong kresek.

***

“Lho katanya delay?” Wajah ibu menyembul dari balik kisi ruang makan, senyumnya sumringah. “Sudah buka? Ayo makan.”

“Nanti.” Mengambrukan diri ke sofa  meredam rasa lelah luar biasa.

“Kamu demam?” Punggung tangan ibu menyeka kening dengan lembut.

“Sepertinya…” Meringkuk semakin dalam, melipat otot yang nyerinya tak terperi.

“Sholat dulu yuk” Suara ibu mengalun lembut.”Obat demamnya nanti diminum setelah makan.”

“Selalu begini, travelling ribuan kilometer tak pernah sakit tapi ketika sampai di rumah pasti  sakit .” Suara itu datang kembali menggoda.

“Sssttt ini bukan sakit tapi rindu.” Suara itu menghilang bersama basuhan air wudhu.

~Selesai~

Catatan  hati melewati perjalanan mudik untuk meramaikan postingan bersama geng Travel Bloggers Indonesia dengan tema #Mudik #Pulang #Lebaran #TentangPulang

Jangan lupa simak tulisan lainnya:

62 tanggapan untuk “Mudik, Rindu Rumah”

  1. Ping-balik: Ibu, Aku Pulang
  2. Saya ngiri setiap kali ada orang cerita tentang mudik, apalagi ceritanya mas Danan ini mengharu biru 🙂 Saya orang tua masih tinggal serumah, mertua juga rumahnya gak jauh2 amat. Kurang pengalaman hidup nih kayaknya saya ini hehehe…

    Suka

  3. Ping-balik: pulang

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar