Kisah Kehidupan

Pelacur Itu

ilustrasi: berjemur di pulau Kanawa
ilustrasi: berjemur di pulau Kanawa

Turpi, wanita 19 tahun tergagap dalam pergaulan wanita baik-baik. Sejak usia 13 belas tahun dirinya diprogram oleh para germo bagaimana menarik dan melayani lelaki. Setiap gerak tubuh harus ada nilai jual minim moralitas. Jangan tanya iman, agama atau hal religius lainnya, itu kenangan masa lalu ketika masih di kampung. Terlahir yatim piatu seolah hidup tak memberikan  pilihan. Janji bekerja di pulau  seberang ternyata tipu muslihat.

Lokalisasi di Sumatra yang konon kedua terbesar setelah Doli menjadi rumahnya. Tak ada sanak saudara tempat mengadu, hanya lelaki kelaparan pengarung samudra. Meski sering disebut penjaja cinta tak pernah sekalipun dirinya merasakan cinta. Jika kemarin Fai menebusnya dan membawanya pulang untuk menjadi ratu. Itu bukan cinta hanya bonus besar, tak perlu lagi melayani puluhan lelaki dalam sepekan mengejar setoran.

Menjadi wanita baik-baik tak semudah yang dibayangkan. Turpi memagut diri di depan cermin , apa yang salah dengan dirinya. Mengapa ibu-ibu komplek selalu mencibirnya , takut suami mereka tergoda. Bukankah mereka lebih cantik dan terhormat. Anjing peranakan tak akan mengorek-ngorek sampah seperti anjing liar, jadi apa yang harus ditakutkan.

Fai, pelanggan setia. Meski tak gahar diranjang lelaki ini memberi pilihan hidup lebih baik. Ada dua masa depan pasti seorang pelacur , tetap melacur hingga mati atau sedikit naik kasta menjadi germo.

Meski lokalisasi mirip komplek perumahan banyak yang berbeda antara keduanya. Kalau dulu bebas menyapa dan membawa masuk siapa saja ke dalam rumah. Sekarang berujung dampratan dan makian istri lelaki ramah.

“Repot menjadi wanita baik-baik.” Curhat Turpi kepada Tina. Satu-satunya wanita dikomplek yang mau bicara dengan dirinya.

“Lah kamu baiknya dengan lelaki saja.”

“Ibu-ibu itu mau disenyumin merengut duluan, hanya bapak-bapak yang ramah di sini.” Bisik Turpi bersung-sungut.

“Ramah , rajin menjamah? La iyalah baju kamu kaya gini. Pi, katanya Pak Fai sudah memborong semuanya.” Tina menunjuk belahan dada menyembul milik Turpi.

“Jadi kalau sudah diborong nggak boleh dilihat juga?”

Tina mengangguk tanda setuju, matanya membulat penuh arti.

“Termasuk ini, ini, dan ini?” Turpi menunjuk paha, bokong dan bagian intim yang terbalut rok dalam tipis.

“Senyum dan manjammu juga hanya untuk suamimu.”

***

Pilihan menjadi baik tidak selalu benar. Gosip beredar Fai akan menceraikan Turpi.

“Ooo pantas sekarang nggak gatel lagi. Mau dicerai dengan suaminya.” Nyinyir wanita muda berbicara, diiringi derai tawa wanita lain di ujung komplek.

“Bukannya kalau dicerai lebih berbahaya. Nanti malah minta pelihara suami kita.”

“Hush diam sundalnya lewat.”  Kompak wanita menutup mulut, memasang wajah tanpa dosa.

Turpi berjalan melewati kerumunan ibu-ibu komplek . Menahan diri atas semua gosip bukan hal sulit, bukankah dulu semua orang memangilnya lonte. Sesungguhnya Fai tidak pernah mempermasalahkan penampilan seksi atau keramahan berlebihan. Mantan duda paruh baya hanya butuh teman . Semenjak istrinya didiagnosa kanker paru-paru tiga tahun lalu, kelima anaknya dtitipkan kepada sanak di Jawa. Hingga istrinya berpulang dua lalu Fai makin jauh dengan anak-anaknya. Kehilangan membuatnya merasa bersalah, anak-anak tak akan lebih baik dengannya. Pria ini memilih hidup selibat, namun akhirnya bertemu Turpi di warung kopi dekat lokalisasi.

“Bu saya mau cerita boleh nggak?” Curhat Turpi kepada Tina. Sekarang hanya wanita ini yang bisa dipercaya selain suaminya.

“Pak Fai mau saya punya anak.”

“Hah baguslah. Apa masalahnya?”

Turpi terdiam. Tak pernah terpikirkan dirinya menjadi seorang Ibu. Apalagi dulu sempat berniat mengeringkan rahimnya dengan ramuan. Agar dirinya dan germo tak resah jika tamu bulanan tak datang.

“Turpi?” Kok jadi ngelamun.

“Apa yang kamu takutkan?”

“Dosa…”, lirih suara Turpi. Rahim kotor yang pernah disinggahi banyak lelaki ini akan menjadi peraduan bayinya sebelum mengenal dunia.

“Pi menjadi ibu memang tidak mudah, tapi itu anugerah besar. Terimalah dengan suka cita. Pantang bagimu untuk menolak jika diberikan. Bayi selalu lahir dalam keadaan suci dan tidak pernah membawa dosa orang tuanya walau dilahirkan dari perzinahan.”

***

Gosip mereda bagai angin lalu. Tak ada lagi wanita murah senyum seksi penggoda lelaki suami orang. Yang ada hanya ibu-ibu komplek sibuk dengan urusan rumah tangga. Beberapa masih sibuk mengurusi orang lain.

“Hai Turpi mau kemana, buru-buru amat. Anak siapa yang kau gendong?”

“Kesana…” Jawab Turpi sekenanya. Langkahanya besar-besar dan cepat menuju rumah Tina. Ada berita besar yang ingin dikabarkan.

“Siapa dia Turpi?” Tina terkejut melihat Turpi menggendong anak lelaki berusia lima tahun.

“Ini anak saya.”

“Hah anak darimana? Jangan bilang dapat menculik. Gagal menggoda suami orang sekarang menculik anak orang?

“Ini Anto bu anak bungsu  Pak Fai yang di Jawa. Kemarin sore diantar dengan budenya. Kakak-kakaknya akan menyusul ke sini abis raporan bulan depan.”

“Wah Anto sudah besar. Sini salim dengan tante.” Genggaman anak kecil itu mengingatkan almarhum Bu Fai. Kemoterapi membuat payudaranya mengering seketika dan jauh dari anak-anak. Wanita itu tak ingin anak-anaknya memiliki kenangan buruk tentang penyakit ibunya dan kematian.

“Bu saya telat sudah nggak mens dua bulan.”

“Kamu hamil?”

“Nggak tahu. Tapi saya senang, begini ya rasanya punya anak.” Turpi membelai Anto anak tirinya. Bagai anak perempuan yang baru saja diberi hadiah boneka. Senyumnya selalu mengembang.

***

Turpi duduk di sisi pelaminan, meski Pak Fai sudah lama berpulang ia tetap bahagia mendampingi si bungsu melepas masa lajang. Kebanggan terbesarnya menjadi perempuan baik-baik sekaligus ibu dari ketujuh anak. Meski dua saja yang terlahir dari rahimnya, anak-anak tetaplah anugerah terbesar.

Tak pernah merasakan bangku sekolah tak membuat Turpi kehilangan logika tentang kehidupan. Melahirkan dan mendidik anak-anak tak membuatnya tergagap seperti hari pertama keluar dari lokalisasi.

36 tanggapan untuk “Pelacur Itu”

  1. Bagi saya, para pekerja seks yang mencoba bertahan hidup itu jauh lebih terhormat ketimbang koruptor ataupun perempuan yang menjajakan diri demi gaya hidup.

    Tidur dengan pria yang tak dicintai saya yakin butuh nyali yang luar biasa.

    Suka

    1. saya bukan mengamini prostitusi tapi pernah tinggal dekat lokalisasi membuka mata bahwa perempuan yg ada di “sana” kebanyakan korban… seperti Turpi, sejatinya ini tokoh nyata. Waktu dia keluar dari lokalisasi usia saya baru beberapa tahun tapi hingga kini ibu saya selalu menceritakan perjuangan perempuan itu membesarkan anak2nya…

      Suka

      1. Mereka biasanya korban kemiskinan atau korban perdagangan manusia Mas. Kalau di Jakarta banyak juga yang korban gaya hidup, gaji gak cukup gaya hidup tinggi lalu nyambi jadi pekerja seksual.

        Bisnis ini pedang bermata dua, disatu sisi dibutuhkan pria sejak jaman dahulu kala, tapi bertabrakan dengan nilai moral dan agama. Cuma, kalau ada lokalisasi, akan lebih mudah mengontrol dan memberikan pemeriksaan. Penutupan lokalisasi, menurut saya, nggak menyelesaikan masalah, karena bisnis ini akan tetap ada selama manusia masih napsu.

        Lha kok saya jadi curhat panjang gini?

        Suka

  2. Bagus kak Danan…smg menjadi inspirasi,,sebel kmrn pas penutupan dolly,mbak2nya malah blg : kl jd tukang jait bs dapet apa? (elus2 dada,,)

    Suka

    1. mungkin jaman yg bikin dunia makin gila… kisah ini nyata lho, ibu aku yg ceritain krn pas si Turpi keluar aku masih umur 4 tahun. Pernah kenal sosok ini hingga akhir hayatnya karena dia tetangga. Yang terharu tuh lihat salah satu anak kandungnya jadi atlit mewakili indonesia …

      Suka

  3. dr zaman nabi ucok juga udah ada prostitus, buat orang kesehatan atau kedokteran lbh enak ada lokalisasi krn lebih mudah untuk memetakan area n orang dengan resiko tinggi penularan PMS n HIV/AIDS
    sekarang setelah, lokalisasi “DITUTUP” jadinya praktek prostitusi TUMPAH RUAH kemana2 lbh susah untuk dikontrol

    Suka

    1. aku dulu tahu (bukan kenal ya) PSK yg rajin memeriksakan diri , jadi biasanya tiap habis melayani beberapa tamu dia ke rumah sakit atau ke dokter. tapi ini PSK dengan pendapatan dan kelas yg lumayan, terus kalau PSK pinggiran gimana? mau makan aja susah…

      Suka

  4. Senada dengan kometar di atas… di mana itu? 😀
    Baca kalimat demi kalimat entah kenapa mirip dengan prolog novel Freddy S. Teruskan kaka #ehh 😛

    Suka

  5. Waktu ke Singapore karena gak study literatur terlebih dulu kami menginap di Geylang lorong 16 dan yahh, sewaktu Keluar dari stasiun dan memasuki lorong di Geylang kami menyadari ini adalah red distrik. Sedih rasanya melihat kaum sejenis saya wanita, harus bekerja keluar malam memakai sexy minidress, bagian pundak mereka tutupi dengan phasmina tipis sekedar menahan angin. Rasanya wanita ini jadi korban banget dari tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup. Sebulan sekali ada pemeriksaan kesehatan info dari taxi driver. Kami female traveler dinasehati oleh taxi driver agar tidak menginap lagi di kawasan Geylang.

    Suka

      1. Di Geylang pelacur terbanyak dari Indonesia disusul Philipine, Vietnam. Wanita Singapore dan Malaysia menurut info dari taxi driver juga katanya dilarang melacurkan diri..tambah sedih dengernya berarti wanita kita dinilai paling bnyk stocknya dan murah.

        Suka

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar