Lomba, Travelling

[7 Wonders] Napak Tilas 7 Wonders – Kopi Ujung-ujung Sumatra

Terios 7-Wonders Coffee Paradise
Terios 7-Wonders Sumatra Coffee Paradise

Perjalanan 15 hari Terios 7-Wonders Sumatra Coffee Paradise menjelajah bumi Andalas membumbungkan angan untuk menyambangi dua tempat penghasil kopi di ujung Sumatra. Liwa dan Takengon , kota-kota di sisi selatan dan utara pulau Sumatra serupa tak sama. Berada di gugusan bukit barisan berhawa sejuk namun memiliki cita rasa kopi berbeda, robusta dan arabika.

Mengawali perjalanan dari Jakarta, tim Terios 7-Wonders menuju gerbang Sumatra propinsi Lampung. Melalui lintas tengah Sumatra terios melaju kencang menuju Liwa , ibukota Lampung Barat. Sebelumnya singgah sejenak di Bandar Lampung untuk meregangkan tubuh dan sarapan pengemudi. Terios kembali digeber ke barat melalui Bandarjaya, Kotabumi dan Sumberjaya.

Museum Lampung menjadi titik awal keberangkatan Jelajah Lampung Barat. Meski besar dan lahir di Lampung tak banyak tahu tentang Liwa, kota kopi di ujung selatan Sumatra. Lintas tengah bukanlah satu-satunya akses, tapi ini jalur teraman menghindari longsor bukit barisan.

Jalan sempit Liwa-Danau Ranau menguji performa mesin berkekuatan 1500 cc, Terios harus bermanufer di tanjakan penuh kelokan. Butuh tarikan maksimal tanpa mengabaikan fungsi kontrol. Eksotika pemandangan kebun rakyat penyeimbang rasa akibat muntahan adrenalin perjalanan ekstrim.

Gagal bermanufer di jalan berliku Liwa-Danau Ranau, sepeda motor yang saya kendarai bersama Encip jatuh tersungkur. Harga mahal untuk menikmati keindahan alam Liwa. Namun ini belum seberapa , menjelang garis terkhir perjalanan menuju Ranau, bukit di sisi kanan longsor bersama air setinggi betis.

Namun sejatinya yang paling menenangkan bermalam di sisi Danau Ranau. Kabut tipis menyelubungi permukaan air, seolah berada di atas awan. Membawa Tim Terios 7-Wonders Sumatra Paradise Coffee dalam buaian mimpi setelah melewati perjalanan 525 kilometer.

Ketika sampai di Ranau malam telah mengantar surya menepi. Keindahan danau tak tampak sama sekali, hanya suara riak air bersama hewan malam. Dalam dekapan kabut pekat , kami bermalam di sisi Danau Ranau. Udara dingin dan rasa lelah mengantar dalam mimpi terdalam.

Intuisi para penikmat kopi meracu mencium aroma dari KUD Karya Utama di Sipatuhu. Ada yang berbeda dengan kopi di sini, aromanya berbeda. Setelah disangrai pada suhu 190 derajat celcius kopi dicampur dengan pinang atau ginseng. Menghadirkan cita rasa kopi baru.

Biji kopi yang dihamparkan di depan rumah warga menebarkan aroma dan semangat pagi. Mengetuk rasa kantuk untuk memulai aktivitas. Kami terjaga di dermaga danau lalu menikmati secangkir kopi. Perpaduan pas cita rasa dan karya Sang Maha Kuasa.

Insting menuntun luwak liar memilah buah kopi terbaik Liwa untuk dimakan. Kemudian secara mengagumkan biji kopi difermentasi dalam perut Luwak selama 6 jam. Gumpalan feses dianggap menjijikan itu kopi dengan kualitas terbaik. Konon harganya bisa mencapai 1,9 juta per kilogram. Itulah sepenggal kisah luar biasa menutup petualangan kopi di Lampung.

Insting menuntun pejalan menemukan pengalaman baru dan jalan pulang. Tanpa sengaja hari sebelumnya kami tersesat di Kawasan Hutan lindung Register 45 B Bukit Rigis setelah berjalan kaki menyusuri sungai Way Besai lokasi arung jeram terbaik di Lampung Barat.

Melalui jalur barat Tim Terios 7-Wonders Sumatra Coffee Paradise melanjutkan perjalanan menyusuri jejak kopi terbaik. Jalur barat Sumatra terkenal rawan dan ekstrim. Gugusan bukit barisan membentang dari utara ke selatan menghadirkan jalan terjal menanjak sekaligus turunan menuju pantai pesisir barat nan cantik.

Kembali bertaruh nyawa dikelokan berbukit dan turunan ekstrim menuju pesisir barat, Krui. Pantai cantik Tanjung Setia menjadi persinggahan berikutnya, menyaksikan ombak besar favorit peselancar dunia. Tenda dibuka dan malam ini kami tidur bersanding dengan ombak dan pantai.

Lahat-Pagaralam-Empat Lawang-Bengkulu-Mandailing Natal dilewati tanpa kendala berarti. Selalu ada kisah di setiap kota , keramahaan dari balik kedai hingga biji kopi terbaik yang diolah oleh tangan terampil.

Sesuatu yang dimulai harus diakhiri meski tak sempurna. Menapaki bumi serambi Mekah menjadi tujuan berikutnya melengkapi kisah kopi-kopi ujung Sumatra. Singgah di Jambi dan Medan beberapa saat, kemudian melanjutkan perjalanan ke Takengon atau bumi Gayo.

Save the best for  last. Tak salah jika Takengon menjadi kota kopi terakhir Tim Terios 7-Wonders Sumatra Coffee Paradise. Melalui rute Medan-Langsa-Bireun-Bener Meriah keandalan suspensi Terios diuji. Shock absorber mampu meredam guncangan ekstrim di Cot Panglima.

Lepas Bireun bus terseok-seok di bukit terjal dan menyerah sebelum sampai di Cot Panglima. Terpuruk dalam tanah labil sedalam 20 cm. Penumpang dan pengemudi bahu membahu menimbun jalan dengan alat seadanya. Membenamkan kayu sebagai pengungkit agar bus kembali melaju ke Takengon.

Di ketinggian 1300 mdpl kebun kopi menghampar menebarkan aroma kopi asal Etiopia yang konon lebih mahal dari robusta. Tak mengherankan ratusan tahun lalu bangsa Eropa rela berlayar ratusan ribu kilometer demi kopi Takengon. Komoditas lokal yang tesohor di perdagangan kopi internasional hingga saat ini.

Sesampai di Takengon tak hanya menyeruput hangatnya kopi arabika tapi mencecap keindahan alam. Malam ini saya bermalam di sisi utara Danau Laut Tawar , Atu Tamun. Perjalanan ribuan kilometer dari rumah – di Lampung – terasa hanya sejengkal saja. De ja vu,  rasanya saya sangat mengenal tempat ini.

Tim Terios 7-Wonders berkesempatan menyambangi salah satu sentra kopi Gayo, Ketiara. Untuk menjaga cita rasa dan mutu , biji kopi melalui serangkaian tes di laboratorium oleh tester bersertifikasi. Kopi telah menjadi industri yang menguntungkan bagi masyarakat Gayo. Tak berlebihan jika disebut sebagai tanah yang terberkati, selain subur alamnya juga indah.

Mata saya tak berkedip menyaksikan ragam kopi di laboratorium Ora Coffee Gayo , kampung Mongal , Bebesan Takengon. Semua jenis biji kopi terbaik ada di sini tapi tetap arabika primadonanya. Tanpa ragu memilih stoples besar berisi longbery untuk diracik. Tak menunggu lama biji kopi menjadi cairan hitam pekat memikat. Sejenak menghirup aromanya, lalu menuai rasa dengan ujung lidah. Ah lagi-lagi terbuai kenikmatan kopi di ujung-ujung Sumatra.

Meski Liwa dan Takengon dipisahkan bentangan daratan Sumatra, keduanya bagai kota kembar. Sama-sama dinaungi bukit barisan dan berdekatan  danau cantik. Tapi yang paling menggoda, keduanya sama-sama memanjakan lidah pecinta kopi, konon keajaiban yang hanya ada di pulau Sumatra.

***

Tulisan ini terinspirasi perjalanan 7-Wonders Sumatra Coffee Paradise serta perjalanan pribadi Jelajah Lampung Barat dan Jelajah Aceh. Diikutsertakan lomba blog 7-Wonders Amazing Celebes Heritage.

Liwa - Penghasil kopi robusta di sisi selatan Sumatra
Liwa – Penghasil kopi robusta di sisi selatan Sumatra
Takengon - penghasil kopi arabika di sisi utara Sumatra
Takengon – penghasil kopi arabika di sisi utara Sumatra

***

Video amatir berikut pengalaman penulis dan teman-teman menyaksikan pengolahan kopi Takengon. Versi tulisannya dapat dibaca Kisah Kopi Gayo, Bukan Filosofi.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

daihatsu sahabatku

 

Kisah Lainnya


 

38 tanggapan untuk “[7 Wonders] Napak Tilas 7 Wonders – Kopi Ujung-ujung Sumatra”

      1. ohh sorry mirip sih sama sama di awali huruf T …. aku sering baca yang lokasi wisata yang banyak gajah…nya .ternyata beda propinsi yaa.hahhahah maafkan 😀

        Suka

  1. Tinggal 6 Hari Lagi Berwisata Gratis ke Macau Plus iPhone 5: Tertarik? Ikuti lombanya. Ayo, ikuti lomba blog “Why Macau” di sini http://bit.ly/WhyMacau.

    Caranya cukup mudah, tuliskan keinginanmu untuk pergi ke Macau. Topik nya bisa tentang kuliner, objek wisata, kebudayaan, dan tempat populer di Macau. Sertakan foto atau video agar tulisanmu lebih menarik.

    Selengkapnya di sini http://bit.ly/WhyMacau

    Suka

Tinggalkan Balasan ke Danan Wahyu Sumirat Batalkan balasan