Curahan

Buah Kasih Sayang Ibu

buah alpukat di kebun ibu
buah alpukat di kebun ibu

“Tong kapan pulang?” Pertanyaan ibu diujung telepon mengusik ego. Kenapa sih selalu ada pertanyaan itu, kan sudah jelas bulan ini jadwalnya travelling, bulan depan baru pulang.

“Ooo iya bulan ini kamu nggak pulang ya.” Tarikan napas panjang tanpa kata sangat dimengerti Ibu, anaknya yang manja tak terlalu senang kata kapan, apalagi kapan nikah?

“Eh alpukatnya sudah berbuah, buahnya lebat dan besar-besar.” Ibu mengalihkan percakapan yang tak sedap. Ah ini pasti jebakan batman agar pulang ke rumah.  Niat manis sang bunda  selalu  berujung su’udzon. Ini pasti karena anak bungsunya sudah kebelet travelling , bukan kebelet kawin.

TOLONG ENYAHKAN KATA KAPAN DAN KAWIN!!! “krik… krik…krik…” Hening sejenak…

pohon kelengkeng dan ayam peliharaan Ibu
pohon kelengkeng dan ayam peliharaan Ibu

“Oom kelengkengnya sudah berbuah” Suara renyah Fina ponakan paling besar menghambur dari speker ponsel tak mau kalah berpromosi.

“Kelengkeng lagi belajar berbuah, sayang yang sebatang mati. Eh tapi yang kamu beli bareng Sapto juga berbuah.”  Suara ibu kembali terdengar. Kali ini terdengar tanpa rayuan tapi membuat  tergoda.

Momong cucu tidak  menggantikan hobi lawas ibu ,  berkebun dan berternak ayam. Sejak halaman rumah kami tak mampu menampung hobi  ibu. Berlahan Ibu menetap di rumah Mbak Dian. Dari yang seminggu sekali menginap , sampai akhirnya seminggu sekali pulang ke rumah kami berjarak 1 kilometer. Katanya kalau weekend mau libur momong dan pulang ke rumah sekaligus up date info terbaru tetangga – baca: gosip -. Hadeuh!

Bunga aneka jenis  jelas bikin kakak ipar tersenyum sumringah , teras rumahnya mendadak jadi asri. Tapi  berikutnya senyumnya jadi kecut. Kucing dan ayam pun ikut pindahan bedol desa. Termasuk kandang besar berisi seratus ayam, nangkring manis di tanah kosong  samping rumah Mbak Dian dan Mas Gun. Dulunya cuma ditanamin pohon buah-buahan tapi sekarang jadi tanah jajahan. Tanaman sayur, kandang ayam dan sebuah pondok berbaur  jadi satu.

“Jadi semua ayam dipindah?”

“Engga, masih ada beberapa untuk teman bapak di rumah. Medel – nama kucing – juga masih di rumah. O iya sawo depan rumah buahnya lebat juga. Jadi nggak pulang ya?” Kembali modus rayuan mengudara tapi kali ini lebih halus.

“Hmmm engga.” Jujur hati saya berat memikirkan kelengkeng susu berbuah lebat. Pohon itu saya yang beli meski pada akhirnya ibu yang mengurus

“Yo wis…. Ati-ati yo Le.” Suara ibu terdengar pasrah tanpa berusaha merayu. Mengiklaskan putranya yang tampan berkelana keliling nusantara mencari menantu impian. Eeh

Semalam kelengkeng susu datang dalam mimpi indah, menebarkan aroma wangi dan rasa menggoda. Saya cuma ngiler campur kangen rumah tapi besok saya mau jalan ke Padang.

kelengkeng sampai terbawa mimpi
kelengkeng sampai terbawa mimpi

***

Kepala saya melongok ke dalam kebun, terlihat Ibu asyik menyapu daun kering di tanah jajahannya. Rasanya tak percaya melihat buah alpukat bergantungan memenuhi dahan, jumlahnya bersaing dengan daun. Saya tak pernah percaya kalau ibu lulusan STM listrik, tangannya dingin  tidak sepanas solder. Pohon apapun yang ditanamnya pasti berbuah lebat.

lebatnya buah alpukat bersaing dengan lebatnya daun
lebatnya buah alpukat bersaing dengan lebatnya daun

“Oom Pulang…. . Mbah Ti Oom Pulang…” Fina dan Faiz berlarian mengatgetkan , keduanya memeluk saya dari belakang.

“Eh kowe balik Tong.” Wajah Ibu menyembul dari balik pagar. Senyumnya kocak penuh arti.

“Iyah..” Jawab saya gengsi. Ibu tak melanjutkan pertanyaan kenapa saya  membatalkan pergi ke  Padang. Dia selalu tahu apa yang ada di otak anak-anaknya, apalagi tentang si bungsu di hadapannya. Putranya ini keras kepala , gengsinya besar, makannya banyak dan banyak maunya.  😦

“Ya sudah sana makan dulu, alpukatnya ada di dalam wadah beras.”

 Beberapa butir kelengkeng susu tergolek pasrah di atas di meja. Mimpi  saya jadi kenyataan, mencium aroma khas kelengkeng segar. Ternyata berbeda dengan yang di jual di pasar, kulitnya belum coklat masih kehijauan. Selanjutnya menuju tempat ibu menyimpan harta karunnya. Alpukat matang tak mau kalah mereka berendam di antara beras putih menggoda. Wah kalau yang ini bisa langsung dinikmati

Tekstur lembut alpukat mentega memenuhi rongga mulut, menebarkan rasa gurih teramat dalam. Semua buah yang ditanam ibu rasanya lezat dan hasilnya melimpah. Saya makin yakin ini buah kasih sayang beliau , ditanam dengan cinta dan kasih.

Tulisan  ini dibuat dengan hati yang ikut-ikutan geng Travel Bloggers Indonesia dalam rangka Hari Buah 1 Juli, untuk tulisan lainnya langsung klik cerita kece berikut:

43 tanggapan untuk “Buah Kasih Sayang Ibu”

      1. xixixi… salah persepsi, abisnya aku bikin komen ngga ada tikik komanya, hehehe 🙂

        Yang aku aku maksud adalah : Pertanyaan ttg ‘kapan’, bikin antena goyang….

        maksudnya radar si orang yang merima pertanyaan jadi kacau… *kebiasaan canda ma teman di kampung 😛

        Suka

  1. saya juga di rumah ibu banyak pepohonan, efeknya tiap hari mesti nyapu hehhehe.. dulu waktu kecil kerjaan aku tuh nyapu halaman………..

    Suka

  2. kunjungan perdana, salam perkenalan, silahkan berkunjung balik ketempat saya, barangkali berminat saya punya banyak vcd pembelajaran untuk anak2, siapa tau anda mempunyai adik,keponakan atau mungkin anak yang masih kecil, vcd ini sangat membantu sekali dalam mengasah kecerdasan dan kemampuan otak anak, serta bagus untuk membangun karakter dan moral anak sejak usia dini, semoga bermanfaat dan mohon maaf bila tdk berkenan, trm kasih ^_^

    Suka

  3. Eh knp kamu di panggil “TONG” pasti tong kosong nyaring bunyi nya yaaa hahahaha. Btw aku ngak begitu suka alpukat, coz dulu waktu kecil perna makan tapi serit kayak ada getah nya gitu dan sejak saat itu males ama alpukat 😦

    Suka

  4. Ini kenapa baca postingan ini aku terharu banget ya kaaak.. :’) Pengen deh di halamanku banyak buah-buahan. Yang ada skarang cuma jambu yang selalu diuletin, mangga yang super asem, dan belimbing sayur. :))

    Suka

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar