Sumatra Barat, Travelling

Mentawai Cultural Trip #3: Kisah Panjang Menuju Air Terjun

Air Terjun Wulu Kubuk -  Desa Madobak, Kecamatan Siberut Selatan
Air Terjun Kulu Kubuk – Desa Madobak, Kecamatan Siberut Selatan

Kemarin semalaman  boating   di laut lepas  12 jam plus sampai  mabuk laut, hari ini menjejakan kaki di bumi  trekking menuju  air terjun Wulu Kubuk di desa Madobak.

Secara geografis pulau Siberut tidak memiliki kontur ekstrim, peta menunjukan dataran tertinggi tidak sampai 300 di atas permukaan laut. Berarti trekking-nya ga pake hikking alias nanjak. Pak Mas berkata butuh waktu satu jam jalan dari desa Madani Marugot. Sedangkan dari desa Rorogot ke Madani Marugot menggunakan speed boat selama satu.

Mendengar Madani Marugot mungkin akan bertanya, kok namanya islami sekali. Sikerei Amabona , saudara Sikeri Amanggaresik menjelaskan dahulu desa ini bernama Marugot, tapi setelah masuknya agama Islam kata Madani disematkan di depannya.

Pengaruh budaya memang masih melekat di masyarakat . Meskipun sebagian besar warga memeluk agama islam tapi mereka masih  percaya kepada roh-roh  sesuai ajaran Arat Sabulungan. Wah sepertinya  obrolan bersama Sikerei Amabona semakin menarik. Baiklah bagaimana kalau kita lanjutkan sepanjang perjalanan menuju air terjun Wulu Kubuk.

Usai beramah tamah  dan bermain dengan anak-anak di Uma Sikerei Amabona kami melanjutkan perjalanan. Dan Pak Mas memilih tinggal di desa Madani Marugot menunggu perahu.

Agama merupakan pembahasan  sensitif . Tanpa saya  bertanya , Sikerei bercerita bahwa di KTPnya tercantum agama Islam karena kepercayaan bukanlah agama. Jaman pemerintahan  orde baru  melarang segala praktek animisme  dan mewajibkan masyarakat Mentawai memiliki  agama. Sejak orde baru masyarakat bebas menjalankan kepercayaan  animisme , bagian dari budaya . Namun mereka tetap memeluk agama tertentu.

Jika memeluk agama Islam mengapa masih memelihara babi  tanya saya. Sikerei tersenyum lalu menjawab. Babi merupakan harta  orang Mentawa selain kebun dan ladang. Hampir  semua upacara  adat menggunakan babi. Bagaimana mau menikah kalau tidak punya babi, Sikerei terkekeh ringan. Pada prinsipnya kami mau memilhara sapi atau kerbau. Tapi siapa yang mau  menukar sapi dengan babi-babi kami.

Tidak terasa satu setengah jam lebih kami sudah berjalan. Sikerei berkata sebentar lagi akan sampai. Beberapa bagian jalan sudah di semen atau konkrit, jadi tidak begitu melelahkan. Konturnya sangat landai tanpa tanjakan atau turunan curam. Jadi curiga. Bukankah biasanya lokasi air terjun berada di pegunungan atau bukit.

Dua jam sudah berlalu, tanda-tanda air terjun belum terlihat apalagi terdengar gemericik air. Tiap orang di jalan yang kami temui selalu mengatakan tidak jauh. Oke kita istirahat sejenak di kedai sederhana Kampung Madobak. Melihat dari kejauhan sebuah sekolah dasar, SDN 06 Madobak. Anak-anak kecil berlarian mengenakan baju merah putih. Beberapa dari mereka mencoba menyapa kami malu-malu. Tapi sepertinya satu wajah sangat kami kenal.  Ya, itu kan Tae Besi putra Sikerei Amanggaresik Obai Rorogot.

Sekolah terdekat dari Rorogot hanya ada di desa Madobak. Untuk sampai ke sekolah ini mereka berjalan kaki ,  menyusuri pinggir sungai selama 3 jam penuh. Mendengar uraian Sikerei Amabona kami tertegun. Mengapa kami harus mengeluh  baru jalan kaki dua jam dan itu juga sesekali, tidak setiap hari.

Rumah-rumah di desa Madobak lebih banyak dibandingkan Madani Marugot. Hampir sepanjang jalan sapaan analoita kami dijawab ramah oleh warga. Ah , indahnya kearifan lokal. Sebuah petunjuk jalan bertulisakan “Wisata Air Terjun” bagai oase di gurun pasir.  Tapi sabar kawan masih ada rintangan yang harus dillalui, menerabas derasnya sungai dan meniti sebilah kayu. Ini yang paling saya benci, diskriminasi orang gendut. Ya.. ya.. ya.. orang Mentawai hidupnya sehat, pasti tidak ada yang obesitas.

Air terjun Kulu Kubuk terbentang di depan mata dengan sendang berwarna kehijauan. Kami langsung berhamburan menceburkan diri ke dalam sendang menikmati sensasi dingin. Maklum setelah berjalan kaki 3 jam  keringat mengucur deras di bawah teriknya matahari. Pancuran deras meluncur bebas dari ketinggian 50 meter, wah segarnya. Tak lama berselang datang rombongan anak-anak. Satu persatu mereka loncat dari tebing. Byur.

Teman, pesta air telah usai. Tapi bagaimana kita kembali ke desa Madani Marugot. Apakah harus  berjalan kaki selama 3 jam lagi.  Duh rasanya lutut ini bergetar hebat…

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

RELATED POSTS

Digoyang Ombak 12 Jam
Menghargai Alam
Kisah Panjang Menuju Air Terjun
Penangkap Ikan Paling Cantik
Panah Beracun Lelaki
Kabit , Celana Lelaki
Turuk Laggai, Gerak Tari Alam
Menikmati Blue Sky Holiday di Masilok

 

23 tanggapan untuk “Mentawai Cultural Trip #3: Kisah Panjang Menuju Air Terjun”

  1. Kayaknya Madina Marogot deh…. Tapi tanya Ms Konjen ajah utk pastinya…. Die hapal….

    ps. Pulangnya enakan ngojek… Walau jd cuma bisa sekilas papasan ama Sikerei dr daerah yg lebih dalam yg so pasti lebih eksotis pakaian n tatonya…
    pslg. Penduduk ramah2 bangeeeeetttttt !!!!!

    Suka

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar