Sumatra Barat, Travelling

Mentawai Cultural Trip #2: Menghargai Alam

Kembali ke Alam - Bermain Lumpur
Kembali ke Alam – Bermain Lumpur

Tidak ada dermaga atau pijakan kayu  di tepi sungai. Kapal langsung menyandar di sisi sungai landai berlumpur. Susah payah kaki menapaki  tanah becek sambil menjaga keseimbangan.

Hap! Sembari melangkah harus meloncat ke atas tanjakan curam dan mencondongkan badan ke depan. Hanya mengandalkan cengkraman jari kaki, menaiki jalan menuju darat.

Kik… kik.. kik… tertawa wanita  di dekat pohon mengagetkan. Kalabai – istri Sikerei – menyambut kami sambil menggendong keranjang besar di punggungnya. Jujur, mungkin jika Pak Mas tidak  menyapanya kami sudah lari tunggang langgang. Bayangkan di tengah hutan tiba-tiba bertemu wanita tertawanya – maaf – mirip kuntilanak. Dari bibirnya terlihat sederet gigi runcing  hasil pangur , potong gigi.  Masyarakat Mentawi percaya selain simbol kecantikan meruncingkan gigi merupakan cara untuk menyeimbangkan tubuh dan jiwa. Ternyata tiap orang memiliki presepsi berbeda soal kecantikan.

Meskipun tidak pandai berbahasa Indonesia Kalabai sangat ramah dengan cekatan membantu membawakan barang. Jalannya lincah menapai jalan becek dengan keranjang penuh di punggung. Sesekali tubuhnya meloncat ringan di antara batang kayu.

Saya dan Lisa hanya berpandangan. Bagaimana kita meniti kayu selebar telapak kaki. Ini namanya diskrimnasi orang gendut. Tapi baiklah kita tidak menyerah. Jika di tengah titian terjatuh itu namanya resiko sebuah petualangan. Ciee. Gagah berani meniti kayu  tapi sebagian badan kayu amblas tidak mampu menahan beban .  Dan saya sukses n  terjeblos ke dalam genangan air  setinggi  betis. Ups sendal saya hilang, masuk ke dalam lumpur.

Lima belas menit kemudian sampai di Uma- rumah tradisional. Sikerei menyambut kami seperti pahlawan pulang perang . Berperang  melewati jalan berlumpur sambil berpikir positif bahwa lumpur ini bersih tidak ada kotoran hewan. Walau terlihat babi mondar-mandir di sepanjang jalan. Nguik-nguik.

Tantangan diskriminasi orang gendut kembali datang.  Kayu kelapa setinggi 1 meter menghubungkan tanah dan uma, rumah tradisional Mentawai. Dengan kaki licin dipenuhi lumpur terlihat mustahil sampai di atas sana. Beruntung ilmu meringankan tubuh saya masih ampuh . Sekali genjot langsung hinggap di uma dengan guncangan menggetarkan seisi rumah. Maaf teman-teman, ini bukan gempa lokal.

Sikerei Amanggaresik Obai Rorogot salah satu sekian banyak dukun di Siberut. Rorogot diambil dari nama sungai kecil mengalir tepat di sisi uma. Orang Mentawai percaya seluruh benda hidup dan segala yang ada di alam mempunyai roh atau jiwa (simagre). Selain sumber kehidupan sungai diyakini memiliki roh  disebut Tai ka Bagat Koa. Manusia tidak boleh merusak dan mengotori sungai. Ada adab yang harus dilakukan ketika beraktivitas di sungai. Aktivitas mandi dilakukan di hulu sedangkan untuk mencuci dan kakus dilakukan di hilir.

Suku Mentawai menganut animisme. Konsep ruang menurut Arat Sabulungan adalah adanya dua alam, yaitu alam nyata dan alam supranatural. Alam supranatural dibagi menjadi dua, yaitu alam jiwa (sanitu) dan alam roh (ketsat). Dunia roh dihuni oleh para roh yang mengatur alam semesta, seperti : Roh Langit (Taikamanua), Roh Penjaga Hutan (Taikaleleu), Roh Penjaga Bumi dan Tanah (Taikapolak), Roh Penjaga Laut danSungai (Tai ka Bagat Koa).

Dunia Jiwa (sanitu) adalah dunia yang menjadi banyang-banyang benda buatan manusia, manusia, binatang, tumbuhan, benda- benda langit dan roh orang yang meninggal tidak wajar. Misalnya Jiwa pada binatang (kina) , jiwa benda-benda alam seperti batu, air, tanah, mega, angindisebut kisei , jiwa pada tumbuhan disebut kina. Konsep inilah yang membuat orang Mentawai begitu menghargai keseimbangan alam . Mereka percaya roh  akan murka jika manusia merusak alam.

Hidup dalam kesederhanaan Uma memberi kesemaptan  menyatu dengan alam. Dengan leluasa mendengar desir daun tertiup angin. Mencium aroma tanah basah tertimpa hujan. Merasakan getaran air menumbuk atap rumbiya .  Kalabai menyajikan batang sagu muda bakar untuk menawarkan rasa dingin dan lapar. Bentuknya berjonjot mirip otak-otak dan rasanya manis kaya akan tepung. Sagu dan pisang merupakan makanan utama suku Mentawai di Siberut. Sedangkan keladi makanan utama mereka yang tinggal di pulau Pagai.

Dalam Uma tamu ditempatkan dalam  ruang tanpa sekat di bagian depan. Ruangan ini berfungsi ganda sebagai tempat tidur sekaligus duduk mengobrol. Sikerei bercerita perjalanan hidupnya memenuhi panggilan menjadi dukun Mentawai. Banyak konskuensi yang harus dihadapi, melanggar pantangan atau bertentangan dengan hukum alam ganjarannya mati. Seorang Sikerei harus senantiasa memiliki jiwa yang bersih. Dan tanggung jawab ini diemban bersama belahan jiwanya, Kalabai.

Rika menyiapkan makan malam di tungku depan Uma, sedangkan Kalabai  memasak di dapur  belakang . Ruang tertutup di belakang Uma diperuntukan tuan rumah. Dapur di bagian depan biasa digunakan untuk menjamu tamu seperti membuat kopi. Orang Mentawai sangat menghormati tamunya.

Inep amainepman atau keadaan sudah remang-remang (pukul 18:30). Makan malam pertama di Mentawai dilewatkan dengan penerangan seadanya. Sembari makan Rika bercerita tentang sebentuk tanggung jawab pria Mentawai. Untuk dapat menikah seorang pria harus memiliki tanah yang dapat digunakan bercocok tanam. Jika terjadi perceraian makan tanah sang lelaki akan menjadi milik anak dan lelaki diharuskan memberikan denda sebidang tanah kepada wanita. Apabila setelah perceraian ,  lelaki tidak memberik nafkah atau menjalankan tanggung jawab kepada sang anak, maka kembali akan di denda. Adat sangat melindungi wanita-wanita Mentawai.

Malam semakin dingin satu persatu kami masuk ke dalam kelambu. Udara malam menembus bebas tanpa batas. Beruntung Pak Mas membawa selimut tebal dan  sleeping bag. Bagi saya buka hawa dingin yang merisaukan tapi nyamuk. Berdenging nyaring sembari berputar mencari celah kelambu. Ah , biarkan saja mereka bermain-main malam ini. Sekali lagi saya mencoba menghargai alam .  Grok..grok.. nguik…nguik… suara babi di bawah Uma jauh lebih berisik. Ya… ya… ini bagian dari suara alam. Sejenak aroma tak sedap keluar dari celah lantai kayu. Ooo di bawah sana ada yang buang angin. Hoeks! Pandangan saya tiba-tiba gelap , bau busuk dari bawah menghilangkan kesadaran. Pingsan dan tertidur sama tidak ada bedanya yang penting  menyatu dengan alam.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

 

RELATED POSTS

Digoyang Ombak 12 Jam
Menghargai Alam
Kisah Panjang Menuju Air Terjun
Penangkap Ikan Paling Cantik
Panah Beracun Lelaki
Kabit , Celana Lelaki
Turuk Laggai, Gerak Tari Alam
Menikmati Blue Sky Holiday di Masilok

 

 

34 tanggapan untuk “Mentawai Cultural Trip #2: Menghargai Alam”

  1. Tanteeeee, yg masak sagu itu Kalabai… Caption potoh lu bilangnya Sikerei…
    Mentawai lagi yuuuuukkkk…. Kaaannggeeeeuunnnn…..
    *peluuuukkk

    Suka

    1. engga mbak, kita masih yg di hilir , kalo yg di hulu mungkin tapi kesana nya itu lho… perahunya 3 jam, trekking 4 jam. Lah ini trekiing ga sampe sejam dengan jalan kaya gitu :D. Tapi kata pemandunya kalo yg dipedalaman hulu memang lebih eksotis, masih banyak cewek2 yg toplesss 😀

      Suka

      1. jadi gini , dulu budaya sipatiti dan sikerei sempet dianggap kegiatan ielgal, jadi di jaman
        “anu” para petinggi ada sempet diburu bahkan di bakar… nah lambat laut keberadaan mereka berkurang

        Suka

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar