Papua, Travelling

JBP# Kehangatan Kilise

Honai - rumah Papua
Honai – rumah Papua

Gerimis turun ketika kami memasuki gapura kompleks penginapan di Kilise. Kami berlarian menuju lima buah Honai, pintunya menghadap ke timur. Hawa dingin pegunungan semakin menusuk takala hujan berhembus bersama angin dari gunung Elit.

Lima buah Honai diperuntukan wisatawan , bagian dalamnya dilengkapi matras tipis dan lampu listrik. Tapi jangan berharap terlalu banyak, meskipun  memiliki generator tapi jarang dinyalakan karena mahalnya BBM. Di Wamena 1 Liter bensin Rp 20.000 rupiah, sudah dapat dipastikan harga di sini jauh lebih mahal. Bensin harus diangkut oleh manusia melewati sungai dan gunung.

Dalam tatanan masyarakat suku pegunungan tengah Papua dikenal dua jenis Honai yaitu Pilamo dan Ewe Uma. Secara kontruksi keduanya tidak ada perbedaan, namun fungsi dan peruntukan berbeda.  Pilamo diperuntukan bagi lelaki, tempat berkumpulnya kaum adam berkomunikasi dan bertukar informasi dan menyelesaikan persoalan seperti perang dan mas kawin. Fungsi lainnya tempat menyimpan peralatan perang, kesenian, perkebunan dan benda-benda pusaka. Sedangkan Ewe Uma tempat istrahat kaum wanita bersama anak-anak.

Ketika berteduh di dalam Honai mata saya tertuju pada atap berbentuk kerucut. Ujungnya ditopang dua kayu melintang tanpa paku. Batang-batang kayu disusun rapat mirip kerangka payung lalu dipilin bertautan dengan rotan. Tak ada paku , kekuatan bangunan mengandalkan pasak dan ikatan rotan. Mengingatkan akan bangunan Mbaru Niang di desa Wae Rebo Flores.

Suara kicauan burung hadir bersama menyingkirnya awan hitam di langit. Semburat jingga menghangatkan lembah Baliem. Kami keluar Honai menghirup hawa segar pegunungan. Cuaca di sini tidak mengenal musim ujar Pak Edison. Hujan dan panas bisa datang tiba-tiba.

Untuk menghangatkan badan teh manis panas disajikan bersama keladi ungu (Ipomea batatas poiret). Setelah dipotong tipis, keladi digoreng garing menghadirkan sensai renyah gurih. Keunikan keladi di sini warna ungu tersebar tidak merata, dan motifnya mirip marmer cake. Rasanya sepiring tidak cukup, tambah lagi dong kakak.

Ubi makanan utama masyarakat asli Papua Tengah. Meskipun sosialisasi keseragaman pangan (beras) di era pemerintahan Sukarno dan orde baru diberlakukan demi kepentingan politik. Warga yang hidup di pegunungan tetap menanam ubi. Ladang ubi dikerjakan dengan bergotong royong. Tiap larik  dibuat parit besar agar tidak ada air menggenang. Hasil panen dibagi tiga untuk dikonsumsi sendiri, sumbangan  Gereja dan gotong royong acara adat.

Bocah-bocah berambut keriting duduk berkumpul di batu depan Honai. Mungkin mereka heran melihat kami , wisatawan berbahasa Indonesia. Menurut pengelola kamilah tamu pertama yang datang ke tempat ini. Wajah mereka bersemu merah ketika kamera membidik, namun berubah bersemangat ketika ditunjukan hasilnya. Lambat laun komunikasi terjalin makin hangat. Sebelum senja kami mengadakan lomba menyanyi. Pemenangnya kelompok kelinci, terdiri lima bocah laki-laki berusia 5-7 tahun.

Malam pertama di Papua. Suhu udara turun drastis, kami berkumpul di bangunan berbentuk segi empat makan malam bersama. Semangkuk sup hangat membuka jamuan dalam redup head lamp. Hanya naluri dan rasa lapar yang menuntun masakan lezat sampai ke bibir dan perut. Malam ini Pak Edison berkisah pengelamananya bersama suku-suku di lembah Baliem. Tapi indra penglihatan saya mulai terseret ke dalam rasa kantuk.

Sayapun beranjak menuju Honai, butuh perjuangan berjalan menembus hawa malam. Namun sampai bangunan berbentuk jamur hawa hangat menyeruak. Samar-samar terdengar nyanyian para pria dari Palemo. Hmm… hangatnya Kilise… zzzzz.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

RELATED STORIES
Selamat Pagi Wamena
Kurima, Jalur Trekking Terbaik
Kehangatan Kilise
Teatrikal Lembah Baliem
Dari Gunung Tujuh ke Habema
Candid Distrik Kurulu
Euphoria Danau Sentani 2013
Napak Tilas Gereja Tua Assei
Ifar Gunung – Napak Tilas Sang Jendral Amerika
Kuliner Papua, Ekstrim Sampai Lezat

Baliem Pilamo Hotel, Wamena
Travellers Hotel Sentani

23 tanggapan untuk “JBP# Kehangatan Kilise”

Pembaca kece selalu meninggalkan jejak berupa komentar